Oleh : Joyo Juwoto
Tofik Pram, menurut saya adalah seorang yang istimewa dan
tidak boleh ditinggalkan jika membahas tentang sosok Pramoedya Ananta Toer
(Pram). Saya sendiri baru bertemu dengan Mas Tofik secara sepihak, berdiskusi tentang pemikiran dan siapa Pram
secara mendalam di dalam buku yang ditulisnya, yang kemudian saya jadikan judul
tulisan saya ini. Ditilik dari namanya mungkin pembaca menyangka bahwa Tofik
Pram memiliki hubungan kekerabatan dengan Pram, namun ternyata tidak sama
sekali.
Berdasarkan pengakuan di dalam buku yang ditulisnya, Tofik
Pram memang seorang pengagum berat
sastrawan dari Blora ini. Tofik merasa beruntung karena di namanya ada
unsur Pramnya, walau dia bukan salah satu dari keluarga Toer. Saya sendiri sangat
kagum dengan kisah perkenalan Tofik dengan idolanya, Pram, yang diawali dari
membaca buku hadiah dari ayahnya dari kota, buku itu adalah seri pertama dari
Tetralogi Pulau Buru yang berjudul Bumi Manusia. Perkenalan itu sekitar tahun
1996 saat ia duduk di kelas II SMP.
Di dalam pengantarnya Tofik Pram berkisah bagaimana heroiknya
dia saat membaca buku yang dilarang beredar oleh Orde Baru saat itu, buku Pram
dianggap mengajarkan paham komunis yang diharamkan oleh negara. Tofik
sebenarnya sudah diperingatkan oleh ayahnya agar supaya buku itu hanya dibaca
di rumah saja. Dasar watak anak muda, semakin dilarang semakin ingin
mencobanya. Akhirnya dengan diam-diam Tofik membaca buku itu di toilet sekolah
yang berbau pesing.
Dari aksi nekad ini dan akibat mengabaikan peringatan
ayahnya, Tofik mendapatkan imbalan yang setimpal. Ketika sedang asyik membaca
tiba-tiba pintu toilet didobrak dari luar. Sebelum habis terkejutnya, buku yang
dibaca Tofik telah berpindah tangan dengan kasar, sampul buku itu robek, dan
beberapa halamannya tercecer. Guru BP-nya telah merampas keasyikannya
menelusuri kisah Minke, Anelis, Nyai Ontosoroh dan tokoh-tokoh dalam Bumi
Manusia yang membuat Tofik terpesona.
Kisah-kisah para pelaku dan pembaca buku-buku Pram yang
mengalami kejadian seperti yang dialami oleh Tofik sering kita dengar, betapa
rezim saat itu begitu ketat membelenggu dan membatasi ruang gerak dari
pikiran-pikiran Pramoedya Ananta Toer. Tidak hanya buku-bukunya saja yang
dilarang dicetak dan diedarkan, namun para pembacanya juga bernasib sama,
mengalami diskriminasi dari lingkungan dan dari institusi negara dengan dalih
undang-undang.
Saya merasa beruntung tidak mengenal perlakuan diskriminatif
sebagaimana yang dirasakan oleh Tofik dan Tofik-Tofik lainnya, karena saat itu
saya belum mengenal siapa Pram dan belum pernah melihat apa itu Tetralogi Pulau
Buru dan buku-buku Pram lainnya. Saya Cuma mendengar cerita dan dari
bisik-bisik mahasiswa pergerakan yang yang tergabung di Forum Komunikasi
Mahasiswa Bangilan (FKMB), itupun masa diskriminasi terhadap karya Pram sudah
surut.
Dari bisik-bisik itulah saya merasa penasaran, seperti apa
sih tulisan Pram kok sampai negara melarang peredaran karya dari Pramoedya
Ananta Toer. Kemudian saya mulai membaca buku Pram, Ada Bumi Manusia, Gadis
Pantai, Arus Balik, Midah Si Manis Bergigi Emas, Cerita Dari Blora, Perburuan,
Bukan Pasar Malam, Keluarga Gerilya, Cerita Calon Arang, Panggil Aku Kartini Saja, dan beberapa buku lainnya
saja baca. Saya orangnya memang banyak lupanya jika membaca, namun dari
pengalaman membaca buku Pram, saya bingung merumuskan di sisi mana buku Pram
itu dianggap berbahaya oleh rezim Orde Baru. kebingungan ini saya pendam
sendiri sambil terus saya renungi.
Sampai pada suatu kesempatan, saya bertemu dengan seorang
teman mengatakan kepada saya bahwa “Yang menuduh dan tahu ajaran komunis itu, mungkin
saja seorang komunis itu sendiri. Atau yang merekayasa tentang ajaran komunis
di bukunya Pram,” terangnya. Saya sering mengatakan, apa institusi atau lembaga
negara yang mengatakan buku Pram berisi ajaran komunis memangnya sudah pernah
membacanya, atau setidaknya mengkonfirmasi tuduhannya tersebut kepada Pram
sendiri?
Di dalam pembelaannya, Pram pernah mengatakan sebagaimana
yang saya kutip dari tulisan Tofik di halaman 133, Pram menegaskan: “Apa mereka
tahu komunisme? Ini sama halnya ketika Kejaksaan Agung mengirimkan tiga jaksa
kepada saya, pada 1988. Mereka menuduh saya menyebarkan Marxxisme dan
Leninisme. Saya bilang, kalau pemerintah menuduh, silakan buka pengadilan, tapi
saya menuntut didampingi pengacara dari negara netral yang tahu betul tentang
Marxisme dan Leninisme, Komunisme. Tanpa pendamping, nanti kedodoran. Saya
sendiri tidak paham, hakimnya tidak tahu, jaksanya tidak mengerti. Dagelan.
Mereka setuju, tapi sampai sekarang tidak dijalankan.”
Lebih lanjut Pram juga membela diri, “Saya tidak pernah
pelajari Marx, jadi saya tidak kenal
betul Marx. Saya, dalam pandangan saya, hanya berpihak pada yang adil, benar,
dan berperikemanusiaan.” Dan masih banyak lagi argumen yang dibangun oleh Pram,
bahwa ia sama sekali tidak paham apa itu Marxisme, Leninisme, Komunisme dalam
tataran politik sebagaimana yang dituduhkan oleh rezim Orde Baru.
Demikian beberapa hal yang bisa saya tangkap dari beberapa
pengakuan Pram tentang dirinya dan ajaran komunisme yang selalu dilekatkan pada
sosok Pramoedya Ananta Toer. Saya tentu berterima kasih pada Tofik Pram, walau
hanya bertemu di untaian tulisannya, sedikit banyak saya mengetahui gambaran
dari seorang Pram. Saya juga sangat menyukai dan setuju dengan slogan yang
ditulis oleh Tofik, entah itu untuk menggambarkan isi bukunya atau bahkan untuk
menggambarkan Pram dalam tulisannya, “Untuk Manusia, Untuk Kebebasan, Untuk
Keberanian, Untuk Cinta, Untuk Indonesia.” Sungguh luar biasa.
Menurut saya, Tofik Pram ini orangnya sangat telaten sekali,
buku yang ditulisnya yang berjudul The Wisdom Of Pramoedya Ananta Toer berisi
apapun yang ditulis Pram baik itu kutipan yang ada dibuku-buku maupun
esai-esainya. Dengan teliti Tofik mengumpulkan apapun yang berhubungan dengan
Pram kemudian mendokumentasikannya dalam sebuah buku. Sebuah kerja yang patut
mendapatkan apresiasi dari para pramis maupun para pembaca buku-buku Pram
seperti saya. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar