Pohon Sawo di tepi Jalan Desa Kedung Jambangan |
Filosofi
Pohon Sawo
Oleh
: Joyo Juwoto
Minggu pagi yang
cerah, sebelum matahari bertengger di ufuk timur, saya kayuh sepeda menyusuri
jalanan sepi. Udara pagi cukup sejuk, polusi udara akibat dari deru mesin
kendaraan bermotor belum banyak, sehinga waktu pagi sangat cocok dipakai
bersepeda ria, menghirup kemurnian oksigen sambil menyambut semburat jingga
matahari pagi.
Di tengah perjalanan
tepatnya di desa Kedungjambangan, di beberapa rumah penduduk tumbuh subur pohon
sawo, desa yang dibelah aliran sungai kali kening ini memang terkenal dengan
produksi sawonya yang legit, biasanya, saya membeli di pasar Bangilan untuk
merasakan buah sawo, karena memang saya tidak memiliki pohonnya.
Sawo adalah jenis
buah dari tanaman pohon yang berkayu keras berwarna coklat kemerahan, pohonnya
tinggi dan bisa dipakai untuk peralatan rumah tangga. Jenis sawo sendiri cukup
banyak, diantara yang saya tahu hanya tiga jenis yaitu sawo coklat, sawo kecik
dan sawo susu. Dari ketiga jenis sawo itu saya pernah memakannya, kecuali yang
sawo kecik, saya belum pernah mencicipinya.
Sawo coklat setelah
saya cari di google ternyata memiliki nama sawo manila, sawo ini warnanya
coklat rasa buahnya manis jika masak, di dalam daging buah ada bijinya berwarna
hitam berbentuk lonjong, sedang sawo susu setelah saya google ternyata memiliki
nama sawo duren, kulit buahnya berwarna hijau kemerahan, dalamnya putih susu, rasanya
manis dan kenyal. Sedang sawo kecik buahnya lebih kecil dari kedua jenis sawo
yang saya sebutkan tadi, warnanya juga agak merah, entah rasanya.
Demi melihat pohon
sawo, sambil mengayuh sepeda saya mengingat kembali apa yang dulu pernah
dilakukan oleh sisa-sisa laskar Pangeran Diponegoro, tokoh sentral perang Jawa
yang hampir membuat Belanda bangkrut. Para pengikut Pangeran Diponegoro konon
menanam pohon sawo. Pohon sawo menjadi penanda jejak dan jaringan para pengikut
Pangeran Diponegoro yang tersebar di berbagai wilayah di pulau Jawa. Sawo ini
berarti sawwu sufufakum, yang artinya “rapatkan barisanmu” sebagai sandi
untuk merapatkan barisan kembali ketika seruan jihad dikumandangkan.
Selain bermakna sawwu
sufufakum, pada jenis sawo kecik, menurut filosofi orang Jawa berasal dari kata “Sarwo
becik” artinya adalah selalu dalam kebaikan, maksudnya seseorang diharapkan
selalu memberikan kebaikan untuk orang lain di manapun ia berada.
Dari persebaran
pasukan Pangeran Diponegoro yang kebanyakan para ulama inilah yang akhirnya
menjadi jaringan dakwah pesantren di berbagai daerah di tanah jawa. Karena
perang fisik jihad fi sabilillah telah usai, para pengikut Pangeran Diponegoro
mengubah pola perjuangannya dari jihad fisik menjadi jihad di jalur pendidikan
pesantren untuk mengkader umat.
Di desa Kedungjambangan
pohon sawo juga tumbuh cukup banyak, ketepatan desa ini juga pernah mempunyai
pesantren tua, sayangnya pesantren ini belum bertunas kembali, padahal trah
Kedungjambangan menjadi cikal-bakal pesantren-pesantren ternama di sekitarnya,
diantaranya adalah Pondok Pesantren Tanggir yang ada di kecamatan Singgahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar