Identitas
Buku
Judul Buku : Kerudung Santet Gandrung
Penulis :
Hasnan Singodimayan
Penerbit :
Desantara
Cetakan :
1, Mei 2003
Tebal :
214
Kategori :
Novel
Ulasan buku
Membaca sekilas novel yang berlatar
belakang kebudayaan suku Osing di daerah paling timur pulau Jawa ini terasa ada
semangat untuk mendeskritkan nilai-nilai ajaran Islam yang diwakili oleh simbol
kerudung. Setidaknya dari judul novel itu kita bisa merabanya “Kerudung
santet Gandrung”. Penulis yang notabenenya adalah juga seorang muslim
disengaja atau tidak telah mengambil sebuah fragmen dari banyak fragmen yang
ada di tengah masyarakat tentang seorang yang disimbolkan memakai kerudung,
tetapi melakukan perbuatan yang kontra produktif dengan simbol yang dipakainya
yaitu kerudung.
Memang seorang yang memakai kerudung
bukanlah Malaikat yang nir salah, dia tetaplah sosok manusia lumrah, yang tentu
juga melakukan kesalahan sebagaimana manusia pada umumnya. Tokoh Nazirah mantan
Iqbal yang digambarkan seorang lulusan pesantren dan juga seorang muballigah
yang kolot akhirnya harus pisah dengan suaminya Iqbal, karena beda prinsip
dalam memandang persoalan kesenian.
Iqbal yang seorang penulis gending-gending
Gandrung akhirnya jatuh hati kepada Merlin, seorang penari Gandrung dari Desa
Candirejo kemudian mereka menikah. Kehidupan rumah tangga mereka dibilang
sukses. Nazirah yang sudah menikah lagi dengan seorang ustadz honorer di
Madrasah swasta yang bernama Mansub menjalani kehidupannya dengan serba
kekurangan. Karena sakit suaminya meninggal dunia.
Dari sini konflik mulai dibangun, Nazirah
yang ketemu dengan Iqbal ingin rujuk kembali, namun istilah rujuk disalahkan
oleh Iqbal, karena memang antara Iqbal dan Nazirah telah talak tiga jadi
istilah rujuk tidaklah tepat. Disini penulis ingin membangun image bahwa Iqbal
yang dianggap awam agama oleh keluarganya ternyata lebih memahami persoalan
agama dibanding Nazirah yang lulusan pesantren.
Selain itu Nazirah juga digambarkan silau
melihat kehidupan Iqbal yang sukses, karena selain sebagai pegiat seni Iqbal
adalah petambak yang sukses. Nazirah merasa iri dengan kehidupan mantan
suaminya, apalagi istri Iqbal yang baru ternyata seorang Gandrung. Masyarakat
umum memandang bahwa Gandrung biasanya mempraktekkan ilmu santet atau ilmu
guna-guna untuk memikat hati seorang lelaki, semisal “sabuk mangir” dan “kopi
batokan” atau “jaran guyang”.
Terdorong
oleh obsesinya untuk bisa kembali dengan Iqbal Nazirah akhirnya mendatangi
seorang dukun santet di wilayah tersebut. Di sini penulis ingin menegaskan
kembali tentang Nazirah yang berkerudung tapi ternyata melakukan perbuatan
santet terhadap istri Iqbal yang seorang Gandrung. Dan tentu dari alur inilah
Hasnan Singodimayan memberi judul novelnya “Kerudung Santet Gandrung”. Simbol
kerudung kembali ditampilkan negative oleh Hasnan. Namun sebenarnya fenomena
orang-orang yang memakai kerudung dan melakukan hal yang naïf dan negative
memang sangat banyak. Apalagi sekarang kerudung telah dibajak dari fungsi pokoknya.
Kerudung ibarat asesoris yang dipergunakan untuk menunjang mode dan gaya hidup
bukan lagi kerudung sebagai symbol ideologi dan penerapan nilai-nilai Qur’ani.
Selain banyak
membicarakan tentang konflik yang berbau agama yang diwakili Iqbal dengan rival
utama keluarganya sendiri, novel ini juga memaparkan masalah politik dan budaya
yang tak pernah usai. Tokoh Drs. Budoyo seorang Kepala Cabang kebudayaan yang
awalnya gandrung dengan Merlin harus memupus cintanya yang mulai bermekaran.
Sebagai orang pemerintahan haram baginya menjalin asmara dengan seorang gadis
yang ayahnya adalah seorang PKI. Dia oleh atasannya akhirnya dipindah tugaskan
ke Surabaya. Pada alur cerita ini menegaskan bahwa kemerdekaan masyarakat belum
mendapat tempat di negeri yang katanya menjunjung kebebasan hak asasi manusia.
Bagaimanapun seorang Merlin yang tidak tahu menahu masalah politik harus ikut
menanggung dosa turunan dari ayahnya yang belum pernah dilihatnya. Kita boleh
melarang PKI namun kita juga harus adil dalam bersikap terhadap hal-hal seperti
kasus Merlin ini. Hak-hak hidup, hak-hak social kemasyarakatan mereka jangan
sampai kita abaikan hanya karena mereka dekat atau punya hubungan dengan partai
komunis yang terlarang itu. Menarik seperti apa yang diucapkan Cak Nun bahwa apakah
ketika kita berada di dalam kandang kambing kita juga menjadi seekor kambing ?
tentu tidak kan.
Mungkin saja
novel ini adalah fiksi, namun karya fiksi sekalipun tentu tidak terlepas dari
akar kenyataan yang ada di tengah masyarakat. Novel yang memiliki dua sub judul
ini sebenarnya sedang menggambarkan keadaan yang sebenarnya yang terjadi di
masyarakat kita. Sosok Iqbal, Budoyo, Merlin, Nazirah, dan beberapa peran lain
mungkin adalah kita sendiri. Dengan jujur dan berani Hasnan Singodimayan
menuliskannya dalam sebuah novel yang singkat. Ia tidak takut dituduh sekuler
dan liberal karena memang kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat kadang
seperti itu. Pada awalnya saya sendiri juga agak underestimate dengan penulis,
namun semua itu sirna setelah ending dari cerita novel ini ditutup dengan
rencana keberangkatan Iqbal dan istrinya untuk menunaikan ibadah haji. Karena
bagaimanapun juga ibadah haji dianggap merepresentasikan seseorang itu taat dan
sadar terhadap ajaran agama dan memiliki nilai lebih dibanding orang yang
belum menjalankannya. Lebih menghentak lagi ternyata saat acara walimatus
safar orang yang ditunjuk untuk membaca ayat suci Al qur’an atau qira’at
adalah Merlin mantan penari Gandrung, walau sebenarnya Iqbal telah
menskenariokan itu semua.
Jadi
seharusnya kita layak berterima kasih kepada penulis yang telah menyediakan
sebuah kaca bengkala buat melihat sisi-sisi gelap yang mungkin belum kita
sadari. Sisi-sisi yang kadang kita bungkus dengan kedok-kedok syar’I namun
ternyata ambisi pribadi dan nafsu ingin menguasai yang kadang muncul dalam
diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar