Tentang
Sajak “Aku Ingin” Karya Sapardi Djoko Damono
Oleh
: Joyo Juwoto
Membaca puisi adalah
salah satu cara saya meneguk kejernihan mata air nurani, menghirup kesegaran udara
batiniyyah di alam kekosongan. Membaca puisi adalah tentang bagaimana kita sibuk menengok ke dalam
diri yang paling murni dari pada menengok ke kanan dan ke kiri. Membaca puisi
adalah membaca ayat-ayat Tuhan yang tersirat dalam kelindan dan jalinan kata
yang kadang sulit dimengerti, sebagaimana agama yang memiliki ruang iman dan keyakinan,
begitu pula bagi saya membaca sebuah puisi kadang walau musykil, namun selalu
ada ruang untuk percaya pada sebuah kekuatan dan daya kata.
Di sini tentu saya
tidak ingin berdebat dan didebat tentang menyamakan atau mensejajarkan puisi
dengan agama. Bukan, bukan itu yang saya maksudkan. Agama tetaplah agama yang saya
junjung tinggi kesakralan dan kesuciannya, sedangkan puisi bisa menjadi bagian
daripada penjabaran dan pengejawentahan dari nilai-nilai agama itu sendiri. Mungkin
ini hampir mirip dengan tema yang lagi viral, Islam Nusantara.
Namun,saya tidak
punya kapasitas maupun otoritas berbicara tentang Islam Nusantara, maka dari
itu saya hanya ingin menulis dan membahas tentang puisi cinta Sapardi Djoko
Damono yang pernah mampir di lembaran kenangan saya masa silam.
Membaca puisi cinta
yang ditulis penyair legendaris Sapardi Djoko Damono cukup misterius atau entah
apa saya sendiri susah mengungkapkan bahasa rasa ke dalam bahasa tulisan,
puluhan tahun yang lalu, saat saya duduk di bangku sekolah menengah pertama, saya
membaca puisi Sapardi tentang cinta yang berjudul “Aku ingin.” Mungkin pembaca
juga pernah membaca dan merasakan sebuah “rasa” ketika membaca puisi itu. Silakan
dikenang kembali gerak rasa dan amukan kenangan tentang puisi cinta dari
Sapardi.
Sapardi memang piawai
dalam meramu kata hingga memiliki ruh dan daya. Ya, puisi-puisi sapardi sangat
melegenda, seperti Hujan bulan Juni misalnya. Puisi Hujan Bulan Juni ini bahkan
telah ditransformasikan menjadi sebuah novel, lalu difilmkan juga. Sungguh luar
biasa.
Selain pintar bermain
kata, dan mencipta puisi yang romantis dan menyentuh perasaan, menurut
penilaian saya, Sapardi juga pandai melambungkan angan-angan dan perasaan
berbunga-bunga para pembaca puisi-puisinya. Silakan simak puisi Sapardi yang
sempat dikira puisinya Kahlil Gibran ini.
“Aku ingin
mencintaimu
dengan sederhana;
dengan kata yang tak
sempat
diucapkan
kayu kepada api yang
menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu
dengan sederhana;
dengan isyarat yang
tak
sempat disampaikan
awan
kepada hujan yang
menjadikannya tiada”
Duh, serasa meleleh
hati ini jika membaca puisi Sapardi ini, ada angan-angan yang mengangkasa dan
perasaan yang melambung saat membaca bait-bait puisi Sapardi. Terasa cinta yang
sakral dan suci dimiliki oleh seseorang yang mencintai orang lain. Cinta tanpa
pamrih, cinta suci, cinta tanpa tanda. Saya pun merasakan hal yang demikian,
saudara-saudara.
Namun benarkah yang
ditulis oleh Sapardi tentang cinta yang sedemikian hebohnya? Ah, ternyata tidak,
alih-alih tentang cinta dan luapan kebahagiaan, justru puisi ini ditulis
sebagai luapan patah hati seseorang yang ditinggalkan kekasih hatinya, duh...ini
yang mungkin musibah diubah menjadi berkah. Saya mendengar langsung hal ini
dikatakan oleh Sapardi di sebuah situs youtobe, sayang saya lupa apa judulnya.
Patah hati bukan
untuk ditangisi, kegagalan cinta bukan
untuk diratapai, namun segala kegagalan-kegagalan itu diubah menjadi sebuah
kata-kata yang luar biasa. Patah hati bagi para penyair adalah amunisi untuk
terus berkarya, patah hati adalah bahan bakarnya para barisan penjomblo untuk
menuangkan perasaan dan ide-idenya ke dalam sebuah tulisan. Kadang-kadang saya
sempat berfikir, apakah para barisan patah hati yang susah move on itu memang
sengaja memelihara kedukaannya demi sebuah asa? Ah, semoga tidak ada lagi para
peternak patah hati yang tidak bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar