Sastra dan Perlawanan sosial
“Ajarilah anak-anakmu sastra,
karena sastra membuat anak yang pengecut menjadi
jujur dan pemberani”
(Umar bin Khattab)
Seorang Umar bin
Khattab yang terkenal dengan sifatnya yang keras dan tegas ternyata memiliki
keintiman dengan dunia sastra. Tidak aneh memang dalam tradisi Arab sastra
adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Hingga tiap tahun di bulan-bulan Muharram
diadakan perlombaan pembacaan syair-syair di pusat keramaian yang berada di
pasar Ukaz dan Zulmajaz. Para penyair yang memenangi event terbesar di kota
Makkah itu mendapatkan hadiah yang berlimpah dan karyanya akan diabadikan dan
beri kehormatan untuk digantungkan di dinding Ka’bah, yang dikenal dengan nama
“Al mu’allaqoh”.
Sastra menjadi
komponen penting dalam kehidupan masyarakat arab, karena sastra mengajarkan
keberanian dan sifat kepahlawanan dalam diri para pemuda Arab saat itu. Seorang
Hamzah yang terkenal dengan julukan singa padang pasir ternyata tidak hanya
pintar dalam memainkan pedang, namun paman Nabi ini juga lihai dalam mengolah
lidah menjadi pedang yang tajam untuk melawan syair-syair kaum Quraisy yang
memusuhi Nabi. Begitu juga Ali bin Abi Thalib selain pakar ilmu pengetahuan
beliau juga fasih dalam bersyair dan pandai dalam menyusun kata.
Sastra
seyogyanya dimiliki oleh semua orang, baik ia sebagai seorang pemimpin, ilmuan,
panglima perang, rakyat jelata dan lain sebaginya. Karena sastra ibarat pupuk
yang akan menyuburkan dan memaksimalkan peran dan potensi yang dimiliki oleh
orang tersebut. Sastra juga memberikan rasa estetis bagi jiwa seseorang dan ini
memberikan efek yang baik bagi kehidupannya. Sastra memang tidak melulu
berbicara tentang keindahan dan kata-kata yang memukau, namun lebih dari itu
sastra harus menjadi katarsis (pemurnian jiwa) bagi masyarakat.
Napoleon
Bonaparte tidak hanya seorang panglima perang yang tangguh, namun sang kaisar
dari Perancis itu juga piawai menulis surat cinta. Setidaknya ada sekitar
75.000 lembar surat cinta ia kirimkan kepada istrinya yang cantik Josephine de
Beauharnais. Begitu juga pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia dahulu sangat dekat
dengan sastra. H. Agus Salim sering berkirim surat cinta untuk istrinya, M. Natsir,
Bung Tomo, Bung Karno adalah pemimpin-pemimpin yang bertipe romantis. Di sela-sela
kesibukannya mereka menyempatkan menulis surat cinta buat istri dan keluarga
mereka.
Lihat dan
perhatikan betapa indah dan romantisnya Bung Tomo menulis surat untuk istrinya,
“Tak
terlalu tinggi citta-citaku, impian kita punya rumah di atas gunung, jauh dari
keramaian. Rumah yang sederhana, seperti pondok. Hawanya bersih sejuk dan
pemandangannya indah. Kau tanam bunga-bunga dan kita menanam sayur sendiri. Aku
kumpulkan muda-mudi kudidik mereka menjadi patriot bangsa” (Surat Cinta Bung
Tomo)
Bung Karno pun
terkenal sebagai pria yang romantis dan flamboyan, bacalah surat cinta Bung Karno
untuk Ibu Fatmawati :
“O, Fatma,
yang menyinarkan tjahja. Terangilah selaloe djalan djiwakoe. Soepaja sampai
dibahagia raja. Dalam swarganya tjinta-kasihmoe...” (Soekarno, Penggalan
kalimat di dalam surat cinta kepada Fatmawati bertanggal 11 september 1941)
Sastra memang
identik dengan cinta. Dan tidak ada yang salah dengan kosakata itu. Asalkan berada
pada susunan kata yang tepat. Cinta Allah, cinta Rosul, Cinta agama, bangsa,
cinta istri, cinta anak, dan lebih-lebih mencintai kemanusiaan ini. Bukankah Rosulullah
Saw juga mengajarkan cinta. Beliau bersabda : “Tidak sempurna keimanan
seseorang dari kalian, sebelum ia mencintai saudaranya, sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri”.
Namun sastra
juga tidak melulu berbicara masalah cinta. Sastra itu komprehensif dan luas. Sastra
jangan sampai hanya dimonopoli oleh kelompok tertentu. sastra jangan sampai
keluar dan tercerabut dari lingkungan masyarakat. Baik itu lingkungan akademis,
lingkungan psikologis, lingkungan sosiologis maupun lingkungan biologis. Justru
sastra harus mengakar kuat ke dalam bumi kehidupan manusia agar sastra tidak
kehilangan makna.
Kita mengenal
banyak sastrawan yang mendedikasikan tulisannya untuk kemanusiaan. Seorang sastrawan
tidak latah berdiri di atas menara gading yang tak terjangkau, atau bertapa di
dalam goa kehidupan yang sunyi. Seorang sastrawan adalah yang peka terhadap
lingkungan dan kehidupan masyarakat. Dengan sastra ia jadikan sebuah peluru
yang siap membidik kesewenang-wenangan penguasa. Dengan sastra ia jadikan
sebuah perlawanan terhadap rezim yang dholim. Tengoklah Pram, Rendra, Iwan
Fals, Wiji Thukul mereka keluar masuk penjara, diasingkan, dicekal, bahkan
dimatikan hidupnya karena tulisannya, karena syairnya, karena puisinya karena
lagu-lagunya yang tajam menelanjangi kebrobokan birokrasi di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar