Minggu, 26 Agustus 2018

Filosofi Pohon Sawo

Pohon Sawo di tepi Jalan Desa Kedung Jambangan

Filosofi Pohon Sawo
Oleh : Joyo Juwoto

Minggu pagi yang cerah, sebelum matahari bertengger di ufuk timur, saya kayuh sepeda menyusuri jalanan sepi. Udara pagi cukup sejuk, polusi udara akibat dari deru mesin kendaraan bermotor belum banyak, sehinga waktu pagi sangat cocok dipakai bersepeda ria, menghirup kemurnian oksigen sambil menyambut semburat jingga matahari pagi.

Di tengah perjalanan tepatnya di desa Kedungjambangan, di beberapa rumah penduduk tumbuh subur pohon sawo, desa yang dibelah aliran sungai kali kening ini memang terkenal dengan produksi sawonya yang legit, biasanya, saya membeli di pasar Bangilan untuk merasakan buah sawo, karena memang saya tidak memiliki pohonnya. 

Sawo adalah jenis buah dari tanaman pohon yang berkayu keras berwarna coklat kemerahan, pohonnya tinggi dan bisa dipakai untuk peralatan rumah tangga. Jenis sawo sendiri cukup banyak, diantara yang saya tahu hanya tiga jenis yaitu sawo coklat, sawo kecik dan sawo susu. Dari ketiga jenis sawo itu saya pernah memakannya, kecuali yang sawo kecik, saya belum pernah mencicipinya.

Sawo coklat setelah saya cari di google ternyata memiliki nama sawo manila, sawo ini warnanya coklat rasa buahnya manis jika masak, di dalam daging buah ada bijinya berwarna hitam berbentuk lonjong, sedang sawo susu setelah saya google ternyata memiliki nama sawo duren, kulit buahnya berwarna hijau kemerahan, dalamnya putih susu, rasanya manis dan kenyal. Sedang sawo kecik buahnya lebih kecil dari kedua jenis sawo yang saya sebutkan tadi, warnanya juga agak merah, entah rasanya.

Demi melihat pohon sawo, sambil mengayuh sepeda saya mengingat kembali apa yang dulu pernah dilakukan oleh sisa-sisa laskar Pangeran Diponegoro, tokoh sentral perang Jawa yang hampir membuat Belanda bangkrut. Para pengikut Pangeran Diponegoro konon menanam pohon sawo. Pohon sawo menjadi penanda jejak dan jaringan para pengikut Pangeran Diponegoro yang tersebar di berbagai wilayah di pulau Jawa. Sawo ini berarti sawwu sufufakum, yang artinya “rapatkan barisanmu” sebagai sandi untuk merapatkan barisan kembali ketika seruan jihad dikumandangkan.

Selain bermakna sawwu sufufakum, pada jenis sawo kecik, menurut filosofi orang Jawa berasal dari kata “Sarwo becik” artinya adalah selalu dalam kebaikan, maksudnya seseorang diharapkan selalu memberikan kebaikan untuk orang lain di manapun ia berada.

Dari persebaran pasukan Pangeran Diponegoro yang kebanyakan para ulama inilah yang akhirnya menjadi jaringan dakwah pesantren di berbagai daerah di tanah jawa. Karena perang fisik jihad fi sabilillah telah usai, para pengikut Pangeran Diponegoro mengubah pola perjuangannya dari jihad fisik menjadi jihad di jalur pendidikan pesantren untuk mengkader umat.

Di desa Kedungjambangan pohon sawo juga tumbuh cukup banyak, ketepatan desa ini juga pernah mempunyai pesantren tua, sayangnya pesantren ini belum bertunas kembali, padahal trah Kedungjambangan menjadi cikal-bakal pesantren-pesantren ternama di sekitarnya, diantaranya adalah Pondok Pesantren Tanggir yang ada di kecamatan Singgahan.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar