Jalan Terjal Demokrasi di Pilkada Tuban
Oleh: Joyojuwoto
Gambar : http://news.liputan6.com/ |
Perhelatan Pilkada di Kabupaten Tuban sebentar lagi digelar, namun
event suksesi kepemimpinan lima tahunan ini terancam sepi. Sejauh ini
obrolan-obrolan cangkrukan di warung-warung kopi, di pasar-pasar yang membahas
masalah pilkada hanya angin lalu saja. Seakan memang tidak ada point penting
yang perlu dibicarakan dalam perhelatan pesta rakyat itu. Tidak seperti
tahun-tahun sebelumnya jauh-jauh hari sebelum pilkada digelar manuver-manuver dan
intrik-intrik politik dari berbagai parpol mewarnai dan memanaskan suhu
perpolitikan di Kabupaten Tuban.
Sepinya pilkada Tuban tahun ini tentu tidak terlepas dari peran dan
sikap parpol di Kabupaten Tuban yang kelihatannya kehilangan greget untuk
bertarung dan menampilkan jago-jagonyanya di arena pilkada. Faktor dominasi
incumbent yang kuat serta gagalnya kaderisasi calon pemimpin dari parpol
menjadi salah satu sebab hilangnya kemeriahan pesta demokrasi. Partai politik
kelihatannya memilih jalur aman daripada harus capek-capek berkeringat serta
berdarah-darah untuk menampilkan calon yang mampu menandingi duet Huda-Noor
jilid dua, namun toh akhirnya menurut pertimbangan politis mereka akan kalah
juga.
Demokrasi yang sejatinya adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat
telah dibajak oleh parpol guna meraih tujuan-tujuan sesaat dan pragmatis
semata. Hal ini terjadi karena parpol lebih mengedepankan kepentingan parpol
itu sendiri daripada memikirkan kepentingan rakyat. Seperti pada pilkada di
Kabupaten Tuban tahun ini rakyat dipaksa harus memenangkan incumbent karena
memang tidak ada calon pemimpin alternatif lain yang lebih visioner dan memihak
kepada rakyat. Kalaupun ada calon dari jalur independent disinyalir tidak banyak
mempengaruhi warna dan konstalasi pilkada tahun ini, karena calon independent
yang muncul dianggap tidak lebih dari tumbal kebijakan pilkada yang
mengharuskan adanya lawan bagi incumbent jika tidak ingin pilkada ditunda
hingga tahun berikutnya.
Partai politik yang seyogyanya memberikan edukasi perpolitikan
kepada masyarakat ternyata gagal mengembangkan sikap dialektika perpolitikan
yang dinamis dan mengedepankan kepentingan rakyat. Parpol lebih suka main mata
dan salah tafsir dalam memaknai arti dari perpolitikan itu sendiri. Yang
terpenting bagi partai politik adalah berada dalam lingkar kekuasaan dan ikut
mendapat jatah makan siang gratis dari penguasa.
Demokrasi yang seharusnya memberikan pilihan-pilihan kemerdekaan berpolitik
dan sebagai wadah untuk menyampaikan aspirasi kalangan bawah berubah menjadi
semacam proses pemaksaan terselubung bagi masyarakat pemilik demokrasi itu
sendiri. Bagaimana tidak rakyat yang seharus diberi pilihan-pilihan untuk
memilih pemimpin yang ngopeni wong cilik harus menelan ludah, karena
partai politik yang menjadi pilar dari demokrasi dan digadang-gadang mampu
memberikan stok pemimpin ternyata hanya memberikan pepesan kosong dan
mengkhianati mandat dari rakyat. Ini terbukti dengan tidak adanya calon lain
dalam pilkada tahun ini di kabupaten Tuban yang berasal dari partai politik.
Kalaupun dari partai politik muncul calon pemimpin biasanya tidak
lebih dari stok lama atau bahkan tokoh yang direkomendasikan oleh salah satu
partai politik dikarenakan ada deal-deal tertentu yang jauh dari sikap
memperjuangkan kedaulatan rakyat, istilah politiknya politik transaksional. Di
sini kepentingan rakyat dikorbankan, di sini demokrasi diciderai, di sini jalan
terjal demokrasi pilkada Tuban
dipertaruhkan.
Partai politik yang seharusnya menjadi wadah dan kepanjangan tangan
rakyat telah gagal menjalankan fungsinya dalam mendorong proses demokrasi.
Dengan melihat kondisi dan kecenderungan partai politik untuk memilih bergabung
dengan incumbent, maka bisa dikatakan inilah kiamat demokrasi yang perlu ditangisi
oleh semua pihak. Nuansa pragmatisme yang mengakar kuat di dalam sanubari para
aktor partai politik di Kabupaten Tuban harus segera disudahi, mereka harus
mengembalikan makna demokrasi pada khittahnya, agar masyarakat tidak memandang
sinis dan kotor terhadap perpolitikan itu sendiri.
Jangan salahkan rakyat jika menganggap politik adalah najis
mughalladzoh, sehingga menyebabkan rakyat enggan untuk bersentuhan dengan dunia
politik. Hilangnya sikap idealisme para pimpinan parpol menjadi sebab krisis kepercayaan
masyarakat terhadap dunia perpolitikan. Bagi masyarakat sekarang yang
terpenting adalah bukti bukan janji-janji manis yang selalu ditebar pada saat
kampanye. Siapapun yang telah terbukti memberikan uang kepada mereka maka
dipastikan ia akan dipilih oleh masyarakat. Sikap ini tentu menjadi masalah
tersendiri dalam perpolitikan kita, namun faktanya seperti itu. Masyarakat
sekarang tidak ambil peduli apakah pemimpin yang dipilih memiliki visi dan misi
untuk kepentingan bersama atau tidak. Karena pada kenyataannya hampir semua
visi dan misi para calon pemimpin baik dan memihak rakyat, hanya saja setelah
nanti memegang tampuk kekuasaan biasanya visi dan misi tinggal menjadi sebuah
janji yang tak ada realisasi.
Rakyat sudah sangat hafal dengan sikap dan dinamika perpolitikan
para elit politik yang seperti ini, sehingga jangan salahkan ketika rakyat
memiliki konsep dan dinamika perpolitikannya sendiri. Alasannya sebenarnya
sangat sederhana sekali, rakyat sebagai tuan dari sistem demokrasi kelihatannya
sudah tidak lagi mempercayai bahwa politik adalah sarana yang dipakai untuk
menyalurkan aspirasi publik, namun lebih dipakai sebagai saluran kekuasaan elit
politik semata.
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap model demokrasi seperti ini
harus segera dihentikan jika kita ingin proses demokrasi mampu menghasilkan pemimpin yang
memperjuangkan kepentingan rakyat. Jangan sampai politik uang mengalahkan dan
mematikan akal sehat masyarakat kita.
Diantara langkah yang perlu diambil untuk menata ulang nalar
berfikir perpolitikan kita adalah dengan cara menghidupkan kembali komunikasi
antara elit politik dan masyarakat bahwa sebenarnya kemenangan partai politik
adalah kemenangan rakyat juga, agar rakyat dari kelompok manapun tidak merasa
menjadi lawan dari partai politik yang memenangi pilkada.
Sudah
saatnya dalam pilkada di manapun berada para elit politik memberikan keteladanan
dan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat dengan cara mengubah model
perpolitikan kontestasi uang menuju kontestasi ideologi yang benar-benar
memperjuangkan kepentingan pemilik kekuasaan (rakyat) dalam proses perpolitikan
khususnya di Kabupaten Tuban. karena sejatinya rakyatlah yang berkuasa. “Vox
Populi vox die”. J.J.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar