Oleh : Joyo Juwoto
Seperti yang telah saya tuliskan
kemarin tentang perburuan buah durian di desa Jlodro Kec. Kenduruan, ada hal lain yang sederhana namun
cukup menarik yang ingin saya ceritakan kembali di blog saya ini. Sekitar pukul
14.30 WIB kemarin saya meluncur dengan gembira ceria ke Jlodro dengan
berboncengan motor bersama istri dan kedua anak saya, Naila dan Nafa.
Di sepanjang perjalanan udara cukup
sejuk karena cuaca agak mendung sehingga terik matahari tidak sempat menyentuh
kulit kami. Alam siang itu cukup bersahabat sehingga kami bisa menikmati
pemandangan yang cukup indah di sepanjang jalan yang kami lewati. Terlebih
jalan yang kami lewati banyak melintasi hutan, tentu pepohonan-pepohonan
menjadi hiasan di pinggir-pinggir jalan.
Lepas dari hutan di sebelah barat desa
Sidotentrem, kami masuk desa Nglateng yang sudah masuk wilayah Kec. kenduruan.
Nglateng ini mengingatkan kenangan saya sekitar 25 tahun silam. Tepatnya saat
saya masih duduk di sekolah dasar. Saat itu kami siswa SDN Sidotentrem 02
mengadakan penjelajahan alam, berjalan dari
desa Sidotentrem menuju sendang yang berada di desa Nglateng. Pembina
Pramuka kami adalah Pak Didik (bapak Hadi Yuswanto). Kenangan penjelajahan alam
melintasi hutan itu cukup terkenang hingga saat ini, saya memang sangat
menyukai kegiatan jelajah alam dan blusukan ke hutan-hutan.
Sejak dulu desa Nglateng terkenal
sebagai sentra buah jambu mente. Biasanya jika musim berbuah, para penjual
jambu mente menjajakan buah yang berasa nyegrak ini hingga ke desa di
mana saya tinggal. Buah jambu mente ini bisa langsung dimakan atau di masak
sebagai oseng-oseng. Dan yang paling saya suka buah ini dirujak pedas saat
siang hari. Wuih, rasanya mantap sekali.
Sekarang desa Nglateng selain terdapat
pohon jambu mente, di pekarangan rumah warga tumbuh pula pohon rambutan.
Pohon-pohon itu ternyata juga berbuah cukup lebat, sayang saya belum bisa
menikmati buah-buahan yang banyak tumbuh di daerah dingin itu. Ternyata selain
durian di Jlodro yang akan saya kunjungi di daerah sini juga tumbuh pohon rambutan.
Di desa Nglateng ini terdepat sebuah
situs yang oleh masyarakat dikenal dengan nama situs watu wayang. Sayang sekali
situs yang terletak di pinggir lapangan dekat jalan raya ini sudah rusak.
Kemarin saya lihat tinggal satu batu yang menonjol di sana. Saya sendiri tidak
begitu paham apa itu situs watu wayang. Dari namanya mungkin di situ dulu ada
batu-batuan yang mirip dengan wayang sehingga disebut sebagai watu wayang.
Menurut penduduk sekitar sisa-sisa dari situs watu wayang ditaruh di lokasi
sendang Nglateng. Saya pernah melihat batu itu, memang ada kemiripannya dengan
tokoh-tokoh dalam wayang kulit.
Setelah melewati desa Nglateng
perjalanan saya lanjutkan ke arah desa Jamprong. Sebuah desa yang terletak
diketinggian perbukitan. Pemandangan di desa ini cukup eksotis dengan hamparan
sawah yang berundak-undak. Rumah-rumah penduduk berjajar di sisi kiri dan kanan
jalan, rumah-rumah itu berada di bawah jalan raya yang saya lewati. Beberapa
bulan yang lalu di Jamprong ini terdapat pengeboran minyak, namun sekarang
sudah berhenti beroperasi, saya tidak begitu paham mengapa demikian.
Setelah sampai di puncak desa Jamprong
perjalan saya sudah mendekati lokasi durian Jlodro, tinggal satu melewati satu
desa lagi yaitu Sokogunung. Sebelum memasuki Sokogunung kami harus melewati
hutan kembali. Udara sore itu semakin sejk dengan pohon-pohon jati yang cukup
lebat. Di tengah perjalanan saya melihat nenek-nenek berjalan menenteng ember.
Setelah dekat ternyata si nenek ini membawa jamur dari hasil berburu di tengah
hutan.
Saya pun berhenti, istriku yang tahu
kala saya penyuka jamur serta merta mendekati nenek tadi. “Nek, jamure disade?
tanya istri sambil mendekati nenek pemburu jamur. “Enggih Ning, mangga yen
badhe ditumbas jamure” jawab si nenek. “Pinten mbah, jamurnya? tanya saya.
“Kalih Doso mawon, Gus”. Kemudian istri saya pun mengeluarkan selembar uang dua
puluh ribu dan memberikannya kepada si nenek. Sebagai gantinya jamur itu pun
kami bawa untuk kami masak di rumah.
Saat ini memang lagi musimnya jamur,
namun tentu butuh perjuangan untuk mencarinya. Di pasar jamur hasil budi daya
memang banyak dijual, namun saya lebih suka jamur liar hasil budi daya alam.
jadilah kami membawa seember jamur sebelum sampai ke tujuan yaitu berburu
durian.
Tak berselang lama, setelah perjalanan melewati hutan sampailah kami di Sokogunung,
walau namanya Sokogunung yang berarti tiangnya gunung tapi saya tidak melihat
mana tiangnya dan mana gunungnya. Ya mungkin ini hanya sekedar nama saja, dan
gunung yang dimaksud adalah bukit-bukit kecil yang oleh masyarakat setempat
disebut sebagai gunung, bukan gunung dalam pengertian yang sesungguhnya.
Dahulu memang desa Sokogunung, Jlodro,
dan termasuk Jamprong memang berada di pedalaman hutan, dan topografinya memang
perbukitan. Desa Sokogunung ini berbatasan langsung dengan desa Jlodro. Di
Jlodro inilah seperti saya ceritakan di tulisan pertama saya terdapat pohon
durian yang sedang berbuah. Dan ini
adalah akhir dari perburuan kami sesudah mendapatkan seember jamur hutan.
Selain berpotensi menjadi daerah wisata
durian, desa Jlodro juga memiliki potensi wisata sejarah. Di Jlodro terdapat
situs yang disebut sebagai situs watu jajar. Oleh masyarakat setempat lokasi
situs ini dijadikan punden desa yang mana tiap tahunnya sesudah musim panen
diadakan upacara bersih desa, atau manganan.
Situs watu jajar ini kemungkinan adalah
kuburan kuno masyarakat awal yang mendiami pegunungan kendeng utara, yaitu
masyarakat kalang, atau wong kalang. Tentu perlu studi mendalam untuk
menentukan apa sebenarnya situs watu jajar tersebut. Tentu pihak pemerintah
desa dan dinas terkait yang memiliki wewenang untuk membongkar misteri di balik
watu jajar yang ada di wewengkon desa Jlodro Kec.Kenduruan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar