Jumat, 31 Agustus 2018

Utopia Gudeg Jogja Di Kopdar SPK


 Utopia Gudeg Jogja Di Kopdar SPK
Oleh : Joyo Juwoto

Kota Yogjakarta atau sering ditulis dan diucapkan juga dengan istilah Jogja memang istimewa, baik dari segi politik, ekonomi, budaya, pendidikan, sejarah dan lain sebagainya. Keistimewaan Jogja  tidak hanya berkenaan dengan hal-hal besar saja, sampai hal yang terkecil dan remeh pun Jogja selalu saja istimewa dan melegenda. Sebut saja ada Angkringan Jogja, Sego Kucing Jogja, hingga Gudeg Jogja yang melegenda sepanjang perjalanan sejarah kota keraton ini. Tidak heran jika kota yang berada di lerng gunung Merapi dan juga memiliki bentang laut di pesisir selatan Jawa ini menjadi tujuan berbagai kalangan.

Walau berkali-kali saya datang ke Jogja untuk tujuan wisata, namun entah karena apa saya belum pernah mencicipi kuliner Gudeg Jogja. Ketika di group kepenulisan Sahabat Pena Kita (SPK) yang saya ikuti di WhatsApp merencakan kopdar (kopi darat) di Jogja, pertama kali justru Gudeg ini yang memenuhi angan dan harapan saya untuk datang ke sana. Alangkah sedap dan nikmatnya jika saya ke Jogja untuk kopdar, kemudian meluangkan waktu bersama para sahabat mencicipi gudeg Jogja yang melegenda.

Sayang sekali, saat kopdar tiba justru saya tidak jadi berangkat. Gudeg Jogja yang aromanya jauh hari telah tercium sejak dalam pikiran seketika sirna. Hari di mana seharusnya saya menghadiri kopdar, atau saat di mana saya menikmati gurih dan lezatnya Gudeg Jogja ternyata hanya utopia,  tepat di hari kopdar SPK, saya masih di rumah dan tidak jadi berangkat karena ada tugas lain yang tidak bisa saya tinggalkan. Ah, nasib selalu memiliki cara tersendiri yang membuat harapan saya untuk kopdar hangus pupus.

Untung saja  dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memudahkan kita untuk mengetahui hal yang jaraknya tak terjangkau dengan indera. Dengan kemajuan teknologi segala kegiatan kopdar yang tidak bisa saya hadiri secara fisik dapat terpantau lewat layar handphone. Saya tentu sangat berterima kasih dengan para sahabat yang meluangkan waktunya mengupdate kegiatan kopdar mulai dari pra acara hingga acara kopdar selesai. Ibaratnya segala postingan di group WhatsApp yang berkenaan dengan kopdar sebagai tombo kangen, karena tidak bisa menghadiri kopdar secara langsung. Tak ada akar rotan pun jadi, begitulah kira-kira.

Entah kebetulan entah memang sengaja saya hubung-hubungkan, saat kopdar yang seharusnya lidah ini dimanjakan dengan Gudeg sebagaimana yang saya ceritakan di atas, ternyata sepulang dari sekolah saat saya sampai di rumah, istri saya memasak sayur lodeh tewel muda. Tentu semua maklum bahwa sayur Gudeg Jogja berbahan dasar tewel muda. Bagi saya Gudeg Jogja itu ya hampir sama dengan sayur tewel sebagaimana yang dimasak oleh istri saya siang itu. Padahal saya sama sekali tidak memberitahu istri, kalau saya sedang mengangankan Gudeg Jogja. Ya begitulah, kadang apa yang kita pikirkan datang begitu saja tanpa kita duga.

Tentu saja makan siang saya siang itu cukup lahap, tak ada Gudeg Jogja tewel muda buatan istri pun jadi. Sambil makan saya merenung tentang masa depan SPK. Group literasi SPK sebenarnya adalah metamorfosis dari group sebelumnya, yaitu Sahabat Pena Nusantara (SPN), karena di SPN ada dinamika perubahan maka lahirlah SPK yang dideklarasikan untuk pertama kalinya di Jogja, dan saya berhalangan hadir. Oleh karena itu di tulisan ini saya ingin menitipkan aspirasi dan harapan saya untuk SPK ke depan.

Selain melestarikan tradisi menulis setiap bulan, kemudian menerbitkannya menjadi sebuah buku yang dikelola oleh pengurus SPK, ada beberapa hal yang segera mungkin dilakukan oleh SPK, diantaranya adalah menata sistem keorganisasian, agar SPK menjadi komunitas dengan tata keorganisasian yang profesional. Jika organisasi di SPK tertata dengan baik tentu komunitas ini bisa kita wariskan kepada generasi selanjutnya. Dan saya kira para pengurus di SPK sudah memikirkan akan hal ini.

Selain itu berdasarkan pengalaman di group sebelumnya yang begitu aktif dalam menulis dan menerbitkan buku, SPK sebagai metamorfosisnya juga harus menapak langkah dan meniti jejak untuk terus berkiprah dalam dunia literasi khususnya dalam menerbitkan buku. Jika buku antologi biasanya diterbitkan secara indie oleh komunitas, saya berharap SPK mampu menjembatani buku tersebut bisa dicetak oleh penerbit mayor. Jika buku-buku produk SPK bisa masuk ranah mayor tentu banyak keuntungan yang bisa diambil, selain persebaran bukunya yang lebih luas, tentu honor dari penerbitan bisa dipakai komunitas untuk mengembangkan sayap SPK.

Selain meretas jalan penerbitan mayor, buku-buku SPK juga bisa diterbitkan oleh yayasan buku yang menerbitkan untuk amal. Jadi buku-buku SPK bisa didonasikan oleh yayasan tersebut. Hal ini kalau tidak salah sebagaimana yang dulu pernah dilakukan oleh guru kita di SPK, Prof Chirzin yang memberikan naskahnya untuk dicetak oleh yayasan amal buku kemudian dibagikan kepada yang membutuhkan. Jika hal demikian bisa dilakukan tentu karya dari SPK akan mengabadi dan bermanfaat bagi para pembaca di manapun berada.

Tak terasa suap demi suap nasi di piring habis, walau gudeg Jogja hanya ada di kepala namun aromanya sampai di meja makan saya siang itu. Sayur tewel muda buatan istri tercinta menjadi stutnman, eh, maksudnya menjadi pengganti sayur gudeg yang belum pernah saya cicipi walau hanya dalam mimpi. Semoga kelak saya bisa mencicipinya dalam dunia yang sebenar-benarnya, bukan mimpi dan bukan maya. Jogja saya selalu merinduimu. Salam Literasi.

*Joyo Juwoto, Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban, Penulis aktif di www.joyojuwoto.com. Saat ini telah menulis beberapa buku solo, Jejak Sang Rasul; Secercah Cahaya Hikmah, Dalang Kentrung Terakhir (2017), Cerita Dari Desa, Cerita untuk Naila dan Nafa. Selain it ujuga menulis puluhan buku antologi. Silaturrahmi dengan penulis via Whatshap dinomor  085258611993 atau email di joyojuwoto@gmail.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar