Selembar Kain Pel
Aku tidak pernah malu atau
pun menyesal menjadi selembar kain pel. Walau dari satu pohon kapas yang sama
belun tentu nasib kita sama. Nasab boleh
sama namun nasib siapa tahu. Inilah sebuah takdir katanya, teman saya yang satu
pohon, bahkan satu tangkai yang sama ternyata nasib kami memang berbeda. Bersyukurlah ia yang ketika diproses dari
wujud sebuah kapas ternyata ia tergabung dengan kapas-kapas kualitas nomor
satu. Saya tahu apa arti nomor satu, tentu nasibnya sangatlah mujur. Ia akan
diproses menjadi benang-benang halus,
dan menjadi bahan pakain yang mahal tentunya. Oleh karena itu semua makhluk
Tuhan tidak terkecuali saya yang hanya sebuah potongan dari kapas akan merasa
beruntung jika mendapatkan predikat nomor satu.
Nomor satu pada dasarnya
adalah bagian dari dzat Tuhan itu sendiri. Qul Huwa
Allahu Ahad, Katakan Tuhan itu Satu. Ahad itu Tuhan Allah yang Tunggal
eksistensinya. Di lain kalimat Tuhan juga disebut Wakhid yang berarti Allah
yang manunggal, menyatu yang integral, nyawiji dan mendekat dalam jiwa
hamba-Nya. Ana Aqrabu min hablil warid.
“Saya (Tuhan) lebih dekat dari urat leher seorang hamba.”
Tentu kelanjutan dari
eksistensi satu tadi saya bisa menebaknya, benang-benang yang telah menjadi
kain-kain mahal itu akan diperlakukan sangat hati-hati untuk dijadikan pakaian
yang mewah. Sebagai perwujudan dari nomor satu tadi pastinya pakaian itu
berkualitas wah dan mendapat kehormatan di tempatkan di Mal-mal yang glamour,
berhawa sejuk dan menentramkan. Dipamerkan dengan cara yang elegan dan
dibandrol dengan harga yang fantastik tentunya.
Yang paling ku iri tentu
yang melihat-lihat dan memegang kode nomor satu tadi bisa dipastikan gerombolan
gadis-gadis cantik dan pria-pria tampan tentunya. Bertangan lembut, berparfum
wangi, dan yang pasti berduit banyak. Saya sebenarnya heran memang ada
hubungannya ya duit dan gadis cantik ataupun pria tampan. Atau
jangan-jangan menjadi cantik ataupun tampan gara-gara duit tadi ya. Sedang saya
dan beberapa teman yang tidak lolos operasi kapas kualitas number one harus
puas tepatnya dipaksa puas menerima takdir untuk diolah menjadi benang-benang
yang kasar, yang natinya out putnya juga tidak jauh dari kata kasar tadi.
Saya kalau boleh memilih
sebenarnya lebih suka berhenti menjadi benang saja. Biar nanti dipakai bermain
layang-layang oleh anak-anak kampung
yang ceria. Namun lagi-lagi saya tak memiliki kemampuan untuk memilih,
mau tetap menjadi benang, atau nanti
dicipta mengikuti kemauan manusia untuk
menjadi lembar-lembar kain yang kasar juga tentunya.
Sebagai lembaran-lembaran
kain yang kasar, saya harus terima dengan segala perlakuan manusia sesuai
dengan kasta saya. Jika kesadaran akan perwujudan saya sedang baik, aku merasa
bangga walau tugas saya tidak menjadi pakaian yang mewah, setidaknya saya bisa
berfilosofi bahwa perwujudanku masihlah bermanfaat untuk mengabdi kepada makluk
Tuhan lain yaitu manusia. Ya tugasku adalah membersihkan lantai, membersihkan
mebelair, perabot dapur, dan menjadi kain pel yang hampir seluruh strata manusia
membutuhkan keberadaan saya. Tidak peduli siapa dia, profesor, doktor,
presiden, rakyat jelata yang memiliki rumah tentunya bisa dipastikan di situ
kasta saya dibutuhkan. Di situlah kadang saya merasa mulia, menjadi bagian
dari sebuah proses kebersihan.
Walau kadang tidak dapat saya
pungkiri ada rasa iri dan dengki, namun saya selalu bisa mencari dan
mendapatkan alasan untuk selalu bersyukur dengan lakon yang sedang saya
jalankan. Biarlah iri dan dengki suatu waktu menjadi sambal bagi lezatnya
sebuah hidangan di meja makan, atau biarlah kadang iri dan dengki itu menjadi
bara api yang menjadikan masakan menjadi matang. Karena memang kita kadang tak
mampu mengendalikan perasaan itu. Tinggal cara mengelola dan menyalurkan energi
dari perasaan itu yang perlu menjadi perhatian.
Bukankah sepercik api bisa bermanfaat dan juga bisa mendatangkan
madharat ?.
Sebagai kain pel sudah pasti
saya akan sangat akrab dengan kondisi dan keadaan yang setara dengan jalan dan
kondisi saya sendiri. Tentu tiap hari saya akan dipegang oleh tangan-tangan
kasar para pembantu rumah tangga, berpenampilan biasa tanpa make up ataupun
parfum yang beraroma wangi. Kebahagiaan memang menjadi milik semua makluk
Tuhan, tidak terkecuali saya selembar kain pel. Saya merasa bahagia berada
dilingkungan dan menjadi bagian dari peran para pembantu rumah tangga. Karena
pada dasarnya kebahagiaan tidak pernah mengenal waktu dan keadaan, ia bisa
hinggap di manapun titah Tuhan. Kebahagiaan tidak selalu bersemanyam di
gedung-gedung mewah dan istana megah, begitu juga sebaliknya kesengsaraan yang
menjadi lawan dari kebahagiaan tidak selalu hinggap di gubuk-gubuk reot dan
kasta-kasta rendahan. Semuanya bisa berbolak-balik mengikuti irama dan harmoni semesta.
Saya selembar kain pel selalu percaya bahwa tidak semua yang
bersinggungan dengan debu dan kotoran menjadi kotor. Justru ia ketika kain pel
berada ditempat yang kotor bukan sebagai kotoran itu sendiri tetapi menjadi
semacam katarsis bagi lingkungannya. Walau tidak bisa disejajarkan dengan keindahan
bunga teratai, namun saya selembar kain pel merasa menjadi bagian dari peran
bunga itu. Walau teratai hidup dikubangan lumpur yang hitam, tapi lihatlah
siapa yang tidak tertarik dengan pesona
bunga teratai yang mekar indah menyedapkan pandangan mata bagi yang melihatnya.
Nilai-nilai filosofis bunga
teratai itu selalu bisa mengobati kegundahan hati saya jika kadang saya merasa
rendah diri, dan merasa tak berguna karena hanya selembar kain pel saja.
Bukankah Tuhan tidak melihat dari bentuk fisik hamba-hamba-Nya di dunia ini,
karena bagi Tuhan yang berarti adalah aksi
dan amalannya. Kita tidak harus menjadi nomer satu, namun seyogyanya
bisa menyatu dengan Tuhan, “Manunggaling
Kawula Gusti.” Jika kita selalu menyatu, integral, dan menyertakan Tuhan
dalam setiap aktivitas dan amal kita, tentu akan sampai pada Ahsanu amalan, kebaikan dan kesholehan
amal yang bermanfaat di dunia dan akhirat kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar