Oleh: Joyo Juwoto
Saya niatan awal bergabung di FLP ingin belajar menulis. Saat itu saya membayangkan akan diajari dan dibimbing segala teori menulis dengan intens. Tapi saat saya bergabung di FLP, justru saya tidak pernah secara formal belajar menulis. Begitupun saat saya bergabung di group Sahabat Pena Nusantara, maupun saat bergabung di Gerakan Tuban Menulis. Di tiga komunitas itulah awal saya mulai berkenalan dengan dunia literasi.
Saya awalnya memang membayangkan belajar menulis itu berkurikulum resmi kayak sekolah formal, lengkap dengan segala tetek bengeknya yang memusingkan kepala, memang di Indonesia belum ada sekolah atau perkuliahan yang khusus bagi penulis, sehingga nantinya menjadi penulis itu setara dengan profesi-profesi lain yang dihasilkan oleh Perguruan tinggi.
Di Indonesia memang profesi menulis masih tergolong profesi otodidak, seorang penulis tidak mesti lulusan bahasa dan sastra Indonesia, atau jurusan lain yang serumpun, karena memang belum ada sekolah atau perkuliahan yang khusus menghasilkan seorang penulis.
Saya termasuk tipe orang yang menulis dengan ilmu sekedarnya saja, jadi saya tidak punya kemampuan dan kompetensi baku dalam menulis. Saya sering bilang nulisku mung angger saja, jadi saya masih belum pede mengatakan bahwa saya adalah seorang penulis. Kalaupun saya mengucapkannya akan saya tambahi saya ini penulis partikelir alias amatiran.
Saya menulis hanya karena ada bahagia di sana, saya mengejar kebahagiaan itu. Walau kebahagiaan itu entah karena apa dan seperti apa. Saya merasa ketika menyelesaikan sebuah tulisan saya merasa ada hal yang membuat dada ini lega. Plong begitu kata Orang Jawa.
Ketika di FLP, di SPN, ataupun di GTM saya bertanya-tanya, seperti apa sih menulis itu? Karena saya menulis hanya mengandalkan insting saja. Sebenarnya banyak motivasi yang saya terima dalam belajar menulis, tapi yang paling mengenai cara belajar menulis yang baku itu dengan melakukannya sendiri. Jadi belajar menulis ya dengan menulis sesering mungkin. Ini yang sering dikatakan saat ada pelatihan menulis.
Masalah tata bahasa, PEUBI, pilihan kata dan segala aturan menulis lainnya bisa dipelajari sambil jalan. Karena ketika kita hafal di luar kepala tentang teori menulis, namun kita tidak terbiasa menulis maka menulis juga susah untuk dilakukan. Karena teori bisa saja mudah dihafalkan, namun prakteknya kadang untuk membuka kalimat saja susah.
Kalau boleh saya ibaratkan menulis itu seperti belajar memamah makanan, yang mana itu tidak bisa dilakukan oleh orang lain, kitalah yang harus memamah makanan itu sendiri. Masak iya kita dimamahkan orang lain kemudian kita yang menelannya?
Dari sini akhirnya saya mengambil satu kesimpulan, jika kita ingin belajar menulis ya segera saja menulis. Lakukanlah sesering dan sebanyak mungkin. Jangan sedikit-sedikit minta dikoreksi, minta diarahkan, minta dibimbing dan sebagainya, tapi lakukan aktivitas menulis itu secara kontiniu insyaallah nanti kita akan menemukan pola dan ciri khas kita sendiri dalam menulis.
Bangilan, 3 Juni 2022
Menulis diary ust,,hagga
BalasHapus