Perburuan
Yang mencekam
Oleh
: JoyoJuwoto
Saya
benar-benar tercekam, khawatir, dan ikut
merasakan kecemasan demi kecemasan ketika membaca lembar demi lembar novel
“Perburuan” yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Tidak hanya itu saja,
kondisi kemiskinan rakyat Blora dan sekitarnya akibat ulah Nippon menerbitkan
rasa pedih yang tak terkira. Begini ternyata nasib bangsa yang kalah dan
terjajah, menderita tiada terkira.
Setting cerita
dalam novel ini bersebelahan langsung dengan tempat tinggal saya. Banyak tempat
yang disebutkan Pram masih ada sampai kini, dan saya pun melihatnya dengan mata
kepala secara langsung. Seperti Karangjati, Kaliwangan, Kali Lusi, Jembatan
Kali Lusi, Stasiun kereta api, waduk Tempuran, Plantungan, gua Sampur dan
beberapa nama tempat lainnya.
Ada satu
tempat yang disebutkan oleh Pram sebagai tempat persembunyian tokoh utama
perburuan dalam novel ini, “Kere” sebutan Raden Hardo anak mantan wedana
Karangjati, tempat itu adalah gua Sampur sebagaimana saya sebut di atas, saya
belum pernah mendengar dan tahu gua ini, dan saya ingin mengunjunginya. Entah
gua ini benar-benar ada atau hanya sekedar kisah buatan Pram. Saya tidak tahu.
Blora yang
memang berada di kawasan pegunungan Kendeng utara tentu banyak gua di sana, dan
sangat mungkin gua-gua itu menjadi tempat persembunyian dan markas para pejuang
kemerdekaan dari kejaran pasukan Nippon. Sebagaimana tokoh “Kere” yang juga
bersembunyi di gua Sampur. Karena kegagalan dalam peristiwa pemberontakan
melawan Nippon, para pejuang termasuk “Kere” menjadi target perburuan Nippon
yang dibantu oleh para pamongpraja setempat.
Dari perburuan
inilah Pram meramu berbagai ragam kisah yang heroik, romantisme, pengkhianatan,
harapan, kesetiaan, kemiskinan, ambisi, dan berbagai sentimen kehidupan
masyarakat. Bahkan lebih dalam lagi A. Teeuw mengatakan bahwa novel yang
ditulis oleh Pram ini merupakan kisah pencerminan diri. Tokoh utamanya sesudah
melancarkan pemberontakan, kemudian secara khas Jawa bertapa mengekang diri
dengan ketat, dan dalam meditasinya itu sampailah ia kepada suatu wawasan yang
lebih luhur; ia menemukan kaidah untuk diri sendiri dan bagi orang lain dengan
mana hidup dan perbautan setiap insan harus diuji...” A. Teeuw menyimpulkan ini
mungkin terinspirasi dari percakapan antara anak dan bapak, si Kere dan Penjudi
di sebuah gubuk di tengah ladang jagung, “Bertapa adalah menjalani jalan yang
menuju pada dirinya sendiri dengan langsung.”
Novel
Perburuan yang ditulis Pram menggambarkan secara detail bagaimana keadaan
masyarakat Indonesia di bawah pendudukan Jepang. Walau hanya beberapa tahun
saja, namun kesadisan dan kengerian teror yang ditebar makhluk cebol yang
kedatangannya memang sudah diramalkan oleh Jayabaya ini betul-betul membuat
rakyat Blora menderita. Sangat menderita. Penderitaan rakyat karena ulah Nippon
terekam dalam jejak kalimat lisan yang ditinggalkan secara turun-temurun oleh
kakek buyut kita, “Pagupon omahe dara, melu Nippon tambah sengsara” (Pagupon
rumah burung dara, ikut Nippon semakin sengsara).
Dari novel
perburuan ini kita tentu bisa belajar banyak tentang sifat dan watak manusia
yang berbeda-beda, ada lurah Kaliwangan yang berusaha menjilat penguasa demi
keselamatan dan kebahagiaan diri dan keluarganya, ada si Kere, Dipo, Kartiman,
para pejuang yang harus rela dicap sebagai pemberontak oleh Nippon, hidup
terlunta-lunta menjadi pengemis, dan selalu diburu maut Kenpei, ada Si Ningsing
guru Darmorini (Sekolah gadis yang didirikan oleh abang R.M Tirto Adhisoejo),
tunangan den Hardo yang memilih setia hanya untuk kekasih hatinya hingga ajal
menjemputnya, ada penjudi bekas wedana Karangjati, ada shodanco Karmin yang karena keadaan
dianggap sebagai pengkhianat rakyat, dan berbagai watak manusia dengan segala
rupa-rupanya.
Pram memang
luar biasa, mampu menceritakan lika-liku peristiwa yang terjadi di kampung
halamannya dengan sangat cermat dan gamblang dalam sebuah novel Perburuan.
Silakan yang belum baca bukunya bisa segera berburu di took-toko buku.
Karena dari
buku apapun bentuknya kita bisa belajar tentang kearifan, kebijaksanaan, dan
nilai-nilai kemanusiaan. Dari buku pula kita belajar tentang kesadaran,
ketekunan, bahkan keberanian. Karena lembaran buku pada hakekatnya bukan hanya
sekedar susunan kertas tanpa makna, dari buku terkandung jejak rekam sejarah
peradaban umat manusia dari zaman ke zaman, yang kita bisa membukanya dari
tempat duduk kita. Selamat membaca buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar