*NU dan Dakwah Tahlilan dalam Meneguhkan Komitmen Kebangsaan*
Oleh: Joyo Juwoto
Jika membaca dan mencermati judul saya dalam tulisan ini, orang tentu ada mengira saya bukanlah penganut faham Aswaja NU. Itu kira-kira saya saja. Entah benar entah tidak. Harapan saya semoga saja tidak.
Karena memang sejarah perjalanan ke-NUan saya abu-abu sih. Tidak jelas, Saya ini NU yang bagaimana. NU garis tengah, lurus, menyamping atau bahkan mungkin yang NU garis lucu saja.
Kartanu sebagai salah satu identitas Keanggotaan di NU Saya tidak punya, Saya bukan Ansor, bukan pula bagian dari organisasi struktural NU. Saya bagian dari NU kebanyakan, NU kultural.
Waktu menjadi pelajar saya tidak ikut dan menjadi anggota IPNU, bahkan saat menjadi pelajar justru saya dekat dengan mahasiswa LIPIA, yang tentu ke-NUannya sangat tidak lulus ujian kema'arifan. Walau tentu tidak semuanya. Banyak sahabat saya lulusan LIPIA tapi NU-nya tetep ijo royo-royo. Pembaca tentu sudah tahu, Gus Ulil Abshar Abdalla pengampu pengajian Ihya' online itu juga jebolan LIPIA. Beliau tetep ijo.
Lalu pada saat kuliah, saya juga tidak masuk dalam organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi pada NU, justru saya adalah anggota IMM. Walau menjadi anggota pasif. Lha wong saya kuliahnya di STITMU. Haha...paket komplit kan perjalanan ketidak-NUan saya.
Tapi perlu saya garis bawahi, bahwa Saya hari ini menjadi mahasiswa pascasarjana di IAI Sunan Giri Bojonegoro, sebuah lembaga perkuliahan yang terbesar dan membanggakan, milik warga NU di Jawa Timur bagian barat. Mungkin lain waktu Saya akan bercerita tentang pilihan Saya, kuliah lagi di usia Saya yang sudah di kepala empat ini.
Kembali mencermati judul tulisan Saya, Saya memakai kata dakwah untuk Saya sandingkan dengan tahlilan. Sepengetahuan ke-NUan Saya, warga Nahdliyin tidak memakai kata dakwah untuk menyebut aktivitas tahlilan. Biasanya ya tahlilan saja, tanpa embel-embel dakwah.
Di era sekarang kata dakwah menjadi kata yang cukup hight. Jika ada yang mengatakan ini adalah jalan dakwah, seakan-akan itu sama saja dengan jalan Tuhan yang harus diperjuangkan. Kata dakwah sebangun dengan memperjuangkan dan membela Tuhan, padahal kata Gus Dur, "Tuhan tidak perlu dibela."
Saya di sini bukan dalam rangka alergi dengan kata dakwah, apalagi sampai merendahkan kata dakwah. Tidak sama sekali tidak. Wong, sebelum (menjadi) apa-apa kita adalah seorang dai. Yang kader atau mantan kader tentu masih hapal, "Qabla kulli sya'in nahnu ad-duat." Benerkan?
Saya di sini hanya ingin membagi apa dan menuangkan dalam tulisan yang saya rasakan tentang tahlilan, yang Saya anggap mampu Meneguhkan Komitmen kebangsaan warga masyarakat. Ya, Saya hanya akan bercerita, bukan menulis jurnal ilmiah jadi santai saja, tak perlu menyertakan berbagai teori yang rumit yang Saya sendiri juga tak memahaminya.
Saya menulis ini teringat beberapa waktu yang lalu, tetangga saya ada yang meninggal dunia. Bisa dibayangkan duka cita dari keluarga yang ditinggalkan. Seperti biasa warga masyarakat sama melayat. Ada tahlilan dan sholat jenazah dilakukan sebagai rangkaian dari upacara kematian.
Setelah selesai, para tetangga sama pulang ke rumah masing-masing. Suasana rumah duka menjadi sepi. Para pelayat dalam pandangan psikologi shohibul janazah adalah hiburan. Walau mendung duka masih menggelayut di kelopak mata, dan air mata kesedihan belum mengering, namun ada rasa bahagia ketika tetangganya datang menghibur dengan taburan doa untuk almarhum.
Lalu pada malam harinya, tetangga kembali berdatangan untuk tahlilan. Ini sangat menghibur Kepada shohibul musibah. Saya tidak tahu apakah ini karena faktor kebiasaan atau karena faktor apa, tapi Saya melihat wajah ceria shohibul bait menyambut tamu-tamunya.
Misi agama, silaturrahim, menggembirakan orang lain, bahkan misi kebangsaan dan kemanusian tercakup dalam kegiatan tahlilan. Ini tentu hal-hal yang sangat diperlukan dalam Meneguhkan Komitmen Kebangsaan kita. Membangun kerukunan mulai dari tetangga dekat.
Anehnya warga Nahdliyin tidak pernah mengatakan dakwah tahlilan, padahal aspek relegius dan nilai-nilai kebangsaan dalam kegiatan tahlilan sangat dirasakan oleh masyarakat. NU memang sangat sederhana dalam pola dakwahnya, pelan namun menghunjam ke dalam jantung peradaban umat manusia. Saya sudah membuktikan, tiap orang di lingkungan Saya adalah NU, ya NU kultural, walau tidak berKARTANU, dan berorganisasi ke-NUan sekalipun.
Jadi menurut Saya kata dakwah ini tidak harus menempel pada setiap aktivitas dakwah yang sedang dikerjakan. Cukuplah amalan yang dikerjakan itu bernilai kebaikan, itu sudah menjadi dakwah walau kata dakwah tidak disebutkan. Kalaupun disebutkan pun tidak menjadi masalah. Cuma jangan sampai kita terjebak pada tata formalitas belaka.
Saya jadi ingat cerita entah Mbah Hasyim Muzadi, atau Gus Dur yang diceritakan. Atau cerita ini bener-bener ada atau hanya sekedar lelucon. Saya juga tidak mengecek kebenaran cerita ini.
Saat itu beliau sedang mengantar tamu dari luar negeri yang mengajak berkeliling kota meninjau lembaga pendidikan milik NU. Saat perjalanan ternyata yang banyak ditemui adalah lembaga milik Muhammadiyah. Lalu si tamu tadi bertanya, "Sejak tadi yang banyak Saya lihat kok lembaga milik Muhammadiyah ya, pak?"
Beliau dengan ringan pun menjawab, "Iya, yang tidak ada tulisannya itu milik NU semua." Jawabnya santai sambil tertawa. Ah, bisa-bisa saja.
Bojonegoro, 18/01/2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar