Utopia Gudeg Jogja Di Kopdar
SPK
Oleh
: Joyo Juwoto
Kota
Yogjakarta atau sering ditulis dan diucapkan juga dengan istilah Jogja memang
istimewa, baik dari segi politik, ekonomi, budaya, pendidikan, sejarah dan lain
sebagainya. Keistimewaan Jogja tidak
hanya berkenaan dengan hal-hal besar saja, sampai hal yang terkecil dan remeh
pun Jogja selalu saja istimewa dan melegenda. Sebut saja ada Angkringan Jogja,
Sego Kucing Jogja, hingga Gudeg Jogja yang melegenda sepanjang perjalanan
sejarah kota keraton ini. Tidak heran jika kota yang berada di lerng gunung
Merapi dan juga memiliki bentang laut di pesisir selatan Jawa ini menjadi
tujuan berbagai kalangan.
Walau
berkali-kali saya datang ke Jogja untuk tujuan wisata, namun entah karena apa
saya belum pernah mencicipi kuliner Gudeg Jogja. Ketika di group kepenulisan Sahabat
Pena Kita (SPK) yang saya ikuti di WhatsApp merencakan kopdar (kopi darat) di
Jogja, pertama kali justru Gudeg ini yang memenuhi angan dan harapan saya untuk
datang ke sana. Alangkah sedap dan nikmatnya jika saya ke Jogja untuk kopdar,
kemudian meluangkan waktu bersama para sahabat mencicipi gudeg Jogja yang melegenda.
Sayang
sekali, saat kopdar tiba justru saya tidak jadi berangkat. Gudeg Jogja yang
aromanya jauh hari telah tercium sejak dalam pikiran seketika sirna. Hari di
mana seharusnya saya menghadiri kopdar, atau saat di mana saya menikmati gurih
dan lezatnya Gudeg Jogja ternyata hanya utopia,
tepat di hari kopdar SPK, saya masih di rumah dan tidak jadi berangkat
karena ada tugas lain yang tidak bisa saya tinggalkan. Ah, nasib selalu
memiliki cara tersendiri yang membuat harapan saya untuk kopdar hangus pupus.
Untung
saja dengan adanya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi memudahkan kita untuk mengetahui hal yang jaraknya
tak terjangkau dengan indera. Dengan kemajuan teknologi segala kegiatan kopdar
yang tidak bisa saya hadiri secara fisik dapat terpantau lewat layar handphone.
Saya tentu sangat berterima kasih dengan para sahabat yang meluangkan waktunya
mengupdate kegiatan kopdar mulai dari pra acara hingga acara kopdar selesai.
Ibaratnya segala postingan di group WhatsApp yang berkenaan dengan kopdar
sebagai tombo kangen, karena tidak bisa menghadiri kopdar secara
langsung. Tak ada akar rotan pun jadi, begitulah kira-kira.
Entah
kebetulan entah memang sengaja saya hubung-hubungkan, saat kopdar yang
seharusnya lidah ini dimanjakan dengan Gudeg sebagaimana yang saya ceritakan di
atas, ternyata sepulang dari sekolah saat saya sampai di rumah, istri saya
memasak sayur lodeh tewel muda. Tentu semua maklum bahwa sayur Gudeg Jogja berbahan
dasar tewel muda. Bagi saya Gudeg Jogja itu ya hampir sama dengan sayur tewel
sebagaimana yang dimasak oleh istri saya siang itu. Padahal saya sama sekali
tidak memberitahu istri, kalau saya sedang mengangankan Gudeg Jogja. Ya
begitulah, kadang apa yang kita pikirkan datang begitu saja tanpa kita duga.
Tentu
saja makan siang saya siang itu cukup lahap, tak ada Gudeg Jogja tewel muda
buatan istri pun jadi. Sambil makan saya merenung tentang masa depan SPK. Group
literasi SPK sebenarnya adalah metamorfosis dari group sebelumnya, yaitu
Sahabat Pena Nusantara (SPN), karena di SPN ada dinamika perubahan maka
lahirlah SPK yang dideklarasikan untuk pertama kalinya di Jogja, dan saya
berhalangan hadir. Oleh karena itu di tulisan ini saya ingin menitipkan
aspirasi dan harapan saya untuk SPK ke depan.
Selain
melestarikan tradisi menulis setiap bulan, kemudian menerbitkannya menjadi
sebuah buku yang dikelola oleh pengurus SPK, ada beberapa hal yang segera mungkin
dilakukan oleh SPK, diantaranya adalah menata sistem keorganisasian, agar SPK
menjadi komunitas dengan tata keorganisasian yang profesional. Jika organisasi
di SPK tertata dengan baik tentu komunitas ini bisa kita wariskan kepada
generasi selanjutnya. Dan saya kira para pengurus di SPK sudah memikirkan akan
hal ini.
Selain
itu berdasarkan pengalaman di group sebelumnya yang begitu aktif dalam menulis
dan menerbitkan buku, SPK sebagai metamorfosisnya juga harus menapak langkah
dan meniti jejak untuk terus berkiprah dalam dunia literasi khususnya dalam
menerbitkan buku. Jika buku antologi biasanya diterbitkan secara indie oleh
komunitas, saya berharap SPK mampu menjembatani buku tersebut bisa dicetak oleh
penerbit mayor. Jika buku-buku produk SPK bisa masuk ranah mayor tentu banyak
keuntungan yang bisa diambil, selain persebaran bukunya yang lebih luas, tentu
honor dari penerbitan bisa dipakai komunitas untuk mengembangkan sayap SPK.
Selain
meretas jalan penerbitan mayor, buku-buku SPK juga bisa diterbitkan oleh
yayasan buku yang menerbitkan untuk amal. Jadi buku-buku SPK bisa didonasikan
oleh yayasan tersebut. Hal ini kalau tidak salah sebagaimana yang dulu pernah
dilakukan oleh guru kita di SPK, Prof Chirzin yang memberikan naskahnya untuk
dicetak oleh yayasan amal buku kemudian dibagikan kepada yang membutuhkan. Jika
hal demikian bisa dilakukan tentu karya dari SPK akan mengabadi dan bermanfaat
bagi para pembaca di manapun berada.
Tak
terasa suap demi suap nasi di piring habis, walau gudeg Jogja hanya ada di
kepala namun aromanya sampai di meja makan saya siang itu. Sayur tewel muda buatan
istri tercinta menjadi stutnman, eh, maksudnya menjadi pengganti sayur gudeg
yang belum pernah saya cicipi walau hanya dalam mimpi. Semoga kelak saya bisa
mencicipinya dalam dunia yang sebenar-benarnya, bukan mimpi dan bukan maya.
Jogja saya selalu merinduimu. Salam Literasi.
*Joyo
Juwoto, Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban, Penulis aktif di www.joyojuwoto.com. Saat ini telah menulis beberapa buku solo, Jejak
Sang Rasul; Secercah Cahaya Hikmah, Dalang Kentrung Terakhir (2017), Cerita
Dari Desa, Cerita untuk Naila dan Nafa. Selain it ujuga menulis puluhan buku
antologi. Silaturrahmi dengan penulis via Whatshap dinomor 085258611993 atau email di joyojuwoto@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar