LIKA-LIKU KENTRUNG BATE
Team Study Lapangan Antropologi |
Salah satu bukti kuatnya pengaruh budaya timur tengah dalam
kehidupan masyarakat Indonesia bisa kita dapati di Desa Bate Kecamatan Bangilan
Kabupaten Tuban Jawa Timur.
Di desa ini, terdapat sebuah kelompok kesenian kentrung yang konon
merupakan warisan dari seorang pujangga Persia yang singgah di desa ini untuk
menyebarkan agama islam. Sayangnya seni kentrung dipastikan bakal segera sirna
karena tidak ada generasi yang berminat meneruskannya. Suara parau mbah Surati
melantunkan syair diiringi oleh alat musik kendang sebentar lagi mungkin sudah
tidak bisa lagi didengar oleh telinga kita. Wanita tuna netra di desa Bate
kecamatan Bangilan kabupanten Tuban ini, sudah terlalu renta untuk mampu
bertahan bersama keseniantradisional kentrungnya. Tidak ada seorangpun anak
yang dimiliki oleh perempuan berusia kurang lebih 100 tahunan ini. Ia hidup
sebatang kara dirumahnya yang sangat sederhana. Suaminya sudah meninggal
terlebih dahulu dari padanya. Dia hidup dengan bergantung pada job kentrunnya.
Namun dengan beriringnya waktu dan merangkaknya era modernisasi, seni
kentrungpun semakin terpinggirkan dan semakin jarang masyarakat yang mau
mendatangkan satu-satunya grup kesenian kentrung yang masih eksis hingga zaman
sekarang ini disetiap ada acara hiburan. Lagu kentrung Bate pada masanya sangat
popular dan termasuk grup kesenian yang digandrungi oleh masyarakat kabupaten
Tuban.
Kentrung Bate adalah satu-satunya kesenian kentrung di kabupaten
Tuban, sayangnya keberadaanya semakin tersingkir oleh kesenian modern dan
terkena dampak era perkembangan. Namun kendati keadaan semakin sulit, mbah Rati
dan mbah Samijo (teman main kentrung) tetap setia dengan kentrungnya dibantu
oleh mbah Setri (kurang lebih 70 tahunan) yang masih kerabat dekatnya mbah Rati
sebagai dalang sekaligus sebagai penabuh kendang keliling dari satu desa kedesa
lainnya melantunkan bait-bait syair yang kental dengan aroma Timur Tengah.
Di usianya yang renta ini mbah Surati, mbah Samijo, dan mbah Setri
masih sanggup main kentrung hingga ke kabupaten purbolinggo. Untuk sekali
pentas mbah surati tidak pernah mematok harga. Namun rata-rata mbah rati dan
grupnya mendapat honor 200.000 untuk sekali pentas. Menjalani hidup sebagai
pemain kentrung memang tidak ringan. Dalang kentrung harus bersih lahir batin,
hingga posisi duduknyapun harus menghadap timur saat mementaskan kentrung ini.
Dengan kepercayaan bahwa hidup harus selalu optimis, yakni selalu menyongsong
terbitnya matahari. Disamping itu, seorang dalang kentrung harus rela menderita
tuna netra dikala usianya senja. Seperti yang dialami oleh mbah Rati. Mungkin
karena mitos inilah yang menyebabkan tidak adanya generasi muda yang berminat
menjadi dalang kentrung karena takut buta saat usianya tua. (Bate,
9/5/14. Team Study Lapangan Antropologi KMI ASSALAM Bangilan Tuban)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar