Jalan
Cinta Seorang Hamba
Banyak jalan menuju
Roma, demikian pepatah yang sering kita dengar, banyak jalan pula menuju pada
jalan ketuhanan. Salah satu jalan untuk menuju kepada Tuhan adalah jalan cinta.
Secara universal cinta mampu mewadahi suluk seseorang untuk menuju altar suci
ketuhanan. Dengan cinta seseorang mampu mereguk manis dan segarnya cawan-cawan
anggur ilahiyyah yang memabukkan. Dengan cinta seseorang bisa berma’rifatullah
dan bermusahadah kepada Allah Swt.
Dalam sebuah hadits,
Rasulullah Saw bersabda:
ذَاقَ طَعْمُ حَلاَوَةِ الإِيْمَانِ مَنْ رَضِيَ
بِاللهِ رَبًّا وَبِالإسْلاَمِ دِيْناً
Artinya:
“Rasa manis iman
hanya bisa dicicipi oleh orang yang telah rida bahwa Allah-lah sebagai Tuhannya
dan Islam sebagai agamanya.”
Dari hadits
Rasulullah Saw di atas kita tahu bahwa manisnya iman hanya bisa dirasakan dan
dicicipi oleh hamba yang memberikan cinta dan ketulusan hatinya kepada Allah
Swt. Karena cinta adalah sebuah bentuk keridoan kepada hal yang dicintainya.
Dengan cinta seseorang rela memberikan apapun yang menjadi miliknya kepada hal
yang dicintainya.
Inilah yang saya
sebut sebagai jalan cinta, yaitu salah satu jalan untuk mujahadah seorang hamba
kepada Tuhan-Nya. Mujahadah di sini tentunya melibatkan anggota lahir dan batin
yang dilakukanseorang hamba dengan penuh keikhlasan. Karena hati yang ikhlas,
hati yang bersih dan suci adalah kunci untuk membuka ruang ketuhanan.
Imam Al Qusyairi
berkata: “Barang siapa yang menghiasi dirinya dengan mujahadah niscaya Allah
akan memperbaiki sirrnya (hatinya) dengan musyahadah.”
Sangat banyak contoh
yang telah diberikan oleh para Ulama sufi dalam menapaki jalan cinta ini. Oleh
karena itu jalan cinta, atau saya sebut di sini sebagai madzhab agama cinta
sama sekali tidak akan menggantikan agama yang kita anut, yaitu Islam, bukan
pula mau mengubah syariat dan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, tapi agama
cinta hanya sebuah tarekat untuk menuju jalan ketuhanan.
Banyak sekali tokoh
Ulama tasawuf yang menempuh jalan cinta ini, sebut saja tokoh sufi wanita Rabi’ah
al Adawiyah, Maulana Jalaluddin ar Rumi, Abu Mansyur Al Hallaj, Ibnu Arabi,
Ibrahim bin Adham, Syekh Abu Hasan as Syadzili dan banyak tokoh lainnya yang
tersebar dalam khasanah dunia tasawuf Islam. Tokoh-tokoh sufi tersebut di atas
dapat dipastikan memiliki salah satu jalan ketuhanan yaitu jalan cinta.
Apakah ajaran agama
cinta ini ada dasarnya? Sebagaimana yang saya kemukakan di atas, bahwa agama cinta bukan madzhab baru dalam ajaran
Islam, agama cinta hanya sekedar jalan menuju ketuhanan semata, bukan mau
membuat ajaran baru atau madzhab baru. Tentu saja ajaran cinta di sini muaranya
adalah dari Al Qur’an dan Hadits. Banyak sekali tentunya ayat-ayat Al Qur’an
yang secara tersurat maupun tersirat menerangkan tentang jalan cinta ini. Dalam
surat Al Baqarah ayat 165 Allah swt berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ
اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا
لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ
لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ (١٦٥)
Artinya:
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat
cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu
mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu
kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya
mereka menyesal).”
Dalam hadits, Rasulullah
Saw juga bersabda tentang cinta kepada beliau:
Artinya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّ
رَسُوْلَ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ: مِنْ أَشَدِّ أُمَّتِى لِى
حُبّاً نَاسٌ يَكُوْنُوْنَ بَعْدِى يَوُدًّ أَحَدُهُمْ لَوْ رَانِى بِأَهْلِهِ
وَمَالِهِ. أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.
“Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW Bersabda: ‘Salah
satu yang paling mencintai aku di antara umatku adalah orang yang hidup
speninggalku yang salah satu di antara mereka senang bila melihat aku bersama
keluarga dan hartanya.” (HR. Muslim).
Sungguh dari ayat Al
Qur’an dan hadits Nabi tentang cinta di atas meyakinkan dan memberikan
ketegasan kepada kita semua, bahwa jalan cinta adalah salah satu jalan yang
tidak menyelisihi ajaran baku dalam agama Islam. Jalan cinta memberikan ruang
bagi seorang hamba untuk mengeksplor rasa cinta dan getar kerinduan yang
mendalam terhadap Allah Swt.
Dalam sebuah riwayat:
“Tsawban, seorang budak Rasulullah Saw begitu khawatir dan takut untuk berpisah
dengan Nabi, hingga keadaan sang budak Rasulullah ini sangat kurus. Ketika
Rasulullah mengetahui hal ini, beliau menghibur Tsawban dengan sabdanya:
“Seseorang itu berkumpul bersama orang yang dicintainya.” Legalah hati budak
Rasulullah Saw setelah mendengar penuturan dari beliau.
Salah seorang ulama
sufi, Syekh al-Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Arabi mendendangkan syairnya:
Segala puji bagi Allah yang telah menajdikan cinta
sebagai tanah suci yang menjadi tujuan haji bagi hati para sastrawan.
Menjadi Ka’bah yang menjadi tempat thawaf bagi
rahasia-rahasia akal orang-orang cerdas.
Dia juga menajdikan perpisahan sebagai cangkir
berisi anggur paling pahit yang pernah dicicipi, menjadikan pertemuan terasa
insh dan mempesona. Nama-Nya yang indah dan suci bersinar dalam sanubari.
Ketika sanubari tenggelam dalam samudra cinta-Nya,
maka pintu pun tertutup lalu pasukan tentara harapan diperintahkan untuk
menyabetnya dengan pedang-pedang keinginan.
Demikianlah cinta
telah menjadi tanah suci tempat di mana sang pecinta dan yang dicintainya
bertemu dalam ruang rahasia hati. Hanya pecinta sejati yang akan menemukan apa
yang dicintainya. Dalam Fushush al Hikam dikatakan bahwa cinta adalah sumber
suatu perwujudan.
“Dari cinta kita
muncul dan atas cinta kita dicipta
Karena itu, sengaja
kita datang padanya
dan karena inilah,
kita benar-benar diterima
(Fhusush al Hikam:
2/322)
Begitulah jalan cinta
adalah jalan mula segalanya ada, tanpa cinta mustahil semesta raya ada. Allah
adalah Sang Maha Pecinta dan kita para hamba-Nya berduyun-duyun datang
keharibaan-Nya dengan penuh cinta, membawa obor cinta, dan melalui jalan cinta
kepada-Nya. Fa Innamaa Nahnu bihi wa lahu. “Kita ada karena Dia dan
untuk-Nya.” (Al Hadits).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar