Toleransi di Pondok Pesantren
Oleh : Joyo Juwoto
Kehidupan di pondok pesantren
sangatlah beragam, apalagi jika yang mondok bukan hanya dari golongan satu
madzab saja tentu perbedaan-perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan yang tidak
bisa dihindari. Belum
lagi yang mondok berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda dan dari
daerah yang berbeda pula, maka lengkaplah perbedaan yang ada dalam sebuah
pondok pesantren.
Seperti di pondok
pesantren ASSALAM Bangilan Tuban di mana saya mengabdikan diri di dalamnya,
santri-santrinya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, maka tidak aneh
jika ada yang beragama dengan amaliyah NU ada pula yang beragama dengan
amaliyah Muhammadiyah, perbedaan diantara dua organisasi keagamaan ini tentu
berbeda namun demi keharmonisan dan ukhuwwah terjaga maka toleransi dan saling
menghormati adalah jawaban dari kondisi yang demikian.
Semenjak berdirinya, pondok pesantren ASSALAM Bangilan memang telah
mengikrarkan semboyan “Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Berdiri di atas dan
untuk semua golongan” sebuah semboyan yang diadopsi oleh pendirinya dari pondok
modern Darussalam
Gontor Ponorogo. Semboyan
ini menjadi ruh pesantren ASSALAM dalam kehidupan sehari-hari para santri.
Terbukti walaupun diantara santri ada yang berbeda amaliyah keagamaannya
namun mereka bisa hidup rukun, saling menghormati, damai berdampingan tanpa ada
saling menyalahkan diantara satu sama lain. Toleransi dalam perbedaan sudah
menjadi kebiasaan dan makanan sehari-hari para santri sehingga mereka tidak
asing dengan adanya hal-hal yang berbeda dalam praktek keagamaan yang mereka
jalani.
Semisal saat shalat tarawih, yang berpandangan NU menjalankan rakaat
tarawih sebanyak 23 rakaat, sedang yang
berpandangan Muhammadiyah 11 rakaat. Hal ini biasa dilakukan secara bergantian, walaupun kadang santri yang berpandangan NU menambah sendiri jumlah
rakaatnya. Begitu juga dengan qunut shalat shubuh, ada kalanya shubuh memakai
qunut adakalanya tanpa qunut karena ketepatan imamnya adalah santri
Muhammadiyah.
Tidak heran jika setelah lulus dari
pesantren santri-santri bisa menyesuaikan dengan kondisi masyarakat di mana
mereka tinggal. Karena mereka sudah dibiasakan memiliki jiwa toleransi yang
tinggi dan saling menghargai sebuah perbedaan. Para santri tidak gagap
menghadapi pluralitas yang ada di
tengah-tengah masyarakat. Karena memang mereka dididik dan digembleng untuk
menjadi perekat umat bukan perusuh dan pemecah belah umat.
Perbedaan pendapat khususnya dalam
bidang kajian ilmu fikih memang sudah sangat wajar terjadi, sehingga
santri-santri yang telah dibekali ilmu tentang perbedaan pendapat diantara
ulama fikih tidak kaget dengan fenomena perbedaan yang bersifat fikkhiyyah,
apalagi mereka-mereka yang telah membuka berbagai macam literatur tentang
ikhtilaf al-ulama. Pola kehidupan santri yang telah dikenalkan dengan perbedaan
ini nantinya akan menjadi bekal setelah lulus dari pesantren, dan diterapkan di
tengah kehidupan masyarakat yang beragam. Dengan demikian santri akan lebih
siap untuk menghadapi yang memang secara sunnatullah penuh dengan perbedaan,
baik itu dalam kehidupan beragama ataupun dalam hal lainnya.
Jika ada yang menuduh bahwa pesantren
anti keberagaman dan anti toleransi maka bisa dipastikan tuduhan itu salah
alamat dan tidak berdasar sama sekali, karena di pesantren justru para santri
belajar langsung toleransi dari sumbernya yang paling murni, yaitu pesantren.
*Joyo
Juwoto, Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban. Diantara buku yang
ditulisnya adalah: Jejak Sang Rasul (2016); Secercah Cahaya Hikmah (2016),
Dalang Kentrung Terakhir (2017,) Tiga Menguak Pram (2018), Cerita Dari Desa
(2018) dan menulis puluhan antologi bersama Sahabat Pena Nusantara dan beberapa
komunitas literasi lainnya”.
wah global ya pak di pondok sini, ada yang muhammadiyah dan NU berdampingan secara harmonis. salut..
BalasHapusMantap...
BalasHapusMantap...
BalasHapusPondok pesantren ASSALAM berdiri diatas dan untuk semua golongan,mantap ustadz.
BalasHapustoleransi 😍👍
BalasHapus