Selasa, 10 Juli 2018

Tentang Sajak “Aku Ingin” Karya Sapardi Djoko Damono


Tentang Sajak “Aku Ingin” Karya Sapardi Djoko Damono
Oleh : Joyo Juwoto

Membaca puisi adalah salah satu cara saya meneguk kejernihan mata air nurani, menghirup kesegaran udara batiniyyah di alam kekosongan. Membaca puisi adalah  tentang bagaimana kita sibuk menengok ke dalam diri yang paling murni dari pada menengok ke kanan dan ke kiri. Membaca puisi adalah membaca ayat-ayat Tuhan yang tersirat dalam kelindan dan jalinan kata yang kadang sulit dimengerti, sebagaimana agama yang memiliki ruang iman dan keyakinan, begitu pula bagi saya membaca sebuah puisi kadang walau musykil, namun selalu ada ruang untuk percaya pada sebuah kekuatan dan daya kata.

Di sini tentu saya tidak ingin berdebat dan didebat tentang menyamakan atau mensejajarkan puisi dengan agama. Bukan, bukan itu yang saya maksudkan. Agama tetaplah agama yang saya junjung tinggi kesakralan dan kesuciannya, sedangkan puisi bisa menjadi bagian daripada penjabaran dan pengejawentahan dari nilai-nilai agama itu sendiri. Mungkin ini hampir mirip dengan tema yang lagi viral, Islam Nusantara.

Namun,saya tidak punya kapasitas maupun otoritas berbicara tentang Islam Nusantara, maka dari itu saya hanya ingin menulis dan membahas tentang puisi cinta Sapardi Djoko Damono yang pernah mampir di lembaran kenangan saya masa silam.

Membaca puisi cinta yang ditulis penyair legendaris Sapardi Djoko Damono cukup misterius atau entah apa saya sendiri susah mengungkapkan bahasa rasa ke dalam bahasa tulisan, puluhan tahun yang lalu, saat saya duduk di bangku sekolah menengah pertama, saya membaca puisi Sapardi tentang cinta yang berjudul “Aku ingin.” Mungkin pembaca juga pernah membaca dan merasakan sebuah “rasa” ketika membaca puisi itu. Silakan dikenang kembali gerak rasa dan amukan kenangan tentang puisi cinta dari Sapardi.

Sapardi memang piawai dalam meramu kata hingga memiliki ruh dan daya. Ya, puisi-puisi sapardi sangat melegenda, seperti Hujan bulan Juni misalnya. Puisi Hujan Bulan Juni ini bahkan telah ditransformasikan menjadi sebuah novel, lalu difilmkan juga. Sungguh luar biasa.

Selain pintar bermain kata, dan mencipta puisi yang romantis dan menyentuh perasaan, menurut penilaian saya, Sapardi juga pandai melambungkan angan-angan dan perasaan berbunga-bunga para pembaca puisi-puisinya. Silakan simak puisi Sapardi yang sempat dikira puisinya Kahlil Gibran ini.
“Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat
diucapkan
kayu kepada api yang
menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu
dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak
sempat disampaikan awan
kepada hujan yang
menjadikannya tiada”

Duh, serasa meleleh hati ini jika membaca puisi Sapardi ini, ada angan-angan yang mengangkasa dan perasaan yang melambung saat membaca bait-bait puisi Sapardi. Terasa cinta yang sakral dan suci dimiliki oleh seseorang yang mencintai orang lain. Cinta tanpa pamrih, cinta suci, cinta tanpa tanda.  Saya pun merasakan hal yang demikian, saudara-saudara.

Namun benarkah yang ditulis oleh Sapardi tentang cinta yang sedemikian hebohnya? Ah, ternyata tidak, alih-alih tentang cinta dan luapan kebahagiaan, justru puisi ini ditulis sebagai luapan patah hati seseorang yang ditinggalkan kekasih hatinya, duh...ini yang mungkin musibah diubah menjadi berkah. Saya mendengar langsung hal ini dikatakan oleh Sapardi di sebuah situs youtobe, sayang saya lupa apa judulnya.

Patah hati bukan untuk ditangisi, kegagalan  cinta bukan untuk diratapai, namun segala kegagalan-kegagalan itu diubah menjadi sebuah kata-kata yang luar biasa. Patah hati bagi para penyair adalah amunisi untuk terus berkarya, patah hati adalah bahan bakarnya para barisan penjomblo untuk menuangkan perasaan dan ide-idenya ke dalam sebuah tulisan. Kadang-kadang saya sempat berfikir, apakah para barisan patah hati yang susah move on itu memang sengaja memelihara kedukaannya demi sebuah asa? Ah, semoga tidak ada lagi para peternak patah hati yang tidak bahagia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar