Senin, 28 Agustus 2017

Lembah Mati Yang Diberkahi

Google.com
Lembah Mati Yang Diberkahi
Oleh : Joyo Juwoto

Di sebuah lembah yang sepi di tengah-tengah padang yang gersang, tidak ada makhluk hidup yang menempati, hewan-hewan tiada mendekat, begitupun manusia. Pohon-pohon pun tampak jarang-jarang, kering kerontang, layu, seperti tidak ada kehidupan. Lembah itu tampak suram dan kering, tidak ada sumber air, hanya hamparan pasir-pasir pucat dan gunung-gunung batu yang tampak suram dan menyeramkan.

Lembah itu adalah lembah yang sangat tandus, sehingga tidak ada satupun suku-suku pengembara di  jazirah Arab yang menempatinya, begitupula tidak ada kafilah-kafilah dagang yang menjadikan tempat itu sebagai tempat untuk singgah beristirahat. Apalagi para penggembala pun menjauhi tempat yang memang tidak ada sumber makanan untuk ternak-ternak mereka. Maka lengkaplah kesunyian dari lembah itu.

Jika bukan karena bisikan langit, Ibrahim pun tidak akan mendatangi lembah itu, dan ia sangat percaya istri dan anaknya akan bisa bertahan hidup dengan selamat di tempat yang sepi itu. Pada siang yang membakar ubun-ubun, Ibrahim bersama istrinya Hajar, dan juga seorang bayi mungil, Ismail yang sedang menyusu pada ibunya, ia tinggalkan di tempat yang hantu pun enggan untuk bersarang.
“Wahai istriku, tinggallah di sini sampai batas di mana takdir akan mempertemukan kita kembali” Kata Ibrahim pelan kepada istrinya.

Ibrahim dengan penuh kesedihan harus meninggalkan istri dan bayinya di bawah sebuah pohon Dauhah. Di satu tempat yang ia anggap lebih dingin tanahnya dari lembah itu. Ibrahim pun berlalu, meninggalkan dua permata hatinya dengan berat hati.

Sambil menggendong Ismail, Hajar mengikuti suaminya pergi, ia tidak ingin ditinggalkan seorang diri di tempat yang asing dan sepi.

“Wahai Ibrahim suamiku, hendak ke mana engkau? Mengapa engkau tega meninggalkan aku seorang diri, tanpa teman di tempat ini? tanya Hajar dengan penuh menghiba.

Ibrahim hanya diam, dia terus berlalu. Meninggalkan istrinya yang penuh dengan tanda tanya. Kemudian Hajar pun kembali melanjutkan pertanyaannya, walau pertanyaan pertama dan kedua tidak memperoleh jawab dari suaminya.

“Apakah Allah, Tuhan kita menyuruh engkau melakukan ini, wahai suamiku? tanya Hajar kembali sambil terus mengikuti langkah suaminya yang pelan dan berat.

Ibrahim pun berhenti, ia menoleh kepada istrinya itu. “Benar wahai istriku” Demi mendengar jawaban itu, Ibu Ismail ini pun berhenti, ia tidak melanjutkan langkahnya untuk mengikuti suaminya pergi. Dengan penuh ketabahan, Hajar pun menimpali keputusan dari langit itu dengan penuh ketundukan.

“Jika ini adalah perintah-Nya, tentu Ia tidak akan menelantarkan dan menyia-nyiakan kita wahai anakku! mari kita kembali di bawah pohon tadi.” seru Hajar sambil melangkah mundur kembali ke tempat ia ditinggalkan oleh  suaminya.

Ibrahim pun terus berjalan hingga istri dan anaknya hilang dari pandangan. Setelah menjauh dari lembah di mana istri dan anaknya ia tinggalkan, Ibrahim menghadapkan wajahnya ke arah lembah itu. Dengan penuh kekhusyukan Ibrahim mengangkat tangannya kemudian berdoa kepada Tuhannya :

“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak memiliki pepohonan, yaitu di sisi Rumah-Mu yang suci. Jadikanlah negeri itu, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian”.

Ibrahim pun kemudian berlalu, dan tidak meninggalkan apapun kepada anak istrinya, kecuali keberkahan doa yang ia baca di ujung lembah sunyi yang ia tinggalkan.

***

Hajar kebingungan, bekal air yang ia bawa menipis. Tidak ada sumber air yang ia lihat di sekitar lembah itu. Karena udara yang sangat panas memicu haus yang mencekik leher, air susunya pun mengering, hingga Ismail menangis berguling-guling di pasir. Hajar pun berlari menuju sebuah bukit. Ia berharap ada sumber air atau orang yang memberikan pertolongan kepadanya.

Harapannya sia-sia belaka, lembah itu tampak sunyi dan mati. Tidak ada seorangpun yang tampak. Dari satu bukit, Hajar pun tak putus asa, ia berlari ke arah bukit lainnya terus berlari berulang-ulang hingga tujuh kali hingga ia pun kelelahan.

Pada saat hitungan yang ketujuh, saat Hajar berada di lembah di dekat anaknya menangis, hajar tertegun. Ia melihat bekas hentakan kaki* anaknya basah, tidak mungkin Ismail mengompol, karena cairan tubuh anaknya sendiri telah mengering.

Hajar pun mendekati anaknya, di tempat jari jemari kaki anaknya tampak air yang merembes dari dalam tanah yang berpasir. Dengan segera Hajar menggali dan membuatkan kubangan. Air memancar semakin deras, dengan tangannya Hajar menciduk air itu, kemudian meminumnya, sehingga memancar kembali air susunya, dan Hajar pun menyusui anaknya.

Saat Hajar menyusui Ismail anaknya, tiba-tiba, ada suara yang menggema entah dari mana datangnya.

“Wahai wanita yang mulia, engkau jangan khawatir akan disia-siakan di tempat ini, karena di sini ada baitullah yang kelak pada masanya akan dibangun kembali oleh bapak dan anaknya”.

Mulai saat itu, ibu dan  anak itu tinggal di dekat mata air yang jernih dan penuh barakah. Orang-orang kelak menyebutnya sebagai sumur Zam-zam. Sumur yang terus mengalirkan sumber air abadi sepanjang masa, yang airnya menjadi obat bagi siapa saja yang meminumnya.

Lembah yang mati itu kini menghijau, menjadi lembah yang diberkahi, banyak hewan yang berdatangan, burung-burung pun sering datang, berputar-putar di atas langitnya. Hal itu kemudian mengundang para kafilah untuk singgah, hingga ada yang kemudian menetap bertetangga dengan Hajar dan Ismail. Mereka berdua bergembira karena lembah yang dulu sepi, kini menjadi ramai.

Ibrahim tak tahu dan tidak pernah menyangka jika doanya di batas lembah saat air matanya tumpah meninggalkan istri dan anaknya diijabahi oleh Tuhan, dengan keberkahan lembah yang kelak bernama Makkah. Dan pada saatnya nanti takdir akan membawa Ibrahim kembali.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar