Sandur Jalan Dakwah Yang Mulai Dilupakan
Oleh: Joyo Juwoto
"He yao ya e
Lollah
Rasalullah
Lelolalelalo
Lalolelullah
Lollah lollah"
...
"Hore hore hore hore
Ra sorak sorak sorak 2x
Lalolalelolalolalelolalelolalelolelo"
Begitulah ramainya sorak-sorai panjak hore saling bersautan dalam pertunjukan sandur. Bisa dikatakan tanpa panjak hore pertunjukan sandur terasa hampa. Karena para pesorak yang berada di tengah arena sandur ini yang membuat suasana pertunjukan sandur terasa hidup.
Pertunjukan sandur memang pertunjukan ramai-ramai yang hanya menggunakan satu alat musik yaitu kendang. Jadi tanpa panjak hore pertunjukan sandur terasa sepi. Bahkan menurut pengamatan saya, pada nyanyian panjak hore inilah esensi sandur bisa kita tangkap.
Dari nyanyian-nyanyian panjak hore yang jika saya tidak salah menangkap, sebenarnya mengucapkan dua kalimat syahadat dengan irama yang diulang-ulang. "Laa ilaaha illaallah, Rasulullah" ini tentu merujuk pada dua kalimat syahadat.
"He yao ya e
Lollah
Rasalullah
Lelolalelalo
Lalolelullah
Lollah lollah"
Tembang-tembang tersebut dinyanyikan secara bersama-sama oleh panjak hore. Suasana malam yang gelap dan dingin akan terasa magis, mendengar sekelompok orang duduk bersila, sebagaimana para salikin yang sedang melafalkan wirid kepada Allah SWT.
Saya berhusnudzon, sandur pada zaman dahulu diciptakan oleh para ulama yang berusaha mendakwahkan agama Islam melalui jalan kultural, yaitu melalui media kesenian. Namun dari beberapa referensi yang saya baca saya belum menemukan, sejak era kapan sandur ini mulai ada, dan siapa yang menciptakannya.
Sandur sendiri persebarannya cukup luas, sehingga masing-masing daerah tidak bisa mengklaim bahwa Sandur berasal dari daerah mereka. Walau masing-masing daerah memiliki karakter dan ciri khas dari model sandur mereka. Hal ini tentu juga menjadi sebab sulitnya melacak jejak sandur.
Walau demikian, sandur layak dan patut diperjuangkan dan dilestarikan sebagai salah satu peninggalan budaya masyarakat non benda. Masyarakat sekarang perlu diedukasi dan dipahamkan bahwa pertunjukan sandur memiliki karakter sebagai media dakwah yang cukup kreatif.
Karena masih ada sebagian masyarakat yang memandang dari segi negatif pertunjukan ini. Mungkin karena ada semacam sesajen yang dipersiapkan sebelum pertunjukan ini digelar, sehingga sandur dianggap dekat dengan klenik. Saya rasa hal-hal yang melingkupi pertunjukan sandur dengan segala ritualnya bisa dibedah dan didiskusikan bersama dengan tokoh-tokoh adat maupun tokoh-tokoh agama.
Sebelas dua belas dengan sandur, di daerah Tuban selatan tepatnya di desa Bate Kec. Bangilan ada juga pertunjukan yang juga dipakai sebagai media dakwah di tengah-tengah masyarakat, yaitu Kentrung. Sayangnya pertunjukan Kentrung Bate sudah tidak bisa dinikmati oleh masyarakat. Kentrung Bate is dead. Innalilahi wa innailaihi rojiun.
Kesenian Sandur, Kentrung, bahkan seni Tayub sekalipun yang sekarang mengalami degradasi nilai, sebenarnya memiliki nilai dan muatan religius jika kita mampu dan mau membuka bahkan membedahnya. Tinggal kita saja bagaimana caranya memandang pertunjukan-pertunjukan tersebut.
Demikian sedikit tulisan tentang Sandur yang saya dedikasikan buat temen-temen sastrawan Tuban yang tahun ini merayakan "Tahun Sandur".
Selamat juga, buat teman-teman sastrawan Tuban dan Dewan Kesenian Tuban yang pagi ini akan melaunching antologi "Dari Sekar Wardhani ke hikayat Pethak dan Balong" semoga acaranya berjalan sukses.
Terima kasih.
*15/12/19. Puncak Bukit Raden Santri Magelang*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar