Minggu, 29 September 2019

Jalaluddin Ar-Rumi Sufi Penyair Terbesar

Jalaluddin Ar-Rumi Sufi Penyair Terbesar
Oleh: Joyo Juwoto

Jika mendengar nama Jalaluddin Rumi, maka yang pertama kali muncul dalam pikiran adalah tentang tari sufi dengan para penari yang berputar bagai gasing, dan juga tentang syair-syair cinta dan syair ketuhanan.

Sufi besar yang terlahir di kota Balkha Afganistan ini memang luar biasa, ia tidak hanya dikenal dalam khasanah dunia Islam saja, namun orang-orang Barat juga sangat mengidolakan beliau.

Maulana Jalaluddin Rumi memang kesohor sebagai penyair terbesar yang dimiliki oleh umat Islam, selain itu Jalaluddin Ar-Rumi adalah sosok pribadi yang pintar dalam ilmu filsafat, dan memiliki wawasan yang luas. Demikian yang saya baca dalam bukunya Abdul Hasan An-Nadwi.

Tidak heran memang, karena Jalaluddin Ar-Rumi terlahir dari seorang ayah yang juga seorang ulama dan guru besar di zamannya. Buah memang lebih banyak jatuh dekat dengan pohonnya, begitu pula Maulana Ar-Rumi mengikuti jejak ayahnya, sebagai seorang guru besar.

Jalaluddin Ar-Rumi banyak belajar pada ulama-ulama terkemuka seperti Kamaluddin bin al-Adim, dan bertemu dengan guru-guru hebat semisal Syekh Muhyiddin ibn Arabi, Sa'aduddin al-Hamawi, Utsman Ar-Rumi, Auhaduddin al-Karmani, dan Shadruddin al- Qounawi.

Setelah ayahnya wafat, Maulana Jalaluddin Ar-Rumi menggantikan beliau menjadi guru besar. Murid-murid Jalaluddin Ar-Rumi sangat banyak, mencapai sekitar 4.000 santri. Semenjak itu beliau mengajar dan memberikan fatwa kepada masyarakat di sekitarnya.

Nama dan kebesaran Jalaluddin Ar-Rumi mulai muncul saat tanpa sengaja ia bertemu dengan seorang misterius yang nanti menjadi gurunya. Seorang sufi dari Tabriz wilayah Iran. Orang tersebut bernama Muhammad bin Ali bin Malik Daad, atau lebih terkenal dengan nama Syamsi Tabriz. Dari pertemuan dengan lelaki misterius inilah  proses karya besar Jalaluddin Ar-Rumi yang berjudul al-Matsnawi al-Maknawi  akan menemukan takdirnya.

Entah karena apa, seakan Jalaluddin menemukan sesuatu yang baru dari diri gurunya itu. Siang dan malam Jalaluddin Ar-Rumi selalu membersamai Syamsi Tabriz. Ada pesona yang seakan membuatnya menemukan banyak rahasia ilahiah yang terpendam. Dalam sebuah sajaknya, Jalaluddin menulis tentang gurunya:

"Sesungguhnya Syamsi Tabriz itulah yang telah menunjukiku jalan kebenaran. Dialah yang mempertebal keyakinan dan keimananku."

Karena keintiman Jalaluddin Ar-Rumi dengan guru barunya ini menyebabkan ia meninggalkan murid-muridnya. Hal ini tentu membuat murid-murid Jalaluddin Ar-Rumi menjadi membencinya, termasuk Sultan Walad, anak dari Jalaluddin sendiri, juga galau dengan kehadiran Syamsi Tabriz. Sultan Walad pun tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya, dan ia mengomentari hubungan ayahnya dengan lelaki misterius tersebut:

"Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan Zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya."

Jalaluddin benar-benar bagai tersihir jiwanya, ia tidak bisa berpaling dari pesona gurunya itu, sehingga tidak ada waktu lagi untuk mengurusi murid-muridnya, hal ini berdampak pada kemarahan murid-muridnya yang kemudian berujung pada pengusiran Syamsi Tabriz dari kota Kauniyah di mana mereka tinggal.

Tanpa sepengetahuan Jalaluddin, Syamsi Tabriz meninggalkan Jalaluddin Ar-Rumi, peristiwa ini terjadi sekitar tahun 643 H. Setelah ditinggal gurunya pergi, Jalaluddin menjadi sedih tak terkira. Ia kemudian banyak menyendiri, menyepi,  meninggalkan keramaian dan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Setelah sibuk dalam kesendirian, pada suatu hari ada surat dari Damaskus, ternyata surat tersebut dari Syamsi Tabriz, alangkah gembiranya hati Jalaluddin, sehingga saat itu pula ia mengakhiri uzlahnya, dan mulai mengajar kembali murid-muridnya yang sekian lama tidak ia perhatikan dan ia tinggalkan.

Seperti telaga bening yang menyejukkan, dari kedalaman hatinya yang menyimpan rindu yang menggebu, Jalaluddin Ar-Rumi menulis sepucuk surat untuk gurunya tercinta:

O cahaya yang semburat dalam hati, kemarilah
Tambatan nurani dan segala damba, datanglah
Wahai pendahulu yang aku lebih dahulu darimu
Yang memiliki cinta sejati, kemarilah
Wahai kesenangan dan kebahagiaan manakala datang
Dan wahai kesusahan dan kesedihan apabila hilang
Engkau bagai mentari nan dekat namun jauh
Wahai orang yang dekat namun jauh, kemarilah.

Betapa bahagianya Jalaluddin, kekasih hati yang dirindukan segera datang, tidak ada obat bagi penyakit rindu kecuali sebuah pertemuan. Jalaluddin pun sangat bahagia bertemu kembali dengan gurunya, setelah sekian lama tidak bersua. Jalaluddin terus bersama gurunya, seakan ia tidak mau dipisahkan oleh apapun dan siapapun. Namun takdir berkata lain, ia harus kembali berpisah dengan gurunya, bahkan perpisahan ini membuatnya kehilangan sosok yang dicintainya.

Perpisahan kedua ini benar-benar  memukul jiwa dan perasaannya. Jalaluddin berusaha mencari gurunya ke segala penjuru. Namun sayang, gurunya seperti raib ditelan bumi. Dalam masa pencarian inilah, dengan tanpa sadar Jalaluddin sering membaca sajak dan kasidah-kasidah, kalimat-kalimat itu keluar begitu saja dari mulutnya.

Jalaluddin terus mencari dan mencari, ia tidak pernah bosan untuk menjelajahi dari satu tempat ke tempat lain demi bertemu dengan gurunya. Namun Syamsi Tabriz tak pernah ditemukan. Setiap orang ia tanya tentang keberadaan sang guru, siapapun yang memberikan petunjuk, atau bercerita tentang gurunya, ia dengan suka hati memberikan hadiah kepada orang tersebut.

Walaupun dalam perjalanan mencari gurunya tidak berhasil, lama kelamaan hati dan jiwanya  menjadi tenang. Ia terus berjalan dan mencari, hingga akhirnya ia punya satu kesimpulan bahwa gurunya sebenarnya tidak pernah hilang dan berpisah dengan dirinya. Jalaluddin berkata kepada dirinya sendiri:

"Antara aku dan Syamsuddin sama sekali tidak ada bedanya. Jika dia matahari, aku serbuk cahayanya. Jika ia laut, aku adalah bahteranya. Serbuk cahaya bersumber pada matahari dan kehidupan perahu (bahtera) pada laut."

Setelah pencarian panjang tidak mendapatkan hasil, Jalaluddin kembali ke Kauniyah tempat ia tinggal. Ia pun menyibukkan diri dengan mengajar kembali murid-muridnya. Namun kerinduan terhadap sosok sang guru terus menggelora. Ia mulai menata diri dan hati, bahwa antara dirinya dan gurunya sebenarnya tidak ada beda. Kau adalah Aku, dan aku adalah engkau dalam bentuk lain. Begitu kira-kira.

Dalam salah satu puisinya Jalaluddin menulis:

"Aku tidak akan lagi mencari. Aku akan mencari diriku sendiri, sebab segala yang ada dalam diri Syamsuddin, juga ada dalam diriku."

Walaupun demikian, tak dapat dipungkiri Jalaluddin merasakan kesepian dalam jiwanya. Dalam kesepian karena ditinggal gurunya inilah, Jalaluddin ditemani Sholahuddin Ad-Dukak, selama sepuluh tahun. Pada tahun 658 H Sholahuddin wafat, hal ini juga menyebabkan Kegoncangan hati Jalaluddin.

Setelah itu, Jalaluddin ditemani oleh Syal Hasamuddin sebagai kawan dukanya. Pada saat inilah Jalaluddin banyak menulis puisi. Ia menulis dan mengalir begitu saja tanpa berfikir dari akal pikirannya. Puisi ini kelak dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul al-Matsnawi al-Maknawi yang dianggap sebagai kitab sucinya orang Persia yang fenomenal itu.

*Bangilan, 29/09/19*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar