Rabu, 31 Januari 2018

Toleransi di Pondok Pesantren

Toleransi di Pondok Pesantren
Oleh : Joyo Juwoto

Kehidupan di pondok pesantren sangatlah beragam, apalagi jika yang mondok bukan hanya dari golongan satu madzab saja tentu perbedaan-perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Belum lagi yang mondok berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda dan dari daerah yang berbeda pula, maka lengkaplah perbedaan yang ada dalam sebuah pondok pesantren.

Seperti di pondok pesantren ASSALAM Bangilan Tuban di mana saya mengabdikan diri di dalamnya, santri-santrinya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, maka tidak aneh jika ada yang beragama dengan amaliyah NU ada pula yang beragama dengan amaliyah Muhammadiyah, perbedaan diantara dua organisasi keagamaan ini tentu berbeda namun demi keharmonisan dan ukhuwwah terjaga maka toleransi dan saling menghormati adalah jawaban dari kondisi yang demikian.

Semenjak berdirinya, pondok pesantren ASSALAM Bangilan memang telah mengikrarkan semboyan “Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Berdiri di atas dan untuk semua golongan” sebuah semboyan yang diadopsi oleh pendirinya dari pondok modern Darussalam Gontor Ponorogo. Semboyan ini menjadi ruh pesantren ASSALAM dalam kehidupan sehari-hari para santri.

Terbukti walaupun diantara santri ada yang berbeda amaliyah keagamaannya namun mereka bisa hidup rukun, saling menghormati, damai berdampingan tanpa ada saling menyalahkan diantara satu sama lain. Toleransi dalam perbedaan sudah menjadi kebiasaan dan makanan sehari-hari para santri sehingga mereka tidak asing dengan adanya hal-hal yang berbeda dalam praktek keagamaan yang mereka jalani.

Semisal saat shalat tarawih, yang berpandangan NU menjalankan rakaat tarawih sebanyak 23 rakaat, sedang  yang berpandangan Muhammadiyah 11 rakaat. Hal ini biasa dilakukan secara bergantian, walaupun kadang santri yang berpandangan NU menambah sendiri jumlah rakaatnya. Begitu juga dengan qunut shalat shubuh, ada kalanya shubuh memakai qunut adakalanya tanpa qunut karena ketepatan imamnya adalah santri Muhammadiyah.

          Tidak heran jika setelah lulus dari pesantren santri-santri bisa menyesuaikan dengan kondisi masyarakat di mana mereka tinggal. Karena mereka sudah dibiasakan memiliki jiwa toleransi yang tinggi dan saling menghargai sebuah perbedaan. Para santri tidak gagap menghadapi pluralitas  yang ada di tengah-tengah masyarakat. Karena memang mereka dididik dan digembleng untuk menjadi perekat umat bukan perusuh dan pemecah belah umat.

          Perbedaan pendapat khususnya dalam bidang kajian ilmu fikih memang sudah sangat wajar terjadi, sehingga santri-santri yang telah dibekali ilmu tentang perbedaan pendapat diantara ulama fikih tidak kaget dengan fenomena perbedaan yang bersifat fikkhiyyah, apalagi mereka-mereka yang telah membuka berbagai macam literatur tentang ikhtilaf al-ulama. Pola kehidupan santri yang telah dikenalkan dengan perbedaan ini nantinya akan menjadi bekal setelah lulus dari pesantren, dan diterapkan di tengah kehidupan masyarakat yang beragam. Dengan demikian santri akan lebih siap untuk menghadapi yang memang secara sunnatullah penuh dengan perbedaan, baik itu dalam kehidupan beragama ataupun dalam hal lainnya.

          Jika ada yang menuduh bahwa pesantren anti keberagaman dan anti toleransi maka bisa dipastikan tuduhan itu salah alamat dan tidak berdasar sama sekali, karena di pesantren justru para santri belajar langsung toleransi dari sumbernya yang paling murni, yaitu pesantren.



*Joyo Juwoto, Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban. Diantara buku yang ditulisnya adalah: Jejak Sang Rasul (2016); Secercah Cahaya Hikmah (2016), Dalang Kentrung Terakhir (2017,) Tiga Menguak Pram (2018), Cerita Dari Desa (2018) dan menulis puluhan antologi bersama Sahabat Pena Nusantara dan beberapa komunitas literasi lainnya”.


5 komentar: