“Ongkek Bambu”
Oleh : Joyo
Aroma sengak khas toak memenuhi atmosfer langit-langitku, gelak tawa
dan diskusi khas warungan, obrolan tanpa ujung berbaur dengan alunan gamelan
yang mengiringi lengking suara pesinden di ujung kampung. Di sebuah sumur gedhe
punden desa, aku dan beberapa temanku memang sedang menikmati pesta desa dalam
rangka upacara nyadran di ujung musim panen. Pesta yang digelar dengan hiburan
tayuban.
Tayuban adalah satu-satunya hiburan yang
menyenangkan di desa kami, desa pelosok yang jauh dari sentuhan kemodernitasan
dan segala glamaurnya zaman, kami para pemuda desa juga ikut memeriahkan pesta
setahun sekali itu. Biasanya kami bergerombol sambil menikmati jamuan
sederhana, sepasang ongkek berisi toak dan gelas-gelas dari bambu yang dikenal
dengan nama centak. Minuman toak bagi kami pemuda-pemuda adalah hal yang lumrah
dan biasa. Minuman itu ibarat air putih bagi kami yang menemani saat kami kerja
di tegalan, saat kami membuka ladang dan hutan.
Biasanya kami bergerombol antara lima sampai
enam orang di sore hari setelah pagi dan siang hari bekerja memeras keringat
membanting tulang. Sambil mengeja senja kami mengisi waktu luang dengan minum
toak bersama, menyulam kebersamaan antar sesama.
Begitulah cara kami pemuda-pemuda desa
menjalin sosialitas antar warga dengan gelas-gelas bambu yang menebarkan aroma
“surgawi”, melenakan alam indrawi, mematikan nalar dan nurani. Gelas-gelas
bambu ibarat susunan rantai yang mengokohkan tali persaudaraan dan kebersamaan
kami, dan aroma khas toaknya menjadi penanda akan eksistensi dan jiwa kami
untuk saling berbagi. Berbagi kesenangan di tengah derita zaman yang semakin edan,
berbagi senyum di tengah-tengah dunia yang semakin menggila. Berbagi empati di
antara diantara kami para “Syaroobul Asyiqin”.
Tak menjadi masalah buat kami
kebijakan-kebijakan pemerintah yang terus menindas rakyat kecil seperti kami,
asal pohon-pohon Tal itu masih berbunga dan mengalirkan cairan toak jika kami
sadap. Asal bambu-bambu liar di belakang rumah kami bisa kami tebang untuk
membuat ongkek, bumbung dan gelas-gelas centak kami. Bagi kami pemerintah
kadang tak lebih dari segerombolan perampok yang mengusik ketenangan hidup
kami. Kami tak butuh wakil-wakil untuk menyampaikan aspirasi kami, semua itu
hanya kami anggap sebagai mitos dan tahayul belaka. Hutan kami, ladang kami,
sawah-sawah kami, kambing dan kerbau-kerbau kami lebih mengerti akan kebutuhan
hidup kami, dibanding segerombolan orang-orang yang sok ke GR an menjadi wakil
kami di pemerintahan.
Kami warga desa mungkin memang hanya
dipandang sebagai rakyat jelata, masyarakat rendahan, kasta sudra, namun ingat
bahwa sebenarnya kamilah pemilik sah negeri ini. Rakyatlah yang seharusnya berdaulat. Jika
bukan karena ketulusan dari kami para warga desa, sudah lama kami pensiun dini
menjadi rakyat. Kalau rakyat telah mengundurkan diri maka apalah patut kita ini
disebut sebagai sebuah negeri ?.
Kami warga desa memang berpendidikan
rendah, namun kami masih mengenal benar apa itu sebuah kemurnian. Beda benar
antara emas dan loyang. Tidak semua orang yang berteriak-teriak mengaku pembela
rakyat jelata adalah pahlawan, mungkin ia sedang belajar akting seperti anak-anak
teateran, semua hanyalah sandiwara, semua hanyalah kepura-puraan belaka, dan
pada saatnya nanti semua akan terbukti, karena hanya kemurnian yang abadi, dan waktu
tidaklah bisu.
Kami akui kami rakyat memang bodoh hingga
bertahun-tahun selalu ditindas oleh rezim yang menamakan dirinya pemerintah.
Tiap gerak dan aktivitas kami harus
dipajaki, katanya sih untuk kemakmuran. Kami rakyat dijadikan semisal tuyul
penghasil uang oleh tuan bendoro-bendoro yang hasilnya mereka makan untuk anak
cucu dan keluarga mereka sendiri. Tak ada yang tersisa buat kami kecuali hanya
sekedar slogan yang urakan “Orang pintar taat pajak”. Kami sebenarnya tak mau pintar-pintar amat
agar tak perlu lagi membayar pajak buat memenuhi ambisi pribadi para bendoro
itu.
Bagaimana mau pintar, sekolah pun mahal.
Seperti zaman VOC dulu yang hanya kaum ningrat dan orang berduit saja yang
boleh sekolah. Rakyat inlander kelas teri seperti kami hanya manggut-manggut
saja melihat iklan di tv tentang sekolah gratis, tentang BOS, tentang APBN yang
20 % untuk pendidikan dan tentang-tentang hal lain yang hampir selalu dipastikan
bertentangan dengan kenyataan. Dengan
berbagai dalil yang lebih mirip dengan dalih kami harus tetap membayar biaya
sekolah, kami harus tetap membayar atas nama “Jer basuki mawa bea” tidak ada yang gratis di dunia ini, semua ada
harga yang harus dibayarkan. Hanya ada Tuhan yang menyediakan dzatnya untuk
kita cintai secara gratis. Bahkan justru Tuhan Yang Kuasa membayar kita dengan sifat rohman dan
rohimnya yang kekal sepanjang masa.
Begitulah kami warga desa kaum pinggiran
menikmati pesta tahunan di ujung kampung dengan ritual sederhana sepasang
Ongkek dan gelas-gelas centak, bersama rancaknya iringan musik gamelan yang
kemlungkung dan lengking suara sinden yang menembangkan harapan akan masa depan
yang lebih mapan.
Harapan akan datangnya zaman yang membawa kami menaiki
bahtera Nuh menuju jalan keselamatan. Harapan akan munculnya sang mesiah yang
akan membawa kami merobek tirai kegelapan dan menuntun kami menuju gerbang hidayah. Harapan yang akan menjadikan
bambu tidak hanya sekedar sebagai Ongkek dan centak, namun juga seajaib
tongkatnya Nabi Musa yang mampu membelah samudra angkara murka di dalam jiwa
kami, atau setidaknya menjadi obor yang menerangi gelapnya jalan kehidupan
kami, agar kami mampu mendaki puncak cahaya-NYA. Nuurun ‘ala Nur. Sekian. Bangilan,
1-6-15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar