“Menyalakan Kembali Cahaya dari Koto Gadang”
Membaca kisah orang besar seperti kisah para pahlawan selalu menginspirasi
dan memberikan pelajaran yang penting bagi generasi masa depan. Bagai sumber
air yang tak pernah kering , alirannya menyejukkan dan menghilangkan dahaga
bagi sebuah peradapan. Walau peristiwa itu telah bertahun-tahun lamanya terjadi
dan mengendap dalam gelapnya buku-buku sejarah yang kadang ditulis sesuai
dengan selera penguasa. Namun, lain loyang lain emas, sejarah yang murni selalu
punya cara untuk menampilkan tokoh yang benar-benar tulus dan ikhlas berkhidmad
untuk bangsa dan negara tercinta.
Mayhudul Haq yang berarti “Pembela Kebenaran” sebuah nama yang menggambarkan
dambaan, do’a dan cita-cita dari seorang ayah yang bernama Sutan Muhammad Salim
kepada anaknya yang kelak setelah ditempa dengan berbagai macam kondisi dan
iklim peradapan masa tahun 1884-1954, sang jabang bayi itu benar-benar
menunjukkan identitasnya sebagai pembela kebenaran di jagad sejarah Nusantara.
Walau nama itu hanya tersemat di surat lahir dan ijazahnya, karena sang
Masyhudul Haq lebih dikenal dengan sebutan Agus Salim.
Agus Salim termasuk orang yang beruntung kala itu, ayahnya adalah seorang pegawai
pemerintah Belanda dan menduduki jabatan sebagai Hoofddjaksa (Kepala Jaksa) hingga
kehidupannya terjamin ketimbang teman-temannya yang lain yang hanya rakyat
jelata. Walau sejak kecil Agus Salim sekolah di ELS (Europeesche Lagere School)
milik Governemen Belanda dan hingga masa dewasanya ia juga banyak bergaul
dengan Belanda namun hal itu ternyata tidak mengikis jiwa nasionalisme dan patriotismenya kepada bangsanya sendiri. Agus Salim tidak
hanya termasuk sebagai salah satu dari the founding fathers negeri ini, lebih
dari itu Bung Karno mengatakan : “Dialah “The Grand Old Man” bangsa
Indonesia”.
Kiprah Agus Salim dalam berbagai
organisasi sosial dan politik seperti Syarikat Islam dan keikutsertaannya dalam
Mu’tamar Alam Al-Islami maupun pada saat mengikuti konferensi Buruh Dunia di
Jenewa menjadi bukti nyata akan perjuangannya membela rakyat Hindia yang terus
ditindas oleh pemerintah Belanda. Agus Salim juga sangat aktif menulis dan
menyuarakan kesewenang-wenangan kaum penjajah melalui surat kabar Bendera
Islam. Walau akhirnya surat kabar itu mengalami kevakuman karena kekurangan
dana. Namun hasil dari lawatannya di Makkah Agus Salim mendapatkan dana hibah
dari Raja Abdul Aziz bin Saud, dan dana ini digunakan menghidupkan kembali Bendera
Islam yang telah redup. Untuk mengefektifkan fungsi Surat kabar Bendera Islam
kantor redaksinya dipindah ke Batavia dan namanya diganti menjadi Surat Kabar
Harian Fadjar Asia. Kali ini gaung perjuangan Surat Kabar Harian Fadjar Asia
tidak hanya wilayah-wilayah Hindia Belanda namun mampu menembus sampai luar
negeri, seperti London, Moskow, China, India, Den Haag dan Mesir.
Agus Salim adalah sosok yang sederhana, berkemauan keras, dan berjuang tanpa pamrih untuk kemerdekaan anak
negeri. Kehidupannya berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan
lain. Namun hal itu tak menyurutkan bara semangat perjuangannya. Di tengah keterbatasan ekonominya, beliau sangat beruntung memiliki pendamping hidup yang sangat luar biasa
Zainatun Nahar, sosok istri yang sangat berbakti kepada suami. Sosok bidadari
surga yang mendampingi susah senangnya perjuangan sang suami. Layak pasangan ini untuk kita teladani dalam membangun biduk rumah tangga, sekaligus berjuang untuk bangsa dan negara.
Seperti
apa yang ditulis oleh Haidar Musyafa penulis Novel “Cahaya dari Koto Gadang” Mari mengenal lebih dekat salah satu peletak
dasar bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Agar dapat dikisahkan
kepada generasi penerus bangsa ini, sehingga kisah-kisahnya tetap lestari.Haji
Agus Salim, satu di antara Bapak Bangsa peletak dasar NKRI. Berkat kecerdasan
dan kepiawaiannya dalam membangun relasi , kedaulatan dan kemerdekaan NKRI
diakui secara de jure oleh bangsa-bangsa adidaya. Sekian. Joyojuwoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar