Oleh
: Joyo Juwoto
Kemarin, hari ini,
besok, esok atau entah kapan lagi, sebuah buku mungkin belum selezat pizza, tidak
seenak coklat, atau tidak semenarik pop corn saat dibawa nonton di gedung
bioskop, tetapi sampai kapanpun buku tetaplah memiliki penggemar yang tidak
kalah fanatiknya dengan penonton sepak bola. Buku sampai kapanpun akan menjadi
benda keramat yang disimpan rapi di rak-rak buku, di dalam lemari yang
terkunci, dan menjadi pajangan kebanggaan. Saya tidak tahu apakah kalimat saya
yang terakhir ini termasuk hal yang positif bagi dunia perbukuan atau justru
menjadi sesuatu hal yang mencemaskan.
Ngomong-ngomong
masalah buku, mengapa ya kok tidak seramai dan seheboh seperti hari Kartini?
padahal waktunya berdekatan, sama-sama jatuh di bulan April, tanggalnya pun
hanya terpaut satu hari saja. Hari Kartini tanggal 21 April, sedang hari buku
sedunia tanggal 23 April. Saya sendiri ya baru mikir dengan fenomena historis
ini.
Saya sendiri belum
begitu paham apa itu hari buku sedunia, dan saya kebetulan juga belum googling
tentang ini. Tetapi dari namanya dapat dipastikan hari buku tentu punya kaitan
dengan dunia literasi, dunia membaca dan menulis. Sedang hari Kartini yang
diperingati sebagai hari emansipasi kaum wanita pada dasarnya juga punya
hubungan yang erat dengan dunia literasi. Bukankah nama Kartini abadi salah
satu faktornya adalah karena tulisan-tulisannya?
Dari sisi ini
kemudian saya baru berpikir, mengapa ya perayaan hari Kartini dan hari buku
sedunia tidak dibuat serangkaian dan sepaket saja. Lembaga-lembaga dan instansi-instansi
pendidikan yang menyelenggarakan perayaan hari Kartini sekalian mempromosikan
hari buku sedunia? Memang hari buku secara nasional juga ada, namun saya kira
tidak mengapa jika hari Kartini juga memiliki semangat sebagai hari literasi,
karena menurut saya Kartini juga menginspirasi dalam dunia buku, dunia tulis
menulis.
Memperingati hari
buku sejatinya adalah mengingatkan kembali bahwa buku memiliki andil dan
sumbangan yang cukup besar terhadap revolusi dan perkembangan dunia, termasuk
tentu di Indonesia. Para tokoh-tokoh nasional kita yang memperjuangkan
kemerdekaan negeri ini adalah para kutu buku dan maniak buku.
Bung Karno adalah
seorang pembaca yang tekun, ketika teman-temannya asyik dan sibuk bermain,
Soekarno banyak menghabiskan usia mudanya dengan membaca buku. Dari buku itulah
Soekarno berkenalan dengan ide-ide besar para tokoh dunia, seperti Thomas
Jefferson, penulis Declaration of Independen) dari buku pula Soekarno berbicara
dan berdiskusi dengan Karl Marx, Lenin, JJ. Rousseau, Aristide Briand, dan Jean
Jaubres seorang ahli pidato terbesar dalam sejarah Prancis.
Bung Hatta juga
seorang penggila buku. Tokoh yang mendampingi Soekarno dalam pembacaan teks
proklamasi 45 ini adalah seorang pecinta buku yang luar biasa. Hatta ini tidak
bisa berpisah dengan buku-buku, kemanapun ia berada, disampingnya tentu ada
buku-buku yang menjadi idolanya. Saking cintanya kepada buku, sampai-sampai
Hatta menjadikan buku sebagai istri pertamanya, sedang istrinya sendiri berada
diurutan kedua. Gila! Eh! Bung Hatta ini menikah dengan istrinya, Rahmi dengan
mas kawin buku yang ditulisnya sendiri. Luar biasa.
Tan Malaka, tokoh
yang menggagas dan membuat konsep “Republik Indonesia” adalah seorang pembaca
yang ulung, bukan hanya sekedar membaca, Tan Malaka menulis banyak bukum yang
menjadi konsep Republik Indonesia merdeka. Tulisan-tulisan Tan ini menjadi
rujukan para tokoh nasional termasuk Soekarno untuk menentukan langkah
Indonesia merdeka seratus persen dari penjajahan Belanda.
Begitulah daya
kekuatan sebuah buku yang mampu menginspirasi dan mengubah sebuah peradaban
bangsa bahkan dunia, sebagaimana hal besar yang juga dilakukan oleh RA. Kartini
yaitu mencerahkan peradaban kaum dan bangsanya dengan menulis. Tentu menulis di
sini juga dibarengi dengan aksi nyata di luar lembaran-lembaran kertas
tentunya, agar ilmu yang ada di dalam buku tidak mengendap di kepala, tetapi
juga diaplikasikan di dunia nyata.
Hari Kartini dan Hari
Buku Sedunia adalah momentum untuk membuat sebuah monumen bersejarah, bahwa
hari Kartini tidak sekedar bedak dan lipstik, namun lebih dari itu menjadi
cahaya pengetahuan yang menerangi puncak peradaban bangsa, minadz dzuluumaati
ilan nuur. Habis Gelap Terbitlah Terang. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar