“Menapak Jejak Eugene Dubois di Trinil Ngawi”
Kota Ngawi punya tempat tersendiri di lembaran-lembaran memori hatiku,
semasa Aliyah aku pernah mengunjungi kota itu. Bahkan ikut merasakan kesejukan
dan keramahan warganya. Walau itu tidak lama. Disebuah desa yang sejuk Kedung
Galar aku dolan dirumah teman pondok yang waktu itu sama-sama nyantri di salah
satu pesantren di Bangilan. Lima belas tahun yang lalu kesejukan udara di Ngawi
tak lagi kurasakan di hari ini di penghujung tahun 2014. Suhu telah
berubah barangkali hutan-hutan mulai
meranggas hingga produksi oksigennya menurun, dan tentu juga menurunkan kadar
kesejukan kota penghasil kripik tempe ini. Walau suhu dan iklim telah berubah
keramahan warganya ternyata berformalin sehingga awet dan tak mengalami perubahan.
Ramah, murah senyum, dan welcome terhadap tamu-tamunya.
Kemarin tanggal 20 November 2014 ketepatan kami serombongan menghadiri
walimatul Ursy teman yang berada di Kec. Widodaren ke arah barat daya dari arah
Trinil. Sepulang dari walimahan kami serombongan mampir ke museum Trinil.
Museum Trinil yang terletak di Dukuh Pilang Desa Kawu Kec. Kedunggalar ini
untuk kedua kalinya aku memasuki dan mengagumi koleksinya. Khususnya fosil Gajah
purba atau dalam istilah arkeolognya dikenal dengan nama Stegodon Trogonochepalus. Museum
yang dirintis oleh Mbah Wirodihardjo (Wiro Balung) tahun 1967 bagai sebuah
pintu misteri yang menghubungkan masa kini dan masa jutaan tahun yang silam. Dari sebuah tugu kecil yang dibuat pada masa Belanda jejak-jejak ditemukannya fosil dipetakan.
Kunjungan kami ke Trinil dalam rangka untuk menapak ulang jejak seorang dokter
Belanda Eugene Dubois untuk ikut
menengok masa lampau dari lembah Trinil. Di tepi aliran sungai purba museum
Trinil menyimpan misteri dan teka-teki kehidupan manusia purba era jutaan tahun
yang lalu. Semua ini berawal dari teori akbar darwin tentang evolusi kehidupan yang
menggemparkan dunia. Bocah kelahiran Eijden Belanda taun 1859 melanglang buana
guna mencari kunci dari teka-teki yang oleh banyak masyarakat dan oleh ilmuan
di tafsiri secara spekulatif dan meloncat sehingga ada anggapan bahwa manusia adalah
hasil evolusi dari kera. Jika memang manusia adalah manusia, dan kera adalah
kera, maka pertalian diantara keduanya harus dapat ditemukan dalam bentuk
fosil. Kemudian timbullah istilah “Missing Link” mata rantai yang hilang, dan
inilah yang dicari-cari dan dipertanyakan dunia.
Sang dokter yang seharusnya bertugas di rumah sakit atau membuka praktek
dirumahnya itu meninggalkan negaranya. Pada tanggal 29 Oktober 1877 ia bertolak
ke Sumatera dengan menumpang kapal SS Prinse Amalia memulai perjalanan guna
memuaskan dahaga dan rasa ingin tahunya. “missing link harus dicari di daerah tropis yang
tak tersentuh dinginnya Zaman Es”. Katanya. “Setelah Dubois mendengar bahwa BD
Van Rietschoten tanggal 24 Oktober 1889 menemukan tengkorak manusia Wajak di
Tulungagung, Dubois pun pergi ke Jawa dan ia mulai menekuni endapan purba di
aliran sungai Bengawan Solo. Akhirnya ia sampai di Trinil sebuah tempat di
Ngawi. Disitu Dubois menemukan master piecenya yang kemudian diberi nama
Pithecantropus Erectus (manusia kera berdiri tegak).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar