Oleh: Joyo Juwoto
“Sigra milir sang gethek sinangga bajul, kawan dasa kang njageni, ing ngarsa miwah ing pungkur, tanapi ing kanan kering, kang gethek lampahnya alon”.
Artinya: "Mengalirlah segera sang rakit didorong buaya
empat puluh penjaganya
di depan juga di belakang
tak lupa di kanan kiri
sang rakit pun berjalan pelan."
Masyarakat Jawa memang dikenal memiliki tradisi tutur yang sangat kaya, mulai dari legenda, dongeng, folklore, mitos, cerita misteri, hingga tembang-tembang dolanan.
Tidak seperti tembang yang sudah sangat populer seperti gundul-gundul pacul, lir ilir, atau sluku-sluku bathok, tembang di atas, yang saya bahas ini terasa asing dan kurang merakyat, setidaknya di mana saya menjalani masa kanak-kanak di tempat saya tinggal.
Entah karena memang di tempat saya tinggal sudah jarang sekali, bahkan jika boleh dikatakan tidak ada lagi anak-anak yang bisa nembang dolanan. Padahal saya termasuk generasi kelahiran delapan puluhan. Orang tua pun tidak ada yang mengajari anaknya nembang.
Sebagai orang Jawa tentu ini menjadi keprihatinan bersama, di mana kebudayaan kita yang paling sederhana saja, yang berupa tembang dolanan tidak terwariskan dengan baik ke anak cucu kita.
Saya menulis ini catatan ringan ini, setelah sebelumnya melihat di salah satu postingan di laman FB ada yang membagikan pidato Gus Dur saat mengisi pengajian di Lamongan. Tepatnya di Pringgoboyo Kec. Meduran.
Gus Dur saat itu yang menjadi pembicara pada haul mbah Anggoboyo. Beliau menembangkan sigra milir dan menerangkan bahwa tembang tersebut adalah kisah perjalanan Joko Tingkir yang akan ke Pajang guna merebut kembali tahta kerajaan yang telah jatuh ke tangan Sutowijoyo dari bumi mentaok.
Setelah pasukan Pajang kalah perang dengan Mataram, Joko Tingkir mengungsi sampai Sumenep Madura. Di sana beliau menggalang kekuatannya kembali.
Saat itu sebenarnya Joko Tingkir sudah membawa pengawal sebanyak 40 orang yang terdiri dari para jawara. Ini disimbolkan dengan wujud 40 buaya yang mengawal getheknya Joko Tingkir saat di bengawan. "Kawan dasa kang njageni"
Tapi ketika sampai di bengawan Jero, Joko Tingkir alias sultan Hadiwijaya ini singgah di Pringgoboyo, ketika sedang istirahat beliau mendapatkan pesan ghaib dari gurunya, yaitu Sunan Kalijaga, agar tidak melanjutkan perebutan kekuasaan lagi. Lebih baik Joko Tingkir tinggal dan menetap saja di situ untuk mendidik masyarakat. Itu lebih bermanfaat, karena jikalau Joko Tingkir pergi ke Pajang pun, ia tidak akan menang melawan Sutowijoyo. Karena suratan takdirnya memang demikian.
Akhirnya Joko Tingkir menuruti dawuh gurunya untuk menetap di Pringgoboyo, dan selanjutnya oleh masyarakat setempat, beliau lebih dikenal dengan sebutan mbah Anggoboyo. Demikian yang dikisahkan oleh Gus Dur.
Mengenai tafsir tembang sigra milir ini tentu banyak versi, tapi demikian itu kurang lebihnya yang disampaikan oleh Gus Dur.
Kisah perjalanan Joko Tingkir naik gethek memang sangat melegenda, peristiwa ini juga diangkat di film, namun kisah yang dikenal masyarakat bahwa ini adalah perjalanan Joko Tingkir ketika akan sowan ke Demak era Sultan Trenggono setelah Joko Tingkir berguru kepada Ki Buyut Banyubiru.
Kisah ini entah versi mana yang benar, karena keduanya bersumber dari tradisi lisan yang sulit dibuktikan kebenarannya.
Gus Dur memang sosok yang suka berziarah dan menemukan makam para waliyullah yang kadang belum dikenal oleh penduduk setempat. Seperti juga beliau pernah ziarah ke Soko Medalem ke sebuah maqam yang menurut beliau itu adalah maqamnya Sunan Kalijaga. Wallahu a'lam.
Bangilan, 30 Agustus 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar