Khidir
Kegersangan lembah mati itu
berubah drastis, tanah-tanah berpasir yang kering tiba-tiba berubah,
rerumputan tumbuh perlahan. Warna coklat pucat hamparan tanah gersang perlahan-lahan
menjadi hijau segar. Tanah-tanah kering itu pun menjadi basah, seakan terdapat air
segar yang mengalir dari kaki seorang tua yang berjalan perlahan menapaki padang
gersang yang tandus. Ajaib memang, bekas telapak kaki kakek tua itu
meninggalkan rerumputan yang menghijau.
Musa yang berjalan beriringan, tidak menyadari keanehan yang terjadi dengan kakek tua
yang baru ditemuinya, dan menyuruhnya untuk mengikutinya tanpa perlu bertanya
untuk apa dan kemana. Dengan penuh tanya Musa pun mengikuti kakek tua itu. Mereka
terus berjalan tanpa ada sepatah katapun yang terucap. Baik dari Musa maupun
dari kakek tua yang misterius itu. Namun lama-lama Musa pun memberanikan
bertanya kepada sang kakek.
Kakek ! kita akan kemana ?
tanya Musa kepada kakek tua yang terus berjalan disampingnya, Saya sudah capek
Kek, apa kita tidak istirahat terlebih dahulu ?
Lelaki
tua itu hanya diam, ia terus melanjutkan langkah-langkah kakinya menaiki bukit
yang gundul. Seakan ia tidak mendengar pertanyaan dari Musa. Sudah hampir
setengah hari mereka hanya berjalan dan terus berjalan. Jalan semakin mendaki,
namun lelaki tua itu belum ada tanda-tanda untuk menghentikan langkahnya. Musa
terus mengikuti di sampingnya, walau kalau ditaksir umur Musa lebih muda dengan
kakek tua itu puluhan tahun, namun makin mendaki musa makin ketinggalan, seakan
tersadar dari alam mimpi Musa menyadari keanehan dengan kakek yang berjalan di
depannya.
Musa
terpana, dilihatnya ke arah bawah, tanah-tanah gersang menjadi hijau. Namun ada
yang aneh, hanya tanah yang ia lewati bersama kakek tua itu yang ditumbuhi
rerumputan. Musa dengan tergesa menyusul kakek tua yang terus berjalan mendaki
bukit. Di sebuah puncak bukit lelaki tua itu berhenti sehingga Musa berhasil
menyusulnya walau dengan nafas yang terengah-engah.
“Kakek...kakek...! lihatlah di
bawah sana, tanah gersang yang kita lewati berubah menghijau seperti bentangan
permadani, bukankah tadi tanah itu mati ? namun sekarang tanah itu ditumbuhi
rerumputan.”
Kakek
misterius itu masih diam. Ia duduk bersila di sebuah bongkahan batu hitam di puncak
bukit. Senja merayap perlahan, angin sepoi-sepoi menerpa ranting dan daun-daun
kering, langit jingga di cakrawala barat tampak teduh mempesona.
“Kemarilah
nak, panggil kakek tua kepada Musa. “duduklah di sini di sampingku.”
Musa dengan perlahan mendekati kakek tua itu, seakan ia
masih berada di alam lamunan, baru saja ia bertemu dengan kakek tua tadi siang
di sebuah langgar tua di ujung kampungnya. Kemudian tanpa banyak bicara kakek
tua itu mengajaknya agar ia mengikutinya. Tanpa berfikir panjang Musa pun
mengikuti kemana langkah kaki kakek tua itu melangkah.
Musa
pun duduk di sebongkah batu di sebelah kakek tua, ia hanya diam menunggu reaksi
dari kakek tua itu.
“Nak,
jika kamu memiliki azam dalam hal apapun jangan kau hiraukan kiri dan kananmu,
teruslah melangkah, tak usah kau tengak-tengok ke belakang. Murnikan azam dan
niatmu hanya kepada Tuhan saja, hingga akhirnya kau sampai pada puncak tujuanmu.”
Musa
hanya diam, ia belum begitu mengenal kakek tua itu, bahkan sama sekali tidak
tahu dan baru bertemu tadi siang. Seakan kakek tua itu mengetahui apa yang ada
dipikirannya. Diusianya yang menginjak dua puluhan tahun Musa memang sedang
mencari jati diri. Setelah pulang dari pesantren ia bingung, apa yang harus
dilakukan di kampungnya. Dalam kebingungannya itu Musa banyak berdiam di
langgar tua di ujung kampung milik kakeknya.
Hingga
pada suatu siang ia bertemu dengan kakek
tua yang misterius itu yang mengajaknya mendaki bukit gersang yang tidak jauh
dari ujung kampung.
“Namun
perlu kau ingat nak, janganlah kamu banyak bertanya sehingga menyusahkan dirimu
sendiri, banyak-banyaklah bertanya namun pada hati dan nuranimu, Insyallah Gusti
Allah akan memudahkan segala urusanmu, dan menjawab apa yang menjadi tujuanmu.”
Musa
semakin tertunduk diam, ia merenung, bayangan-bayangan ketika ia di pesantren
tergambar di depan matanya. Ia jadi ingat cerita yang dikisahkan oleh Kyainya
tentang Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir. Peristiwa itu hampir mirip
seperti kejadian yang ia alami. Musa bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah kakek
tua itu adalah Nabi Khidir ?.
Musa
ingat ketika sang kakek menyuruhnya untuk mengikutinya dari langgar tua tadi,
sang kakek berpesan agar ia tidak bertanya tentang apa dan akan ke mana. Dan
Musa telah melanggar pesan kakek itu. Dengan perlahan Musa mendongakkan
kepalanya, namun alangkah kagetnya Musa sang kakek telah raib dari tempat
duduknya.
Musa
berdiri mencari-cari ke sekeliling bukit yang tandus itu, ia berteriak memanggil-manggil kakek tua tadi.
“Kek..kakek..kemana engkau !” Kakek jangan pergi, tunggu... !!!
Musa terus saja mencari jejak
kakek misterius tadi, namun seakan lenyap
ditelan bumi kakek itu tak ditemukan juga.
Musa
kemudian kembali ke batu tempat sang kakek duduk, ia terpaku mengingat-ingat
kata-kata kakek tua misterius tadi.
Bukit gundul tempat pertemuan Musa
dan kakek tua itu semakin hening dan syahdu. Senja telah hilang dari pangkuan langit
barat. Bukit pun menjadi gelap. Sayup-sayup terdengar suara adzan magrib
berkumandang dari ujung kampung. Musa bergegas menuruni bukit menyambut seruan
adzan dari langgar tua milik kakeknya. Segurat senyuman tersungging di bibirnya, dan ada secercah cahaya yang bersinar dari mukanya. Bangilan, 4 Desember 2015
Joyojuwoto
Penulis tinggal di Bangilan Tuban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar