Eksotika
Peninggalan Belanda Benteng Pendem Ngawi
Sudut pandang dan cara
berfikir akan menjadi semacam frame dalam melihat sebuah objek. Seindah apapun
taman bunga ketika shoot dengan lensa sudut pandang buram tentu hasilnya juga akan jelek. Begitu juga ketika lensa
shoot kita sedah indah berbunga-bunga padang yang gersang pun akan menjelma
menjadi panorama yang mempesona.
Kemarin selepas dari walimah
dari salah seorang kawan yang ada di Widodaren Ngawi Kami serombongan enam orang menyempatkan untuk
berkunjung di objek wisata local yang ada di Ngawi. Tentunya yang tidak boleh
kami lewatkan adalah icon kota Ngawi Museum Trinil. Setelah mengunjungi bekas
hunian Pithecantropus Erectusnya Eugene Dubois kami melanjutkan perjalanan ke
pusat kota. Kami dengar ada sebuah situs kuno peninggalan Belanda diarah utara
alun-alun kota Ngawi , benteng pendem begitu orang-orang menyebutnya.
Sesampai dilokasi arah
matahari sudah berada di batas senja. Kami bukanlah satu-satunya rombongan yang
mengunjungi benteng yang di salah satu dindingnya tertulis angka tahun
1839-1845 bercat merah. Banyak wisatawan local yang menghabiskan senja mereka
dengan berfoto-foto di dinding-dinding benteng yang masih kokoh itu. Dari para
kamerawan yang professional hingga semisal kami yang hanya mengandalkan lensa
gadged. Sudut-sudut keindahan benteng mereka abadikan dengan mata lensa,
mungkin sebentar lagi foro-foto itu kan membanjiri wallnya Mark Zuckerberg.
Walau usia benteng sudah cukup tua tapi kekokohan bangunan dan pilar-pilarnya sungguh
mengagumkan. Dindingnya menjulang tinggi berventilasi lebar mirip Colosseum di
Roma, kata mirip ini lebih dipengaruhi oleh apa yang au pikirkan sendiri karena
saya belum pernah melihat bangunan yang menjadi keajaiban dunia itu kecuali di
gambar-gambar buku maupun internet.
Dibalik kemegahan benteng
pendem dan keeksotisan bangunan yang dipadu tawa dan action gadis-gadis cantik
yang berlagak cover model majalah yang berselfie ria saya melihat
fragmen-fragmen masa silam yang sangat mengerikan, setidaknya itu menurut
lamunanku. Benteng yang dibangun sekitar dua abad yang lalu oleh Gubernur
Jenderal Defensieljn Van Den Bosch itu tentu menyimpan luka untuk penduduk
disekitarnya. Benteng itu tentu dibangun diatas kerasnya tulang-tulang
orang-orang Ngawi, diairi keringat dan darah dari para buruh rodi, air mata
kesedihan anak-anak dan istri dari para suami yang terampas oleh tangan-tangan
ketidakadilan, belum lagi benteng itu dijadikan penjara super maxsimum security
untuk memberangus gerakan perlawanan rakyat era perang Jawa.
Sebuah gambar ilustrasi yang
ditempel di lorong gerbang masuk dekat loket karcis benteng pendem
menggambarkan lokasi benteng yang dikelilingi oleh kanal-kanal buatan yang
airnya diambilkan dari sodetan bengawan Solo. Kabarnya sungai buatan ini oleh
Belanda diisi buaya-buaya ganas yang mematikan nyali siapapun yang mencoba
kabur dari penjara yang juga dikelilingi tanggul-tanggul yang tinggi itu.
Batapa sebuah kemegahan
peninggalan peradpan yang sekarang kita kagumi ternayta jika kita mampu melihat
dengan akca mata dimensi waktu akan
terlihat pengorbanan atau lebih tepatnya korban yang telah diberikan oleh para
pendahulu kita. Seyogyanya kta bisa menghormati dan ikut melestarikan apa yang
telah mereka berikan buat masa kita yang sekarang. Ingat jargon Bung karno “Jas
Merah” Jangan Sekali-kali melupakan Sejarah”. Salam. Jwt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar