Dialektika Korupsi dan Masa Depan Peradapan Indonesia
Pic : ikankoi.wordpress.com |
Jikalau pun benar korupsi menjadi
bagian dari kearifan lokal bangsa tentu kita sepakat bahwa hal itu tidak boleh kita
wariskan kepada generasi-generasi setelah kita. Nilai-nilai yang baik wajib
kita jaga dan kita wariskan sedang nilai-nilai yang merusak harus kita
enyahkan. Harus ada gerakan radikal untuk menjadikan korupsi sebagai musuh
bersama agar kita bisa
membangun peradapan baru yang penuh integritas.
Tradisi korupsi yang telah mengakar
dan menjalari nadi-nadi kehidupan bangsa sejatinya bisa kita cegah sejak dini
dengan memberikan pendidikan karakter yang kuat kepada anak bangsa, seperti
pendidikan di sekolah seharusnya tidak hanya mengajarkan pengetahuan secara
teoritis saja namun perlu ada format yang jelas dan terukur untuk membangun
jiwa dan karakter anak didik. Kita patut bersyukur dan bahagia akhir-akhir ini pemerintah telah
menggembar-gemborkan struktur kurikulum 2013 yang mana dalam proses
pembelajarannya wajib menggunakan pendekatan saintifik. Yaitu sebuah pendekatan
yang diyakini menjadi titian emas bagi perkembangan pengetahuan dan
keterampilan peserta didik.
Pemerintah
sepertinya sangat mengharapkan keajaiban dari kurikulum ini, agar nantinya
generasi emas Indonesia dua puluh atau tiga puluh tahun yang akan datang
benar-benar muncul generasi yang benar-benar baru dan terlepas dari pengaruh
rezim lama yang yang dianggap menjadi sumber
petaka negara. Tidak berlebihan memang harapan ini, karena mayoritas
pejabat publik tersangkut dengan kasus endemik korupsi. Mulai dari kalangan
pejabat, birokrat, penegak hukum, pengusaha saling main mata untuk menilap uang
rakyat, untuk merampok kekayaan negara. Saling kerja sama dalam hal
kemungkaran, seakan memang itu telah menjadi sebuah tradisi. Sungguh begitu
ngerinya korupsi yang melanda negeriku tercinta ini.
Uswah
yang baik dan keteladanan menjadi barang yang langka di era kini, kita seakan
telah kehilangan bumi untuk berpijak. Kehilangan jati diri dan kemurnian
identitas. Padahal dulu kita adalah bangsa yang besar. Lihatlah Mataram Kuno
dengan Borobudurnya, lihatlah Sriwijaya yang menjadi pusat penyebaran agama
budha se Asia Tenggara kala itu, dan lihatlah surya Majapahit yang cemerlang
menerangi seantero nusantara. Abad itu adalah abad di mana di belahan dunia
hanya ada dua kerajaan yang berjaya Majapahit dan kekaisaran Tiongkok.
Kita
juga punya sejarah pemerintahan yang keagungannya seperti sebuah dongeng,
sebuah kerajaaan yang dipimpin oleh Maharani, seorang Ratu namun keadilannya
bagai malaikat yang menjelma di dunia. Kerajaan Kalingga yang dipimpin oleh
Ratu Sima. Sang Ratu menerapkan undang-undang yang ketat kepada seluruh warga
kerajaan, tidak terkecuali itu bangsawan istana, bahkan keluarganya sendiri.
Hukum ditegakkan setegak-tegaknya, keadilan dijaga, hukum tidak pandang bulu, hukum
menjadi panglima tertinggi bagi kehidupan masyarakat, makmur, aman, dan
sejahteralah kerajaan Kalingga menurut catatan dari negeri Cina.
Mataram
Kuno, Sriwijaya, Majapahit, Kalingga mungkin adalah sepenggal romantisme
sejarah di negeri ini, namun kita perlu belajar dari kearifan sejarah itu, agar
kacang tidak lupa pada kulitnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Karno
Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itulah bangsa yang besar,
bangsa yang menghargai jasa-jasa para leluhurnya.
Tugas
kita sebagai warga negara sekarang adalah menyambungkan kembali benang sejarah
masa silam yang terputus, mencari missing link dari kearifan lokal yang telah
tertukar karena syahwat kekuasaan dan bujukan keduniawian. Agar masa depan
bangsa ini kembali cemerlang dan sinarnya memberkati seantero bumi pertiwi. Agar
bangsa ini kembali menjadi bangsa Garuda yang akan terbang ke segala penjuru
cakrawala nusantara. Joyojuwoto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar