*Menyesap Barakah Bumi Tulungagung*
Oleh: Joyo Juwoto
Tulungagung, sebuah kota kabupaten yang berada di 166 Km ke arah selatan dari tempat tinggal saya. Di kota Tulungagung inilah kopdar II komunitas Sahabat Pena Kita (SPK) digelar. Sebagai salah satu anggota komunitas SPK, saya meniatkan diri untuk hadir di kopdar yang dilaksanakan pada Minggu, 26 Januari 2019 bertempat di gedung rektorat IAIN lantai 3 Tulungagung.
Saya termasuk anggota yang selalu punya seribu alasan untuk tidak hadir, entah itu karena kesibukan ataupun karena hal-hal lain, walaupun sebenarnya kondisi itu bisa diubah menjadi selalu punya seribu alasan untuk hadir, Sebagaimana yang dikatakan oleh pak Emcho, panggilan akrab pak Much. Khoiri, salah satu senior di SPK.
Karena suatu hal, sabtu malam sesudah adzan isya' saya baru bisa berangkat menuju Tulungagung naik sepeda motor. Saya rasa jarak 166 km belum terlalu jauh bagi usia saya yang masih diangka 30an. Walau belum pernah pergi ke Tulungagung saya tak berfikir banyak, selagi roda berputar saya yakin pasti sampai di tempat tujuan. Apalagi sekarang jamannya GPS.
Rute terdekat yang harus saya tempuh sebagaimana petunjuk mbah GPS, dari Bangilan menuju Bojonegoro lanjut ke arah jalur selatan melewati jalur hutan sepanjang kurang lebih 30 KM sebelum memasuki perkampungan di kabupaten Nganjuk. Sebenarnya istri saya tidak tega membiarkan suaminya menempuh hutan bersepeda sendirian di tengah malam, namun niat dan tekad saya purna, saya harus datang di kopdar bagaimanapun caranya.
Karena memang belum tahu rutenya, saya mengandalkan mbah GPS memandu perjalanan saya di malam gelap yang sesekali diiringi rintik hujan, sungguh syahdu sekali. Sekitar pukul 23.30 WIB saya sampai di Kediri, karena capek dan mengantuk saya istirahat dan tidur di salah satu masjid di sana. Pagi sesudah subuh perjalanan saya lanjutkan hingga akhirnya sampai juga di gerbang IAIN Tulungagung. Lega.
Seharian penuh seluruh rangkaian acara kopdar saya simak dan saya ikuti, mulai dari pembukaan, materi kepenulisan bersama pak Wawan Susetya, pak Yusri Fajar, dan juga pak Ngainun Naim, hingga acara ramah tamah khusus anggota SPK yang berlangsung sesudah seminar literasi, juga saya ikuti hingga selesai sekitar pukul 16.30 WIB. Sesudah itu dilanjutkan foto-foto bersama. Saya tentu sangat senang bisa mengikuti seluruh rangkaian acara kopdar hingga selesai.
Setelah itu sekitar pukul 17.30 WIB saya langsung pulang diantar Mas Agus Hariono sampai di Kediri, sekalian dibontoti oleh-oleh khas kota Kediri. Perjalanan selanjutnya sama dengan keberangkatan saya, yaitu berjalan dalam gelap diiringi rintik hujan sambil menyimak komando Mbah GPS yang mengarahkan perjalanan saya hingga sampai di rumah kembali. Alhamdulillah.
Kopdar SPK di Tulungagung memang sudah saya rencanakan dan saya niatkan jauh-jauh hari untuk hadir, oleh karena itu bagaimanapun kondisinya saya berusaha datang. Selain untuk kopdar saya meniatkan perjalanan saya menuju Tulungagung adalah perjalanan ibadah dan tholabul ilmi. Sebagaimana yang saya pahami dari hadits Rasulullah Saw. yang berbunyi: *"Man salaka thoriiqan yaltamisu fiihi Ilman sahhalallahu lahu thoriiqan ilal jannah".*
Selain itu dalam menempuh perjalanan menuju Tulungagung saya juga berkhusnudzon, qadarullah bisa menyesap barakah dari bumi Tulungagung. Tulungagung sendiri secara bahasa berasal dari bahasa Jawa yang artinya pertolongan besar. Berarti sesuai namanya tempat ini dulu punya akar sejarah yang berkaitan dengan pertolongan. Saya hanya menduga secara linguistik saja, entah benar entah salah.
Menurut saya masyarakat Jawa memang memiliki tradisi unik ketika menamai sesuatu. Ada doa dan harapan yang biasanya diselipkan dalam sebuah nama, entah itu nama anak, nama tempat, termasuk nama kota Tulungagung tentunya.
Melewati kota Kediri sambil beristirahat saya mengotak-atik makna dari nama tersebut. Kediri menurut saya memiliki makna simbolik yang luar biasa, Ke(diri), berarti menuju kepada diri sendiri. Maksudnya manusia sesibuk apapun jangan lupa menengok kedalam batinnya, ke dalam jiwanya, karena di situlah terdapat telaga kontemplasi di mana manusia bisa merenungkan kesejatian dan makna hidup yang hakiki. Rasulullah Saw bersabda: *istafti qalbaka* mintalah fatwa pada hati nuranimu.
Jadi setelah perjalanan menempuh Ke(diri) kita akan sampai pada pertolongan agung, atau sampai ke Tulungagung. Mungkin makna ini hanya sekedar perenungan dan cara saya mbombong diri di tengah perjalanan menuju kopdar ke Tulungagung.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Rektor IAIN Tulungagung, Bapak Dr. Maftukhin, M.Ag ternyata memang benar, dalam sejarahnya Tulungagung pada zaman dahulu mempunyai peranan besar dalam memberikan pengajaran agama untuk kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Jika dulu di Kediri ada kerajaan Daha, di Ponorogo ada Wengker, di Sidoarjo ada Jenggala, maka Tulungagung menjadi tempatnya para resi atau disebut sebagai keresian. Hal ini yang mungkin berkaitan dengan nama Tulungagung. Karena biasanya karesian ini digunakan pihak kerajaan maupun masyarakat tempat untuk mengadu dan meminta pertolongan.
Apapun itu, saya menuju Tulungagung untuk kopdar dengan anggota SPK dalam rangka mencari pertolongan besar guna meningkatkan kembali semangat saya dalam menulis yang mulai kendor, semoga pertemuan dengan para guru, sahabat, dan para sesepuh SPK di Tulungagung menjadikan semangat berliterasi kembali membara. Salam.
*Joyo Juwoto, penulis Dalang Kentrung Terakhir. Tinggal di Bangilan Tuban.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar