Menjelajahi Belantara Diksi Puisi
Ada
yang bilang entah siapa, bahwa puisi yang baik dan bernilai tinggi nan sastrawi
adalah puisi yang tak terpahami oleh pembaca. Ungkapan ini bisa iya bisa tidak,
tergantung sudut pandang yang menilai dan memberikan apresiasi dan kritik
terhadap sebuah puisi itu sendiri. Saya pribadi menilai puisi tidak sekedar
dengan logika makna semata, kadang juga melibatkan intuisi dan frekuensi bahasa
jiwa. Gampangnya saya tidak begitu ambil pusing dengan segala teori menulis puisi
itu yang bagaimana, yang terpenting saya menulisnya dan selesai.
Mohon
dimaafkan, mungkin saja saya terlalu naif, tapi ya begitulah, sebagai seorang
yang awam dengan sastra puisi itu sendiri, saya kadang lebih mengedepankan
kebahagiaan dengan puisi yang selesai saya tulis, ada perasaan yang membuncah
saat puisi itu mencapai titik akhir penulisan. Entah apa jadinya nanti, apakah puisi saya itu
sesuai dengan wadah atau model yang telah disiapkan oleh aturan yang bernama
teori menulis puisi, atau tidak. Saya hanya berusaha menulis dengan hati itu
saja. Sederhana.
Oleh
karena itu, disekian waktu saya menulis dan menerbitkan buku, baru kali ini
saya memberanikan diri menerbitkan puisi saya, itupun karena dibersamai oleh
sahabat saya, Yulia Pratitis Yusuf yang bernama pena Liaiko, jika tidak, saya
mungkin belum tentu mampu mengumpulkan keberanian untuk menerbitkan kumpulan
puisi saya sendiri.
Bagi
saya pribadi puisi itu tidak harus dengan kalimat mengharu biru, tidak wajib
juga penuh diksi yang menyihir dan membuat bengong para pembaca, atau dengan
kalimat bunga-bunga yang mempesona, yang terpenting menurut saya adalah
bagaimana seorang penulis bisa menuangkan ide dan gagasannya dalam bait-bait
puisinya.
Saya
menyukai hampir diseluruh rangkaian kata dalam sebuah puisi yang ditulis oleh
penulisnya, saya meyakini setiap penulis berusaha mengungkapkan hal terbaik
yang terbetik dalam hati, walau kadang hasilnya biasa-biasa saja, tak apalah
dunia memang rupa-rupa, puisi juga demikian, tak harus yang menghanyutkan perasaan
itu yang disebut puisi, kadang datar dan biasa saja, kadang melompat, kadang
terguling tidak berbentuk pun tak apalah, karena semuanya menuju pada muara
untuk menciptakan karya yang bernama puisi. Walau nanti bisa kita sebut sebagai
puisi yang gagal.
Bagi
saya puisi itu alat, bisa sebagai alat propaganda, alat menyampaikan suatu ide,
alat protes, menuangkan suasana kegembiraan dan kesedihan hati penulisnya, bahkan
mungkin alat untuk lari dari kenyataan sekalipun. Saya sangat suka dengan
ungkapan yang ditulis oleh Sujiwo Tejo. Beliau bilang begini: “Tahukah kamu orang yang paling tak berperasaan? Dia
yang jauh dari kekasih di
saat hujan, tapi tak menghasilkan puisi.”
Saya sebenarnya mencurigai ungkapan presiden Jancukers
Indonesia ini terinspirasi dari qoulnya Hujjatul Islam Imam Al Ghazali
yang saya intip di beranda facebooknya salah seorang teman
“Orang yang tak tersentuh hatinya melihat bunga-bunga yang
bermekaran di musim semi dan tak bergetar jiwanya mendengar alunan merdu dawai
kecapi, maka orang itu rusak mentalnya, taka da obatnya.”
Tampaknya dua ungkapan yang cukup indah itu, bisa mewakili
dan menjadi hujjah serta dalil atau mungkin juga sebagai dalih untuk menulis bait-bait
puisi, selain tentu apa yang pernah diungkapkan oleh Sayyidina Umar bin Khattab
yang menyatakan “Ajarilah anak-anakmu sastra,
lantaran sastra menciptakan anak yang pengecut menjadi jujur dan
pemberani.”
Akhirnya, dengan segala keterbatasan dan kekurangannya, dan
bagaimanapun bentuknya, saya berdoa dan berharap tulisan dalam buku Antologi
Puisi “AKU Api Kamu Air” menjadi salah satu karya sastra yang bisa
menginspirasi kepada pembaca. Kritik dan saran dari para budiman tentu sangat
kami harapkan. Sekian dan terima kasih.
Bangilan, 20
Januari 2020
Penulis
Barokallah Pak, sukses selalu nggih
BalasHapusAjarin buat puisi Mbuahh...
BalasHapus