Kamis, 09 Juni 2022

Quantum Ramadhan debut antologi pertamaku, dari karya antologi ke karya mandiri

Quantum Ramadhan debut antologi pertamaku, dari karya antologi ke karya mandiri
Oleh: Joyo Juwoto

Sampai hari ini saya masih belum pede jika disebut sebagai seorang penulis. Kalaupun bisa dikatakan sebagai penulispun saya memilih menambahkan laqob dibelakangnya, yaitu penulis partikelir alias penulis amatiran. Saya masih jauh dari kategori seorang yang pantas disebut sebagai seorang penulis. 

Sebenarnya saya belajar menulis sudah cukup lama, tulisan pertama saya yang dicetak dalam sebuah antologi terbit tahun 2015, judulnya Quantum Ramadhan. Antologi ini hasil dari komunitas literasi Sahabat Pena Nusantara yang saya ikut gabung di dalamnya. 

Saat itu saya cukup gembira mendapatkan kiriman buku warna coklat berpadu warna biru laut dengan tulisan judul bukunya berwarna putih. Saya tidak bisa menggambarkan kegembiraan saya saat itu, ada perasaan bangga, walau hanya bisa numpang satu artikel di antologi tersebut.

Di dalam buku itu ada juga tulisannya Pak Masruhin Bagus yang juga tergabung di grup Whatsapp Sahabat Pena Nusantara yang digawangi oleh pak Husnaini.  Ada juga tulisannya mas Rifa'i Rif'an yang kemarin menjadi pemateri di Semutnya FLP Tuban. Ada juga tulisan dari tokoh yang sudah saya dengar namanya dari istri saya, beliau adalah Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, tokoh yang dianggap kontroversi dalam beberapa pemikiran keislamannya. Mau tidak mau saya memberikan perhatian agak serius di tulisan beliau, isinya bagus dan mencerahkan, judulnya Ramadhan: Bulan Refleksi Kemanusiaan.

Ketika membaca tulisan Prof.  Musdah saya merasa tulisan saya menjadi sangat jelek dan amburadul. Tulisan beliau runtut dan enak dibaca. Puasa menurut Bu Musdah adalah ibadah yang memiliki dua dimensi, dimensi Hablumminallah dan dimensi Hablumminannas. Dari uraiannya beliau mengingatkan dan mengajak  kepada umat Islam bahwa sejatinya puasa adalah bulan  refleksi kemanusiaan. Dengan puasa seseorang harus menjadi sosok yang berempati kepada sesama, santun, rendat hati, dan lebih bijak.

Dari tulisan Prof. Musdah di antologi ini tidak ada hal yang bagi saya menyimpang dan kontroversial, saya membaca beliau di sisi ini sungguh sangat luar biasa. Walau mungkin pada sisi lain ada hal yang mungkin saja tidak cocok dengan pemahaman kita, tapi saya rasa itu adalah sebuah kelumprahan dalam hidup. Di satu sisi kita sepakat di sisi yang lain mungkin saja kita tidak sepakat, saya rasa hal ini wajar-wajar saja.

Saya rasa tulisan dari Ustadz Masruhin Bagus di antologi buku itu bisa menjadi alternatif jawaban bahwa perbedaan adalah hal yang wajar. Beliau menulis artikel judulnya Ramadhan dan Momentum Ukhuwwah. Bagi beliau berbeda tidak sama dengan bertentangan. Perbedaan bukanlah perpecahan. Perbedaan adalah lazim dan wajar-wajar saja. Kita mungkin punya tafsir dan pemahaman yang berbeda dengan orang lain, namun hal itu jangan sampai menyebabkan adanya perpecahan. Walaupun perpecahan juga bisa dikategorikan sebagai sebuah kelaziman di sebuah masyarakat.

Ada banyak tulisan yang bagus dan mencerahkan di antologi Quantum Ramadhan, karena buku itu ditulis oleh orang-orang dari berbagai kelompok dan latar belakang yang berbeda, tulisan saya sendiri tentu tidak pernah saya baca lagi, entah bagaimana isinya, masak iya penulis membaca kembali tulisannya sendiri. Gak asyik dah. 

Itulah buku antologi yang menjadi debut pertama saya menulis secara keroyokan, yang akhirnya membawa saya untuk belajar menulis secara mandiri, dan akhirnya berhasil pecah telur menerbitkan buku solo saya Jejak Sang Rasul.


Bangilan, 9/6/22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar