Hujan dan Kenangan Masa Silam
Oleh: Joyo Juwoto
Mendung gelap menutupi atap langit, angin berkesiur menggoyangkan dahan dan ranting pepohonan, di kejauhan kilat menyambar bersautan. Tak lama kemudian hujan turun membasahi sepotong senja yang tertinggal di bentang cakrawala.
Suasana menjadi kelam namun syahdu. Senja dan rerintikan hujan adalah perpaduan yang sempurna dalam menggoreskan tinta kenangan di kanvas hati dan jiwa manusia.
Jika hujan begini yang kukenang adalah masa kanak-kanak. Apalagi hujan di pinggiran senja begini, kenangan itu begitu kuat mengaroma di kepalaku. Saat dekapan cinta dan kasih sayang emak kepada anaknya yang masih belia. Dan juga kenangan akan seorang bapak yang melindungi rumah dan keluarganya dari gemuruh derasnya hujan dan angin topan yang menebarkan ketakutan.
Iya, saya mengenang masa kanak-kanak saya, mengenang emak dan bapak saya, dan mengenang tanah tumpah darah saya yang bernama kampung halaman.
Sebenarnya aneh saja saya mengenang hal itu semua, lha wong saya juga tidak tinggal jauh dari kampung saya. Saya masih berada di satu kecamatan dengan kampung kelahiran saya. Hanya saja saat hujan memang hati saya kadang lebih melow dan sentimentil saja.
Tapi tak apalah saya ingin bercerita dengan diri saya sendiri, mengulas dan menonton kenangan yang bersliweran di kepala.
Jika hujan tiba, bapakku adalah orang yang paling sibuk. Genting bocor sini dan sana, dengan bertelanjang dada bapakku membenahi genteng yang bocor karena pecah atau kadang hanya karena bergeser saja dari tempatnya. Dengan pikulan bambu beliau membenahi genteng-genteng yang bergeser dari tumpuan kayu usuk dan rengnya.
Itu belum seberapa, jika hujan bercampur angin, ini yang membuat khawatir kami sekeluarga. Terpaan hujan dan angin menciutkan nyali. Pohon-pohon di sekitar rumah bergoyang keras, hampir-hampir seperti akan tercerabut dari akarnya. Belum lagi disertai sambaran guntur dan petir yang membahana, suasananya sangat menakutkan sekali.
Kadang kami harus keluar rumah, berhujan-hujanan. Khawatir rumah kami roboh. Emak mendekap anak-anaknya, sedang bapak sibuk mengumandangkan adzan di pojokan rumah. Kalau anginnya tidak terkendali, bapak mengambil cemeti dan menghentakkannya seperti gembala menghalau sapinya. Cetar... Cetar... Begitu bunyi cemeti itu.
Entah karena apa, angin yang tadinya seakan mau menerjang rumah kami, seperti menyingkir menjauhi bapak yang sedang memainkan cemetinya bagai pemain jaran kepang yang beraksi di pelataran rumah.
Itu hujan kenangan dan kenangan akan hujan di masa kanakku. Jika sedang beruntung, saat hujan sedang genting rumah kami tidak bocor, dan angin juga tidak sedang mengamuk, kami bisa menikmati syahdunya hujan.
Bapak membuat bediang untuk menghangatkan sapi-sapi kami, sekaligus menghangatkan badan kami. Jika musim jagung, biasanya emak membuat jagung goreng tanpa minyak. Digoreng kering di nanangan dari tanah. Kalau tidak begitu bapak mbakar singkong. Aduh ini bener-bener syahdu dan mengaduk perasaan saat hujan begini.
Saya jadi ingat kata-kata mbah Sujiwo Tejo dalam Twitternya, "Tahukah kamu lelaki paling tak berperasaan di bumi, dialah yg jauh dari Kekasih saat hujan tapi tak menulis satu pun puisi." #TaliJiwo.
Haha... Kata-katanya salah satu idola saya ini memang sangat mengena di hati. Sungguh luar biasa. Sayangnya saya tidak menulis puisi saat hujan senja ini bukan karena saya adalah lelaki yang tak berperasaan di bumi, tapi karena memang saya tidak punya kekasih hati yang harus saya tuliskan puisi. Saya hanya punya istri yang saya cintai sepenuh hati, walau tanpa sebait puisi. Uhuk.
*Bangilan, 29/10/21, kala senja dalam balutan kenangan.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar