Bacalah bukan bakarlah!
Oleh: Joyo Juwoto
Saya masih ingat ketika pertama kali berkunjung ke perpustakaan pataba milik keluarga Toer, saat masuk ke halaman yang cukup luas saya dan teman-teman disambut oleh beberapa ekor kambing peliharaan mbah soesilo Toer.
Rumah Soesilo Toer yang juga difungsikan sebagai perpustakaan itu banyak ditumbuhi oleh rumput rumput liar, sangat cocok jika kambing-kambing tersebut dibiarkan hidup bebas dan liar.
Tak berselang lama pemilik rumah sekaligus tuan dari kambing-kambing pun ikut keluar menyambut kedatangan kami, beliau adalah soesilo Toer. Kakek yang sudah berumur ini menyambut kami dengan wajah yang sumringah. Senyumnya mengembang diantara kumisnya yang sudah memutih rata.
" Ini dari mana semuanya? Tanya Mbah soesilo Toer ramah. " mari mari silakan masuk" beliau sambil menggamit satu dari kami.
"Oh, kami dari Bangilan Tuban" jawab teman kami yang digamit oleh Mbah soesilo Toer.
Saat akan masuk rumah, saya terpaku melihat sebuah tulisan yang dipasang di dinding perpustakaan pataba. Tulisan itu saya baca keras-keras, "bacalah, bukan bakarlah!
Saya menduga dan pasti dugaan saya benar bahwa tulisan itu sebagai bentuk pembelaan dan protes atas pembakaran buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Jadi saya tidak perlu menanyakan akan hal itu kepada Mbah soesilo Toer.
Walau tidak ditanya, mbah Soes mengatakan kepada kami, "Tulisan bacalah bukan bakarlah! itu kalau dulu karena buku-bukunya Pram banyak yang mendapat perlakuan vandalis, dibakar, oleh siapa? Saya rasa kalian sudah tahu" Mbah Soes menjelaskan kepada kami, walau tanpa kami pinta.
"Itu dulu, dulu sekali, sekarang, kondisinya sudah berbeda, kalimat sama tersebut dapat kita tafsirkan ulang, "Bacalah dan bakarlah!..., titik-titiknya itu bisa kalian isi sendiri" lanjut Mbah soes sambil memamerkan gigi-giginya yang sudah ompong beberapa.
Sambil memasuki ruangan perpustakaan yang tidak begitu luas, namun berisi banyak lembaran mutiara, Mbah Soes terus bercerita kepada kami banyak hal, sungguh beliau seorang kakek yang sangat mengasyikkan.
Saya sebenarnya tidak habis pikir, sebuah buku harus dimusuhi sedemikian rupa hingga perlu dibakar segala. Bagi saya membaca apapun it's oke, tidak ada masalah. Mau buku kiri mau buku kanan, mau atas mau bawah no problem. Buku adalah buku yang tetap tunduk di bawah nalar sadar dan pikiran sehat kita.
Mencurigai buku secara berlebihan dan menganggap buku bisa melahirkan kejahatan adalah tanda dari lemahnya literasi kita. Saya maklum ada buku yang ditulis dengan tujuan propaganda namun tetap saja akal sehat yang akan mengeksekusi paham yang ada di dalam buku tersebut. Pembaca tentu boleh berbeda pandangan dalam hal ini dengan apa yang saya kemukakan. Sah.
Jadi membaca bukan sekedar menelan mentah-mentah informasi yang ada di dalam buku, namun seorang pembaca dituntut untuk menjadi pembaca yang aktif, kreatif sekaligus kurator bagi sebuah buku itu sendiri.
Jika budaya literasi tumbuh subur dan menjadi bagian dari gaya hidup dan kebudayaan masyarakat, saya yakin tak ada buku berbahaya di hadapan kita, semua buku adalah sama menyajikan sebuah informasi baik itu kiri maupun kanan, tinggal kita yang akan mengeksekusi di level aksi nyata, "Fa alhamahaa fujuuraha wa taqwaaha".
Bukan hanya itu saja, masyarakat yang melek literasi menurut pendapat banyak pakar bukan saja mampu menjadikan masyarakat arif dan bijaksana dalam berperilaku, namun juga menjadikan masyarakat mampu memilah dan memilih informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan, serta menghindarkan masyarakat dari berita hoax yang sekarang berada di titik ledaknya.
Benar sekali sebuah tulisan yang di tempel di dinding Pataba yang saya kunjungi beberapa waktu silam, "Bacalah, bukan bakarlah! Salam literasi, salam Iqra'.
Joyo Juwoto, pegiat literasi di Komunitas Kali kening, tinggal di Bangilan Tuban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar