Buku,
Guru, dan Menulis
Oleh : Joyojuwoto
Menulis adalah
sebuah keniscayaan lebih-lebih bagi seorang yang berpropesi sebagai guru.
Sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2005 pasal 10 tentang guru dan
dosen disebutkan bahwa seorang guru yang profesional setidaknya harus memiliki empat kompetensi,
yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional. Karena menurut PP. Nomor 74 tahun 2008 menjelaskan
bahwa kompetensi profesional guru merupakan kemampuan guru yang berkaitan
dengan penguasaan pengetahuan, teknologi, dan atau seni dan budaya atas bidang
pelajaran yang diampunya.
Atas alasan
inilah seharusnya seorang guru harus menulis. Dengan menulis seorang guru dapat meningkatkan kompetensi profesionalnya,
karena menulis sangat dituntut untuk menguasai bidang disiplin ilmu yang akan
ditulisnya. Selain itu tentu guru yang penulis akan berusaha mencari, membaca,
dan menela’ah berbagai referensi yang dipakai sebagai bahan untuk menulis.
Menulis dan
menghasilkan sebuah karya buku memiliki multi manfaat bagi seorang guru. Salah
satunya tentu memberikan tambahan kredit poin untuk kenaikan jabatan, promosi
jabatan bagi seorang guru PNS. Manfaat lain dari menulis tentu ini menjadi
salah satu cara untuk membuka pintu rezeki. Jika ketepatan buku itu best seller
maka seorang guru akan mendapatkan keuntungan finansial juga. Dan yang paling
penting dari aktivitas menulis adalah sebagai sarana untuk menebar manfaat dan
menjadi ladang amal kebaikan dengan dakwah bil qalam, dakwah dengan pena yang
pahalanya akan terus mengalir sepanjang buku itu dibaca dari masa ke masa.
Guru sebagai
instrumen penting serta yang menjadi ujung tombak perubahan dan kemajuan suatu
bangsa tentu harus selalu mengasah kemampuan dan skilnya guna berada di garda
depan bagi proses penyerdasan kehidupan anak bangsa. Oleh karena itu dua hal
penting sebagai tolak ukur maju mundurnya suatu kebudayaan bangsa adalah buku
dan menulis. Sebanyak apa buku yang dihasilkan dan ditulis oleh warga negara
Indonesia menjadi penanda masa keemasan bangsa ini. Mari menengok sejarah
keemasan dunia Islam abad pertengahan, saat itu yang mana mesin cetak dan foto
copy belum ditemukan tapi jumlah koleksi buku di perpustakaan Baitul Hikmah
masa pemerintahan Harus Ar Rasyid menurut catatan sejarah sekitar dua juta
jilid buku. Suatu jumlah yang luar biasa tentunya di masa itu, bahkan di masa
sekarang.
Minat baca,
buku, dan menulis berbanding lurus dengan peningkatan kompetensi seorang guru,
namun sayang produksi buku di Indonesia sangat rendah. Menurut catatan www.kompas.com pada tahun 2011 produksi buku
di Indonesia sekitar 20.000 judul buku. Jika dibandingkan dengan penduduk
Indonesia yang berjumlah sekitar 240 juta jiwa perbandingannya satu buku dibaca
oleh 80.000 orang. Jumlah ini tentu sangat tidak ideal sekali dan imposible.
Padahal seharusnya guru berada di garda terdepan dalam hal gerakan membaca,
menulis, dan membeli buku. Rendahnya minat baca salah satunya tentu disebabkan
kurangnya koleksi buku, jika koleksi buku minim maka sangat sulit diharapkan untuk
bisa menulis.
Pemerintah
dengan program sertifikasi guru yang fungsi sejatinya untuk meningkatkan
kompetensi dan mutu guru ternyata jauh dari harapan. Dana yang diberikan
pemerintah kebanyakan hanya menyasar pada fungsi kesejahteraan saja. Menurut
pengamatan saya di tingkat lokal ternyata sertifikasi guru belum mampu
mendongkrak dan meningkatkan daya beli buku bagi seorang guru guna menunjang
profesionalitas guru sebagaimana yang dimaksud. Saya kira juga wajar jika dana
sertifikasi bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan guru, namun sisi
peningkatan kompetensi guru juga perlu mendapatkan ruang dan perhatian.
Buku menjadi
hal penting bagi seorang guru, baik
untuk dibaca ataupun untuk ditulis. Tentang membaca saya selalu teringat dengan
dawuh Kyai saya di pesantren, beliau selalu berpesan untuk selalu membaca.
Bahkan beliau mengatakan “Jangan mengaku menjadi santri ASSALAM, kalau belum
cinta membaca” begitu dawuhnya.
Menurut Feuntas yang saya kutip dari WA salah satu
teman “Buku tidak menulis dirinya sendiri. Juga tidak digodok dalam komite.
Menulis adalah aksi seorang diri yang kadang menakutkan.” Jadi perlu keberanian, tekad,dan komitmen bagi
seorang guru untuk memproses pengetahuan dari buku untuk diolah menjadi
buku-buku yang lainnya. Oleh karena itu
menurut saya fardlu ‘ain hukumnya seorang guru harus menulis buku, setidaknya
menulis artikel, makalah, PTK, dan model-model tulisan ilmiah lainnya guna
meningkatkan dan memberikan keteladan dalam dunia akademik di dunia pendidikan
agar kelak pendidikan di Indonesia benar-benar mampu mencerdaskan kehidupan
anak bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang bertaqwa terhadap Tuhan yang
Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki ketrampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan.
Saya kira tidak
berlebihan buku, guru, dan menulis, menjadi bagian penting bagi sebuah proses
metamorfis perubahan bangsa yang berperadaban. Sekian. Joyojuwoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar