Cerita
Ludruk dan relevansinya dengan perpolitikan Nasional
Oleh:
Joyo Juwoto
Sekitar tahun 80-90an
ludruk masih menjadi tontonan yang dipentaskan dan banyak digemari oleh
masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Sewaktu kecil saya sering menonton
ludruk yang biasa pentas di gedung pertunjukan yang dibuat semi permanen. Gedung ludruk dibangun di sebuah tanah lapang
di desa saya, dinding pembatasnya memakai seng, di dalamnya ada sebuah panggung
untuk pementasan ludruk.
Masyarakat yang
menonton ludruk harus melewati pintu loket di pintu depan untuk mendapatkan
karcis, dengan selembar karcis itulah masyarakat bisa menikmati seni ludruk
yang biasanya dipentaskan sesudah isya’. Cerita ludruk yang masih saya ingat
dan populer di tengah masyarakat diantaranya adalah: Maling Cluring, Sampek ingtai,
Warok Suromenggolo Suminten Edan, Sogol Pendekar Sumur Gemuling, Sarib Tambak Oso,
Jaka Sambang Pendekar Gunung Gangsir dan lain sebagainya.
Saya rasa generasi 80
hingga 90an sangat hapal dengan lakon-lakon yang saya sebutkan di atas, dan
mampu membaca lakon-lakon dalam ludruk tersebut mempunyai relevansi nilai
sosial, politik dan kebudayaan dalam masyarakat kita hari ini.
Lakon cerita yang
dipentaskan dalam seni ludruk hampir memiliki kesamaan alur dan ide cerita,
kisah yang dipentaskan cukup dekat dengan kehidupan masyarakat bawah, sarat
dengan kondisi masyarakat yang mengalami banyak diskriminasi sosial dan politik
kepentingan. Seperti lakon Sogol Pedekar Sumur Gemuling, Sakerah, Jaka Sambang,
dan Sarib Tambak Oso. Lakon tersebut mengisahkan perjuangan dari kaum rakyat
jelata dalam melawan kesewenang-wenangan penguasa, yaitu kaum ningrat yang
didukung oleh goverman Belanda saat itu.
Kesamaan dari
lakon-lakon tersebut adalah kisah perjuangan kaum proletar yang membela rakyat
jelata, setiap perjuangan mereka selalu saja dikalahkan oleh orang-orang dekat
mereka yang menjilat penguasa goverman Belanda. Orang-orang yang mengkhianati
perjuangan para tokoh tersebut dengan cara menjual rahasia kelemahan dari
kesaktian pendekar-pendekar tersebut,
yang akhirnya perjuangan mereka gagal dan nasib pendekar-pendekar itu
tewas di tangan Belanda.
Kisah-kisah yang
sedemikian ini tentu memiliki relevansi dengan kondisi sosial politik di tengah
masyarakat kita saat ini, apalagi di era tahun politik yang cukup gerah dan
memanas, ada saja hal yang dipakai senjata untuk menghancurkan lawan
politiknya, baik dengan cara-cara yang konstitusional hingga pada hal-hal yang
kadang berada di luar jangkauan akal sehat. Semua itu dilakukan demi politik
praktis, demi kekuasaan, demi harta dan hal keduniaan lainnya.
Hari ini kita bisa
membaca di tengah masyarakat hanya gara-gara pilihan politik yang berbeda
persatuan terancam pecah, antar teman saling terjadi gesekan, bahkan gara-gara
politik juga mayat yang sudah tidak memiliki dosa harus menanggung petaka
terancam tidak disholatkan, kuburan
dibongkar juga gara-gara perbedaan pilihan dalam politik. Sungguh mengenaskan.
Dunia perpolitikan
kita hari ini begitu memuakkan dan sangat kotor, wajar jika masyarakat kita
anti dengan kata politik, masyarakat berusaha menjauhkan aktivitasnya dengan
kata politik, lembaga agama dan tokoh-tokohnya berusaha menjaga jarak dengan
politik, padahal lembaga-lembaga dalam masyarakat tersebut ada adalah bagian
dari perpolitikan juga, sungguh naif.
Semoga kita semuanya
menyadari kondisi yang mengkhawatirkan bagi persatuan dan kesatuab nasional
kita, seyogyanya kita tahu perbedaan pilihan politik adalah konsekuensi yang
harus kita tanggung dalam berdemokrasi yang kita cita-citakan bersama, kalau
memang kita tidak memiliki sense terhadap perbedaan apakah perlu kita kembali
ke rezim satu kekuasaan yang melahirkan politik tangan besi? saya tentu tak
perlu menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar