 |
Oleh : KH. Hasyim Muzadi |
|
Di mana di punggung bumi ini ada negara yang
demikian toleran sehingga umat dari beragam agama bisa hidup
berdampingan seperti di Indonesia?
Nahdlatul Ulama (NU) dan para penganut mazhab ahlusunnah waljamaah (aswaja) mengenalnya dengan istilah “tasamuh“ dan masyarakat Indonesia kebanyakan memaknainya dengan istilah “toleransi“.
Di kalangan NU, bersifat dan bersikap tasamuh bukan semata pilihan
organisasi, tetapi sudah menjadi “laku“ yang melekat dalam kehidupan
umat sehari-hari. Sifat tasamuh dalam bermuamalah dijadikan landasan.
Bahkan, ketika teks-teks keagamaan mengenai muamalah tumbuh dalam
praksis kemasyarakatan, sikap tasamuh didahulukan dibanding sikap-sikap
positif lainnya.
Begitu kuatnya sikap tasamuh itu dalam praktik kehidupan sehari-hari,
hingga muncul kesan seolah-olah mereka yang bersikap tasamuh sama dengan
bersikap abu-abu alias tidak jelas.
Padahal, di situlah inti kehidupan. Ajaran Islam bisa diterima, salah
satu sebabnya karena mampu berinteraksi dengan lingkungan secara damai.
Istilahnya, berakulturasi dengan sehat. Bukan karena meyakini suatu
kebenaran lalu menutup pintu munculnya tafsir berbeda atas kebenaran
tersebut. Islam, karena itu, amat kuat menjunjung sikap tasamuh agar
dapat menjadi solusi dan alternatif.
Demikian juga yang terjadi di tengah-tengah kita. Begitu biasanya bangsa
ini bersifat tasamuh, hingga bermacam-macam “ideologi“ boleh tumbuh dan
berkembang di negeri ini dengan bebas.
Namun begitu, ketika berkaitan dengan urusan prinsip, seperti masalah
akidah keyakinan atau hal-hal yang mengancam konstitusi, maka bersikap
toleransi dalam keyakinan dan pandangan menjadi tidak pada tempatnya.
Ketika Orde Reformasi bergulir, keran kebebasan terbuka lebar sehingga
beragam ideologi juga bebas masuk.
Situasi ini membuat Indonesia seperti pasar bebas yang kaya akan
pilihan. Namun belakangan, karena sifatnya yang tidak tasamuh dan rigid
serta terus mengklaim kebenaran hanya datang dari “pihaknya”, maka paham
transnasional yang datang bergelombang sejak era reformasi, telah
menyebabkan keresahan di beberapa daerah.
Kalau sebatas menyampaikan ajakan, tidak menjadi masalah. Urusan berubah
menjadi masalah karena mereka mengusung ajaran yang menyebut keyakinan
“penduduk“ asli sebagai ajaran sesat. Mereka bahkan menyediakan neraka
bagi yang berada di pihak lain.
Dalam beberapa kasus, mereka malah mencaplok masjid yang sudah sekian
lama menjadi tempat berbadah penduduk asli mazhab tasamuh. Mengambil
sebagian ajaran Islam dan memasukkan ajaran lain yang bukan dari Islam.
Tindakan semacam ini yang lantas mengganggu harmoni sosial yang sudah
biasa bertasamuh.
Di satu-dua daerah, pemaksaan keyakinan dan kebenaran ini memunculkan
aksi membela diri yang kadang berbau kekerasan. Ahmadiyah salah satu
contoh dan GKI Yasmin, Bogor, contoh lainnya.
Begitulah kehidupan penuh toleransi itu berlangsung selama ratusan
tahun. Paling kurang, ada beberapa agama yang mendapatkan pengakuan
negara. Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan belakangan Kong
Huchu, adalah contohnya.
Kalau demikian, di mana di punggung bumi ini ada negara yang demikian
toleran sehingga umat dari beragam agama bisa hidup berdampingan? Jangan
hanya gara-gara kasus Ahmadiyah dan GKI Yasmin, para kolonialis
mengutuk kita negara yang intoleran dalam beragama.
Menjadi tidak beralasan jika sidang PBB di Jenewa, Swiss, lantas
menuding Indonesia sebagai tidak toleran dalam praktik keberagamaan
sehari-hari. Sebenarnya, tahukah mereka tentang toleransi di Indonesia?
Tahu apa mereka soal Ahmadiyah di Indonesia dan kasus GKI Yasmin?
Penulis sungguh sangat menyayangkan tuduhan intoleransi agama di
Indonesia. Pembahasan di forum dunia itu, pasti karena ada laporan dari
dalam negeri Indonesia. Selama berkeliling dunia, penulis belum bertemu
negara Muslim setoleran Indonesia.
Bagaimana bisa mereka mengukur kehidupan keagamaan kita sementara mereka
menggunakan ukuran yang tidak pas dan bahkan menyiapkan ukuran dengan
desain mereka sendiri. Oleh sebab itu, penting dipertanyakan ukuran
intoleransi beragama yang dituduhkan oleh peserta sidang PBB di Jenewa
Swiss.
Kalau ukuran yang dipakai semata masalah Ahmadiyah, memang sejatinya
Ahmadiyah sendiri telah menyimpang dari pokok ajaran Islam. Namun,
mereka selalu menggunakan stempel Islam dan berorientasi politik Barat.
Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri pasti tidak dipersoalkan
oleh umat Islam Indonesia.
Sementara kasus GKI Yasmin Bogor, Jawa Barat, juga tidak bisa dijadikan
ukuran Indonesia intoleransi beragama. Penulis berkali-kali berkunjung
ke lokasi (GKI Yasmin), namun tampaknya mereka memang tidak ingin
masalahnya selesai. Mereka lebih suka Yasmin jadi masalah nasional dan
dunia daripada masalahnya selesai.
Kalau ukurannya pendirian gereja, faktornya adalah lingkungan. Di Jawa
pendirian gereja sulit, tapi di Kupang (Batuplat) pendirian masjid juga
sangat sulit. Belum lagi pendirian masjid di Papua.
Jika yang dijadikan ukuran adalah protes konser Lady Gaga dan feminis
Irsyad Manji, maka tidak ada bangsa di dunia ini yang mau tata nilainya
dirusak orang lain.
Tidak ada bangsa manapun yang ingin tata nilainya dirusak, kecuali
mereka yang ingin menjual bangsanya sendiri untuk kebanggaan
intelektualisme kosong.
Kalau ukurannya HAM di Papua, mengapa TNI, Polri, dan imam masjid berguguran tidak ada yang bicara HAM?
Indonesia lebih baik toleransinya ketimbang Swiss yang tidak
memperbolehkan pendirian menara masjid. Indonesia lebih baik dari
Prancis yang terus mengurus jilbab, dan lebih baik dari Denmark, Swedia,
dan Norwegia yang tak menghormati agama karena di sana ada UU
perkawiman sejenis.
Agama mana yang memperkenankan perkawinan sejenis? Akhirnya kembali
kepada bangsa Indonesia dan kaum Muslimin sendiri yang harus sadar dan
tegas, membedakan mana HAM yang benar humanisme dan mana yang sekadar
Westernisme?
Sungguh disayangkan penilaian sejumlah delegasi negara anggota Dewan HAM
PBB yang menyebut Indonesia intoleran dalam beragama dalam sidang
tinjauan periodik universal II (Universal Periodic Review UPR) di
Jenewa, Swiss.
Wallaahu a'lamu bish-showaab.[]
*REPUBLIKA (edisi cetak Ahad 3/6/12)
Komentar :
Saya sangat setuju dengan pandangan Mbah Hasyim Muzadi yang notabenenya adalah seorang Ulama kenamaan NU. Semoga kita semua bisa meniru apa yang menjadi pandangan beliau ini, karena pada dasarnya memang seperti itu, tahu apa orang-orang yang tergabung dalam Dewan HAM PBB tentang toleransi, tentang kebebasan, bahkan tentang hak asasi manusia itu sendiri. Mereka selalu menerapkan standar ganda terhadap umat Islam di dunia ini. Benar apa yang telah didawuhkan KH. Hasyim Muzadi jika TNI, Polri, Kyai berguguran di Papua para pegiat HAM diam seribu bahasa, tapi jika kepentingan mereka terusik sedikit saja, mereka akan berteriak-teriak tentang HAM, toleransi, dan dengan segala tetek-bengeknya. Kagum buat Mbah Hasyim...Bersambung...!!!