Rabu, 22 Januari 2020

Menjelajahi Belantara Diksi Puisi


Menjelajahi Belantara Diksi Puisi

Ada yang bilang entah siapa, bahwa puisi yang baik dan bernilai tinggi nan sastrawi adalah puisi yang tak terpahami oleh pembaca. Ungkapan ini bisa iya bisa tidak, tergantung sudut pandang yang menilai dan memberikan apresiasi dan kritik terhadap sebuah puisi itu sendiri. Saya pribadi menilai puisi tidak sekedar dengan logika makna semata, kadang juga melibatkan intuisi dan frekuensi bahasa jiwa. Gampangnya saya tidak begitu ambil pusing dengan segala teori menulis puisi itu yang bagaimana, yang terpenting saya menulisnya dan selesai.
Mohon dimaafkan, mungkin saja saya terlalu naif, tapi ya begitulah, sebagai seorang yang awam dengan sastra puisi itu sendiri, saya kadang lebih mengedepankan kebahagiaan dengan puisi yang selesai saya tulis, ada perasaan yang membuncah saat puisi itu mencapai titik akhir penulisan.  Entah apa jadinya nanti, apakah puisi saya itu sesuai dengan wadah atau model yang telah disiapkan oleh aturan yang bernama teori menulis puisi, atau tidak. Saya hanya berusaha menulis dengan hati itu saja. Sederhana.
Oleh karena itu, disekian waktu saya menulis dan menerbitkan buku, baru kali ini saya memberanikan diri menerbitkan puisi saya, itupun karena dibersamai oleh sahabat saya, Yulia Pratitis Yusuf yang bernama pena Liaiko, jika tidak, saya mungkin belum tentu mampu mengumpulkan keberanian untuk menerbitkan kumpulan puisi saya sendiri.
Bagi saya pribadi puisi itu tidak harus dengan kalimat mengharu biru, tidak wajib juga penuh diksi yang menyihir dan membuat bengong para pembaca, atau dengan kalimat bunga-bunga yang mempesona, yang terpenting menurut saya adalah bagaimana seorang penulis bisa menuangkan ide dan gagasannya dalam bait-bait puisinya.
Saya menyukai hampir diseluruh rangkaian kata dalam sebuah puisi yang ditulis oleh penulisnya, saya meyakini setiap penulis berusaha mengungkapkan hal terbaik yang terbetik dalam hati, walau kadang hasilnya biasa-biasa saja, tak apalah dunia memang rupa-rupa, puisi juga demikian, tak harus yang menghanyutkan perasaan itu yang disebut puisi, kadang datar dan biasa saja, kadang melompat, kadang terguling tidak berbentuk pun tak apalah, karena semuanya menuju pada muara untuk menciptakan karya yang bernama puisi. Walau nanti bisa kita sebut sebagai puisi yang gagal.
Bagi saya puisi itu alat, bisa sebagai alat propaganda, alat menyampaikan suatu ide, alat protes, menuangkan suasana kegembiraan dan kesedihan hati penulisnya, bahkan mungkin alat untuk lari dari kenyataan sekalipun. Saya sangat suka dengan ungkapan yang ditulis oleh Sujiwo Tejo. Beliau bilang begini: Tahukah kamu orang yang paling tak berperasaan? Dia yang jauh dari kekasih di saat hujan, tapi tak menghasilkan puisi.”
Saya sebenarnya mencurigai ungkapan presiden Jancukers Indonesia ini terinspirasi dari qoulnya Hujjatul Islam Imam Al Ghazali yang saya intip di beranda facebooknya salah seorang teman
“Orang yang tak tersentuh hatinya melihat bunga-bunga yang bermekaran di musim semi dan tak bergetar jiwanya mendengar alunan merdu dawai kecapi, maka orang itu rusak mentalnya, taka da obatnya.”
Tampaknya dua ungkapan yang cukup indah itu, bisa mewakili dan menjadi hujjah serta dalil atau mungkin juga sebagai dalih untuk menulis bait-bait puisi, selain tentu apa yang pernah diungkapkan oleh Sayyidina Umar bin Khattab yang menyatakan “Ajarilah anak-anakmu sastra, lantaran sastra menciptakan anak yang pengecut menjadi jujur dan pemberani.”
Akhirnya, dengan segala keterbatasan dan kekurangannya, dan bagaimanapun bentuknya, saya berdoa dan berharap tulisan dalam buku Antologi Puisi “AKU Api Kamu Air” menjadi salah satu karya sastra yang bisa menginspirasi kepada pembaca. Kritik dan saran dari para budiman tentu sangat kami harapkan. Sekian dan terima kasih.


Bangilan, 20 Januari 2020
Penulis

2 komentar: