 |
Google.com |
Lembah
Mati Yang Diberkahi
Oleh
: Joyo Juwoto
Di
sebuah lembah yang sepi di tengah-tengah padang yang gersang, tidak ada makhluk
hidup yang menempati, hewan-hewan tiada mendekat, begitupun manusia.
Pohon-pohon pun tampak jarang-jarang, kering kerontang, layu, seperti tidak ada
kehidupan. Lembah itu tampak suram dan kering, tidak ada sumber air, hanya
hamparan pasir-pasir pucat dan gunung-gunung batu yang tampak suram dan
menyeramkan.
Lembah
itu adalah lembah yang sangat tandus, sehingga tidak ada satupun suku-suku
pengembara di jazirah Arab yang
menempatinya, begitupula tidak ada kafilah-kafilah dagang yang menjadikan
tempat itu sebagai tempat untuk singgah beristirahat. Apalagi para penggembala
pun menjauhi tempat yang memang tidak ada sumber makanan untuk ternak-ternak
mereka. Maka lengkaplah kesunyian dari lembah itu.
Jika
bukan karena bisikan langit, Ibrahim pun tidak akan mendatangi lembah itu, dan
ia sangat percaya istri dan anaknya akan bisa bertahan hidup dengan selamat di
tempat yang sepi itu. Pada siang yang membakar ubun-ubun, Ibrahim bersama
istrinya Hajar, dan juga seorang bayi mungil, Ismail yang sedang menyusu pada
ibunya, ia tinggalkan di tempat yang hantu pun enggan untuk bersarang.
“Wahai
istriku, tinggallah di sini sampai batas di mana takdir akan mempertemukan kita
kembali” Kata Ibrahim pelan kepada istrinya.
Ibrahim
dengan penuh kesedihan harus meninggalkan istri dan bayinya di bawah sebuah
pohon Dauhah. Di satu tempat yang ia anggap lebih dingin tanahnya dari lembah
itu. Ibrahim pun berlalu, meninggalkan dua permata hatinya dengan berat hati.
Sambil
menggendong Ismail, Hajar mengikuti suaminya pergi, ia tidak ingin ditinggalkan
seorang diri di tempat yang asing dan sepi.
“Wahai
Ibrahim suamiku, hendak ke mana engkau? Mengapa engkau tega meninggalkan aku
seorang diri, tanpa teman di tempat ini? tanya Hajar dengan penuh menghiba.
Ibrahim
hanya diam, dia terus berlalu. Meninggalkan istrinya yang penuh dengan tanda
tanya. Kemudian Hajar pun kembali melanjutkan pertanyaannya, walau pertanyaan
pertama dan kedua tidak memperoleh jawab dari suaminya.
“Apakah
Allah, Tuhan kita menyuruh engkau melakukan ini, wahai suamiku? tanya Hajar
kembali sambil terus mengikuti langkah suaminya yang pelan dan berat.
Ibrahim
pun berhenti, ia menoleh kepada istrinya itu. “Benar wahai istriku” Demi
mendengar jawaban itu, Ibu Ismail ini pun berhenti, ia tidak melanjutkan
langkahnya untuk mengikuti suaminya pergi. Dengan penuh ketabahan, Hajar pun
menimpali keputusan dari langit itu dengan penuh ketundukan.
“Jika
ini adalah perintah-Nya, tentu Ia tidak akan menelantarkan dan menyia-nyiakan
kita wahai anakku! mari kita kembali di bawah pohon tadi.” seru Hajar sambil
melangkah mundur kembali ke tempat ia ditinggalkan oleh suaminya.
Ibrahim
pun terus berjalan hingga istri dan anaknya hilang dari pandangan. Setelah
menjauh dari lembah di mana istri dan anaknya ia tinggalkan, Ibrahim
menghadapkan wajahnya ke arah lembah itu. Dengan penuh kekhusyukan Ibrahim
mengangkat tangannya kemudian berdoa kepada Tuhannya :
“Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang
tidak memiliki pepohonan, yaitu di sisi Rumah-Mu yang suci. Jadikanlah negeri
itu, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian”.
Ibrahim
pun kemudian berlalu, dan tidak meninggalkan apapun kepada anak istrinya,
kecuali keberkahan doa yang ia baca di ujung lembah sunyi yang ia tinggalkan.
***
Hajar
kebingungan, bekal air yang ia bawa menipis. Tidak ada sumber air yang ia lihat
di sekitar lembah itu. Karena udara yang sangat panas memicu haus yang mencekik
leher, air susunya pun mengering, hingga Ismail menangis berguling-guling di
pasir. Hajar pun berlari menuju sebuah bukit. Ia berharap ada sumber air atau
orang yang memberikan pertolongan kepadanya.
Harapannya
sia-sia belaka, lembah itu tampak sunyi dan mati. Tidak ada seorangpun yang
tampak. Dari satu bukit, Hajar pun tak putus asa, ia berlari ke arah bukit
lainnya terus berlari berulang-ulang hingga tujuh kali hingga ia pun kelelahan.
Pada
saat hitungan yang ketujuh, saat Hajar berada di lembah di dekat anaknya
menangis, hajar tertegun. Ia melihat bekas hentakan kaki* anaknya basah, tidak
mungkin Ismail mengompol, karena cairan tubuh anaknya sendiri telah mengering.
Hajar
pun mendekati anaknya, di tempat jari jemari kaki anaknya tampak air yang
merembes dari dalam tanah yang berpasir. Dengan segera Hajar menggali dan
membuatkan kubangan. Air memancar semakin deras, dengan tangannya Hajar
menciduk air itu, kemudian meminumnya, sehingga memancar kembali air susunya,
dan Hajar pun menyusui anaknya.
Saat
Hajar menyusui Ismail anaknya, tiba-tiba, ada suara yang menggema entah dari
mana datangnya.
“Wahai
wanita yang mulia, engkau jangan khawatir akan disia-siakan di tempat ini,
karena di sini ada baitullah yang kelak pada masanya akan dibangun kembali oleh
bapak dan anaknya”.
Mulai
saat itu, ibu dan anak itu tinggal di
dekat mata air yang jernih dan penuh barakah. Orang-orang kelak menyebutnya
sebagai sumur Zam-zam. Sumur yang terus mengalirkan sumber air abadi sepanjang
masa, yang airnya menjadi obat bagi siapa saja yang meminumnya.
Lembah
yang mati itu kini menghijau, menjadi lembah yang diberkahi, banyak hewan yang
berdatangan, burung-burung pun sering datang, berputar-putar di atas langitnya.
Hal itu kemudian mengundang para kafilah untuk singgah, hingga ada yang
kemudian menetap bertetangga dengan Hajar dan Ismail. Mereka berdua bergembira
karena lembah yang dulu sepi, kini menjadi ramai.
Ibrahim
tak tahu dan tidak pernah menyangka jika doanya di batas lembah saat air
matanya tumpah meninggalkan istri dan anaknya diijabahi oleh Tuhan, dengan
keberkahan lembah yang kelak bernama Makkah. Dan pada saatnya nanti takdir akan
membawa Ibrahim kembali.