Senin, 18 Juni 2018

Perburuan Yang mencekam

Perburuan Yang mencekam
Oleh : JoyoJuwoto

Saya benar-benar tercekam, khawatir,  dan ikut merasakan kecemasan demi kecemasan ketika membaca lembar demi lembar novel “Perburuan” yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Tidak hanya itu saja, kondisi kemiskinan rakyat Blora dan sekitarnya akibat ulah Nippon menerbitkan rasa pedih yang tak terkira. Begini ternyata nasib bangsa yang kalah dan terjajah, menderita tiada terkira.

Setting cerita dalam novel ini bersebelahan langsung dengan tempat tinggal saya. Banyak tempat yang disebutkan Pram masih ada sampai kini, dan saya pun melihatnya dengan mata kepala secara langsung. Seperti Karangjati, Kaliwangan, Kali Lusi, Jembatan Kali Lusi, Stasiun kereta api, waduk Tempuran, Plantungan, gua Sampur dan beberapa nama tempat lainnya.

Ada satu tempat yang disebutkan oleh Pram sebagai tempat persembunyian tokoh utama perburuan dalam novel ini, “Kere” sebutan Raden Hardo anak mantan wedana Karangjati, tempat itu adalah gua Sampur sebagaimana saya sebut di atas, saya belum pernah mendengar dan tahu gua ini, dan saya ingin mengunjunginya. Entah gua ini benar-benar ada atau hanya sekedar kisah buatan Pram. Saya tidak tahu.

Blora yang memang berada di kawasan pegunungan Kendeng utara tentu banyak gua di sana, dan sangat mungkin gua-gua itu menjadi tempat persembunyian dan markas para pejuang kemerdekaan dari kejaran pasukan Nippon. Sebagaimana tokoh “Kere” yang juga bersembunyi di gua Sampur. Karena kegagalan dalam peristiwa pemberontakan melawan Nippon, para pejuang termasuk “Kere” menjadi target perburuan Nippon yang dibantu oleh para pamongpraja setempat.

Dari perburuan inilah Pram meramu berbagai ragam kisah yang heroik, romantisme, pengkhianatan, harapan, kesetiaan, kemiskinan, ambisi, dan berbagai sentimen kehidupan masyarakat. Bahkan lebih dalam lagi A. Teeuw mengatakan bahwa novel yang ditulis oleh Pram ini merupakan kisah pencerminan diri. Tokoh utamanya sesudah melancarkan pemberontakan, kemudian secara khas Jawa bertapa mengekang diri dengan ketat, dan dalam meditasinya itu sampailah ia kepada suatu wawasan yang lebih luhur; ia menemukan kaidah untuk diri sendiri dan bagi orang lain dengan mana hidup dan perbautan setiap insan harus diuji...” A. Teeuw menyimpulkan ini mungkin terinspirasi dari percakapan antara anak dan bapak, si Kere dan Penjudi di sebuah gubuk di tengah ladang jagung, “Bertapa adalah menjalani jalan yang menuju pada dirinya sendiri dengan langsung.”

Novel Perburuan yang ditulis Pram menggambarkan secara detail bagaimana keadaan masyarakat Indonesia di bawah pendudukan Jepang. Walau hanya beberapa tahun saja, namun kesadisan dan kengerian teror yang ditebar makhluk cebol yang kedatangannya memang sudah diramalkan oleh Jayabaya ini betul-betul membuat rakyat Blora menderita. Sangat menderita. Penderitaan rakyat karena ulah Nippon terekam dalam jejak kalimat lisan yang ditinggalkan secara turun-temurun oleh kakek buyut kita, “Pagupon omahe dara, melu Nippon tambah sengsara” (Pagupon rumah burung dara, ikut Nippon semakin sengsara).

Dari novel perburuan ini kita tentu bisa belajar banyak tentang sifat dan watak manusia yang berbeda-beda, ada lurah Kaliwangan yang berusaha menjilat penguasa demi keselamatan dan kebahagiaan diri dan keluarganya, ada si Kere, Dipo, Kartiman, para pejuang yang harus rela dicap sebagai pemberontak oleh Nippon, hidup terlunta-lunta menjadi pengemis, dan selalu diburu maut Kenpei, ada Si Ningsing guru Darmorini (Sekolah gadis yang didirikan oleh abang R.M Tirto Adhisoejo), tunangan den Hardo yang memilih setia hanya untuk kekasih hatinya hingga ajal menjemputnya, ada penjudi bekas wedana Karangjati,  ada shodanco Karmin yang karena keadaan dianggap sebagai pengkhianat rakyat, dan berbagai watak manusia dengan segala rupa-rupanya.

Pram memang luar biasa, mampu menceritakan lika-liku peristiwa yang terjadi di kampung halamannya dengan sangat cermat dan gamblang dalam sebuah novel Perburuan. Silakan yang belum baca bukunya bisa segera berburu di took-toko buku.


Karena dari buku apapun bentuknya kita bisa belajar tentang kearifan, kebijaksanaan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Dari buku pula kita belajar tentang kesadaran, ketekunan, bahkan keberanian. Karena lembaran buku pada hakekatnya bukan hanya sekedar susunan kertas tanpa makna, dari buku terkandung jejak rekam sejarah peradaban umat manusia dari zaman ke zaman, yang kita bisa membukanya dari tempat duduk kita. Selamat membaca buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar