Minggu, 01 September 2019

Inilah Tempat Pertama kalinya Kendurian dilaksanakan oleh Sunan Bonang

Inilah Tempat Pertama kalinya Kendurian dilaksanakan oleh Sunan Bonang

Dalam sarasehan budaya haul ke 510 Sunan Bonang, bersama KH. Agus Sunyoto, yang dilaksanakan di Aula Kampus Stitma Tuban (Ahad, 25/08/2019), KH. Agus Sunyoto banyak membedah jejak langkah yang dilakukan Sunan Bonang dalam mendakwahkan Islam di Nusantara.

Menurut KH. Agus Sunyoto, yang juga sebagai ketua pusat Lesbumi Nahdlatul ulama ini Sunan Bonang adalah salah satu waliyullah yang memiliki banyak keahlian dan metode dalam mendakwahkan Islam di Tanah Jawa.

Salah satu fiqh dakwah Sunan Bonang di tengah masyarakat saat itu adalah ritual kendurian. Jika kita hari ini melihat kendurian sebagai kegiatan membaca kalimat thayyibah, yang kemudian dilanjutkan dengan  makan-makan, dengan lauk panggang ayam, maka tidak demikian dengan adat kenduren yang dilakukan oleh masyarakat di jaman Kanjeng Sunan Bonang.

Jika kita menelisik jejak perjuangan Sunan Bonang dalam rangka membuat upacara kenduren, maka akan kita dapati betapa kendurian saat itu tidak sesederhana seperti yang kita lihat dan kita lakukan seperti hari ini.

Cikal bakal kendurian sudah ada sejak zaman dahulu. Di tanah Jawa khususnya di wilayah Kediri ada sekelompok pemeluk agama BairawaTantrayana.

Kendurian yang dilaksanakan oleh kelompok Bairawa ini cukup mengerikan. Ritualnya namanya Panca Makara, atau disebut Ma5.  Sesaji untuk upacara Panca Makara berupa daging manusia, sedang minumannya adalah darah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kiai Agus Sunyoto.

Oleh karena itu Sunan Bonang mengubah upacara Panca Makara dengan istilah kendurian seperti yang kita kenal sekarang. Tentu kita tidak bisa  membayangkan jika upacara Panca Makara masih dilakukan hingga saat ini. Ngeri.

Tempat pertama kali Sunan Bonang mengadakan upacara kendurian berada di sebuah langgar yang ia bangun. Tepatnya di desa Singkal Nganjuk. Sayangnya langgar itu tidak meninggalkan bekas. Petilasannya pun tidak ada. Demikian ungkap Kiai yang sangat tekun meneliti sejarah keislaman di Nusantara dan mengumpulkan ribuan manuskrip kuno itu. *Joyo Juwoto*

2 komentar:

  1. Kupasan dan artikel yang menarik. Kalau kita mengenal sejarah dan paham budaya. Tak ada lagi sekelompok orang menyalahkan kelompok yang lain.

    Salam dari Rembang mas.

    BalasHapus
  2. Enggih mas, betul sekali. Jangan sampai generasi muda amnesia terhadap sejarah bangsanya sendiri. Bahaya. Salam saking Tuban, mas.

    BalasHapus