Musim liburan telah tiba, untuk mengisi waktu luang dari kesibukan sehari-hari yang kadang juga tidak sibuk kami dari team kluyuran dadakan melakukan perjalanan motor dengan rute dari Bangilan ke arah Kec. Senori lalu naik tanjakan Banyuurip. Di tengah hutan tepat dipinggir jalan raya kami ambil gambar bersama dengan latar belakang pohon yang bertuliskan lafadz Allah. Melihat dari model dan bentuknya tulisan itu adalah hasil dari kreasi anak-anak penggembala sapi yang ada di sekitar hutan tersebut.
Tapi apapun itu menunjukan bahwa masyarakat kita memang memiliki relegion emotions (emosi keagamaan) yang cukup kuat, sehingga simbol-simbol semacam itu sering kita jumpai ditengah-tengah masyarakat. Setelah acara jeprat-jepret perjalanan pun kami lanjutkan. Sembilan sepeda motor meraung di jalanan yang tidak seberapa mulus, walau di daerah itu adalah pusatnya tambang minyak, tetapi jalan-jalannya terasa menggetarkan roda-roda sepeda kami yang menyebabkan tangan-tangan ini kesemutan. Sebenarnya saya juga kurang tahu secara pasti sebab kesemutan ini gara-gara jalan yang tidak rata atau mungkin karena sepeda kami, saya khususnya yang suspensinya sudah tidak standar lagi, lha wong sepeda keluaran 1991 ya maklum saja. Walau tidak kelihatan sebagai desa yang terlalu sangat miskin namun begitu rumah-rumah penduduk pun rata-rata juga tidak menggambarkan bahwa ditempat itu tersimpan sumber daya alam yang melimpah-ruah.
Tapi apapun itu menunjukan bahwa masyarakat kita memang memiliki relegion emotions (emosi keagamaan) yang cukup kuat, sehingga simbol-simbol semacam itu sering kita jumpai ditengah-tengah masyarakat. Setelah acara jeprat-jepret perjalanan pun kami lanjutkan. Sembilan sepeda motor meraung di jalanan yang tidak seberapa mulus, walau di daerah itu adalah pusatnya tambang minyak, tetapi jalan-jalannya terasa menggetarkan roda-roda sepeda kami yang menyebabkan tangan-tangan ini kesemutan. Sebenarnya saya juga kurang tahu secara pasti sebab kesemutan ini gara-gara jalan yang tidak rata atau mungkin karena sepeda kami, saya khususnya yang suspensinya sudah tidak standar lagi, lha wong sepeda keluaran 1991 ya maklum saja. Walau tidak kelihatan sebagai desa yang terlalu sangat miskin namun begitu rumah-rumah penduduk pun rata-rata juga tidak menggambarkan bahwa ditempat itu tersimpan sumber daya alam yang melimpah-ruah.
Panasnya siang yang menjala wajah-wajah kami tak kami hiraukan, perjalanan kami selanjutnya adalah ke arah Malo untuk hunting foto-foto di atas jembatannya yang kokoh menjulang. Jembatan Malo menjadi penanda batas wilayah Kab. Tuban dan Bojonegoro. Jalan disebelah utara jembatan masih beraspal sedang diseberangnya yaitu di sebelah selatan yang masuk wilayah Bojonegoro sedang di pavingisasi oleh pemda setempat. Setelah puas mengambil gambar rider-rider amatir menarik gasnya dan meluncur di jalan-jalan berdebu, setelah sampai di jalan raya kalitidu kami mengambil jalur ke arah kota Cepu.
Karena memang disana tujuan klimaks kita. Makan berjamaah di salah satu warung bakar ikan. Singkat cerita karena kita bukan kategori makhluk beruang dan ikan yang ditawarkan cukup mahal bagi kantong kami akhirnya setelah dihitung-hitung uangnya hanya cukup untuk memesan satu ikan buat dua orang itu pun nasi kami bawa sendiri dari pondok. Tak apalah Everithing is OK semua tak menjadi masalah jika kita ok ok saja. Dari santap siang kami memutuskan untuk langsung pulang dengan mengambil rute yang ekstrim dan jarang dilewati kendaraan umum. Cepu - Kasiman - Kedewan - Singget, sebuah desa yang menjadi perbatasan tiga wilayah yaitu sebagian masuk Kab. Bojonegoro, sebagiannya lagi masuk Kab. Blora dan yang satunya berada di wilayah Tuban. Aku berkhayal kelak tiga bupati dari wilayah masing-masing bertemu dalam satu panggung di tempat perbatasan ini. Semoga. Salam liburan salam jalan-jalan. JWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar