Oleh: Joyo Juwoto
Ada pepatah yang mengatakan, "Selalu ada wanita hebat, di balik pria yang sukses". Begitu kira-kira gambaran Saya ketika mengenang sosok Bu Nyai Rukhanah binti Abdul Majid, istri dari KH. Abd. Moehaimin Tamam, pendiri pondok pesantren Assalam Bangilan Tuban Jawa Timur.
Bu Nyai Rukhanah mendampingi perjuangan KH. Moehaimin Tamam mendirikan pondok pesantren mulai dari nol hingga di akhir hayatnya. Seluruh hidupnya diabdikan untuk pesantren. Beliau yang merasakan benar pahit dan getirnya menjadi seorang Nyai, berjuang di tengah-tengah masyarakat, yang waktu itu belum mengenal benar arti sebuah pendidikan.
Mbah Yai Moehaimin Tamam pertama kali merintis pesantren di desa Weden dengan cara membuka pengajaran baca tulis Al Quran di rumah mertua beliau. Saat itu mereka berdua adalah sepasang pengantin baru, sempat-sempatnya Kiai Moehaimin Tamam muda berkhidmat untuk umat.
Bisa dibayangkan seorang pengantin baru biasanya yang dipikirkan adalah bagaimana berumah tangga, merencanakan keuangan, mencari pekerjaan, membangun rumah, membeli kendaraan, tapi ini lain, Nyai Rukhanah justru di masa pengantin sudah diajak berjuang memikirkan masyarakat.
Untungnya ayah Bu Nyai, yaitu pak Abdul Majid termasuk orang terkaya di desa Weden, pengajaran baca tulis Al Quran dilakukan di rumah beliau yang cukup luas, sehingga Kiai Moehaimin Tamam muda tidak perlu pusing memikirkan tempat belajarnya santri-santri.
Saya pernah mendengar kisah dari Mbah Yai Moehaimin Tamam sendiri, bahwa salah satu rahasia kekayaan keluarga Pak Majid ini terkait dengan dawuhnya Kiai dari pondok Tremas Pacitan. Menurut kisah yang beredar di kalangan santri, jika mondok di Tremas kok kuat Istiqomah mondok, dan tidak pulang selama tiga tahun, insyaallah menjadi orang yang alim, kalaupun jika tidak alim, insyaallah diganjar barakah gampang golek rejeki. Keluarga Bu Nyai ini dulu memang ada yang nyantri di Tremas.
Namanya perjuangan tentu tidak mudah, Bu Nyai Rukhanah dengan segala dinamika perjalanan hidupnya berhasil mendampingi KH. Moehaimin Tamam hingga diakhir hayatnya. Beliau berdua memangku pondok pesantren saling mengisi, saling melengkapi, bahu membahu bersama hingga sampai Tuhan memanggilnya pulang, dalam dekapan cinta dan kasih sayang-Nya.
Beliau berdua adalah dwi tunggal yang membidani lahirnya pondok pesantren Assalam Bangilan Tuban, beliau berdua adalah the founding fathersnya pesantren Assalam almahbub. Saya sebagai santri yang bisa dikatakan kurun awal, alhamdulillah secara langsung masih merasakan asuhan dan kasih sayang dari beliau berdua.
Waktu mondok dulu, Saya punya kesempatan istimewa yang tidak semua santri bisa melakukannya. Saya tiap pagi dalam kurun beberapa waktu ikut membantu mencuci rasukannya (bajunya) mbah Yai. Jadi Saya bisa inten nyantri dan ngabdi pada mbah Yai dan Bu Nyai.
Sosok mendiang Bu Nyai yang Saya ketahui dari pribadi beliau adalah seorang yang sakho' (dermawan) kepada santri. Sering santri khususnya ust/usth muda yang gothakannya dekat dengan ndalem mendapat berkah makanan dan jajanan dari beliau, sebagai santri tentu kami sangat senang sekali.
Kalau Saya sendiri sering disangoni uang, baik oleh mbah Yai ataupun Bu Nyai. Yang banyak dikenang oleh santri-santri dulu tentang Bu Nyai, adalah saat ada kegiatan istighosah yang diadakan disetiap malam Jumat. Bu Nyai dipastikan andum-andum (membagikan) jajan untuk para santri. Kadang nasi ketan, gethuk lindri, kolak, dan aneka jajanan lainnya. Saya rasa santri-santri dulu merindukan hal ini.
Dan menurut saya yang luar biasa dari Bu Nyai adalah keikhlasan beliau menempati rumah yang sangat sederhana hingga akhir hayat beliau. Rumah itu masih Ada sampai sekarang. Saudara-saudara beliau dari kota kalau sedang dolan biasanya mengatakan, "Omah kok koyok omah dara". Saking sederhana rumah yang beliau tinggali bersama mbah Yai.
Padahal kalau mau, beliau bisa membangun rumah yang megah. Namun Beliau memilih tempat tinggal yang sederhana. Bu Nyai biasanya bilang, daripada dipakai membangun rumah yang bagus, lebih baik dipakai membangun Masjid atau gothakannya santri.
Bu Nyai tampaknya benar-benar sudah menjiwai apa yang dijiwai oleh Mbah Yai Moehaimin Tamam, yaitu hidupnya untuk santri, hari-harinya untuk pondok pesantren, semua dikhidmatkan untuk perjuangan, sebagaimana yang selalu beliau gemblengkan kepada santri-santri, "Bondo bahu pikir, lek perlu sak nyawane sisan".
Bangilan, 02/12/21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar