Catatan Perjalanan Menuju Puncak Gunung Lawu
Oleh: Joyo Juwoto
Mendaki gunung adalah
keinginan saya yang sudah lama terpendam, semenjak usia muda keinginan itu
telah ada, namun baru di usia kepala empat keinginan itu akhirnya menemukan
jalannya. Entah terinspirasi oleh apa, secara film 5 CM belum rilis, bahkan
novelnya pun belum terbit, yang pasti saya memang menyukai alam dengan segala
keindahannya.
Tanggal 30 Desember 2023,
pukul 03.30 WIB menjelang shubuh, saya berangkat bertiga memakai dua motor.
Saya dibonceng teman dari Sale, Mas Lukman Al Aswad, dan satunya Mas Afif dari
Sambong Cepu. Perjalanan cukup lancar walau sebelumnya sebelum berangkat sempat
hujan, tapi Alhamdulillah reda.
Mas Lukman dan Mas Afif
ini sudah terbiasa naik gunung, sudah banyak gunung yang di daki, khususnya di
daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ke Lawu pun mereka sudah berkali-kali, baik
mendaki secara tektok maupun ngecamp. Saya baru pertama kalinya naik gunung,
dan tanpa persiapan yang memadai.
Karena kami sepakat
mendaki secara tektok (naik gunung tanpa camping) maka tak perlu persiapan
apa-apa kecuali air yang kita jadikan bekal di perjalanan. Untuk makan nanti
bisa membawa snack kering atau bisa langsung makan di warungnya Mbok Yem yang
legendaris itu. Satu-satunya persiapan yang diperlukan tentu fisik yang sehat
dan yang terpenting sepatu/sandal gunung untuk mendaki guna melindungi kaki
agar tidak terluka dan tidak mudah terpeleset saat pendakian. Untuk jaket
gunung mungkin diperlukan kalau mendaki dan ngecamp di puncak, karena tentu
udaranya sangat dingin, namun jika memilih tektokan rasa-rasanya jaket gunung
tidak diperlukan.
Setelah bermotor kurang
lebih 4 jam, kami sampai di basecamp pendakian jalur Cemoro Kandang, dari jalur
ini kami akan naik menuju puncak. Sebenarnya ada beberapa jalur pendakian lain,
seperti via Singolangu, Cemoro Sewu, Tambak, dan via Candi Cetho. Karena saya
tidak paham jalur-jalur itu, saya hanya manut saja, karena Mas Lukman tentu
sudah paham jalur mana yang harus dipilih saat harus mendaki secara tektokan.
Sebelum naik, kami
sarapan nasi pecel di depan basecamp, setelah sarapan membeli snack, membeli
air kemudian menuju loket tiket pembayaran. Per orang tiketnya dua puluh ribu
rupiah, cukup murah. Setelah kami bertiga siap, pukul 08.15 WIB kami siap
berangkat, sebelum melangkahkan kaki, kami berdoa agar diberi keselamatan saat
mendaki dan pulang kembali dengan selamat. Bismillah kami akhirnya melangkah mendaki
puncak Gunung Lawu yang memiliki ketinggian 3265 MDPL.
Mas Afif di depan sebagai
penunjuk jalan, mas Lukman di belakang, sedang saya posisi di tengah, posisi
yang cukup aman. Dari Basecamp sampai pos 1 cukup aman, apalagi cuacanya juga
sangat mendukung, tidak panas dan juga tidak hujan, sepanjang perjalanan hanya
terdapat pepohonan dan semak belukar, kami pun terus melangkah, apalagi kami
tidak membawa beban apapun kecuali air minum. Di perjalanan kami bertemu dengan
pendaki lain yang juga sedang naik , namun rata-rata mereka akan ngecamp,
sehingga beban mereka cukup berat, mereka membawa tas di punggung berjalan perlahan dan bertelekan pada sebuah
tongkat.
Kami bertiga tidak
memakai tongkat, selain fisik kami yang masih muda, juga tentu faktor beban
yang kami bawa cukup ringan. Ada beberapa kelompok pendaki yang kami salip,
hingga akhirnya sampailah kami di pos 1,
di pos ini kami istirahat sebentar untuk minum dan juga mengatur nafas, karena
perjalanan masih cukup panjang dan melelahkan tentunya. Di pos ini ada penjual
snack, air, kopi, dan minuman lainnya, jadi jika kita dari bawah tidak membawa
bekal, kita bisa membeli di pos pendakian.
Setelah mengumpulkan
nafas, kami melanjutkan misi menuju pos 2, makin ke atas kaki terasa capek dan
pegal, jika kita lewat jalur Cemoro Kandang, di Pos 2 ini ada kawahnya, kalau
lewat jalur lainnya tidak ada. Ketika mendekati pos 2, suara gelegak kawah sudah
terdengan, bau belerang juga mulai menyengat. Jarak jalur yang dilewati pendaki
dengan kawah bisa ditempuh sekitar 10 menitan, karena kawah bukanlah tujuan
pendakian kami, maka kami hanya cukup mendengar suaranya saja, dan mencium bau
belerangnya yang saat itu cukup menyengat. Di pos ini juga ada warung yang
jualan makanan.
Seperti pada pos 1, kami
juga berhenti sejenak, menata nafas yang mulai ngos-ngosan, karena perjalanan
yang masih cukup jauh, kami tak mau terbuai dengan istirahat, jika kelamaan
nanti jadi nyaman dan akhirnya malas untuk melanjutkan perjalanan. Menurut Mas
Lukman Al Aswad, jarak pos 2 ke pos 3 termasuk yang paling jauh dari pos-pos
lainnya, jalannya pun mulai mendaki tajam, saya yang paling senior di segi usia
benar-benar diuji dengan medan pendakian ini, ada perasaan apakah saya mampu
mencapai puncak? Sedang badan mulai letih. Ini adalah tantangan bagi seorang
tektokers, jika berhenti terlalu lama nanti tidak segera sampai dan bisa
kemalaman di perjalanan, sedang kami tidak membawa peralatan camping.
Setelah menikmati
berbagai sensasi perpaduan antara badan yang capek, kaki yang kemeng, hati yang
juga galau untuk segera sampai di pos selanjutnya, akhirnya dengan penuh
kesabaran, keuletan, serta tekad dan nekat kami bertiga sampai juga di Pos 3.
Ada perasaan lega dan puas bisa sampai di pos 3, karena berarti perjalanan
tinggal dua pos lagi, dan tinggal naik puncaknya yang tertinggi, akhirnya bisa
istirahat sejenak. Di pos 3 kami ketemu anak-anak muda yang baru turun dari
puncak, mereka berhenti di warung melepas lelah, kami pun bertegur sapa,
anak-anak muda ini ada yang dari Jakarta, Brebes, dan juga dari Kalimantan.
Mereka telah ngecamp di puncak semalaman.
Setelah sampai di Pos 3
ini semangat saya bertambah, karena separuh perjalanan sudah terlampaui,
tinggal menuju pos 4, 5, lalu menuju puncak. Perjalanan dari pos 3 menuju pos 4
jalurnya mulai berbatu, tingkat kemiringannya juga lumayan, di jalur ini banyak
pohon yang memiliki pucuk daun yang berwarna merah, dan juga bunga edelwais
yang melegenda itu mulai banyak bertebaran di sepanjang perjalanan. Kata Mas
Afif pucuk daun merah itu bisa di makan, dan menjadi alternatif untuk mengisi
perut jika kita tersesat serta kehabisan bekal, begitu yang dilihat di Youtube.
Mas Lukman saya tanya katanya belum pernah memakannya, saya kemudian mencoba
memetik dan memakan daun merah itu, rasanya asem tapi lumayan enak, kayaknya
daun ini bisa menggantikan daun
kedondong untuk dipakai memasak asem-asem, tapi yang terpenting daun itu tidak
beracun, sehingga bisa dimakan saat kondisi darurat. Itulah pentingnya kita
mengenali alam dengan segala macam medan serta tumbuh-tumbuhannya, sehingga
kita bisa memanfaatkannya dengan baik.
Tak terasa perjalanan
kami sampai di Pos 4, di pos ini sepi, ada bekas warung tapi sudah tidak
dipakai lagi, pemiliknya sudah turun gunung. Dengan penuh semangat kami terus
melanjutkan ke pos terakhir yaitu pos 5, perjalanan semakin menyenangkan dan
menenangkan, tidak seperti saat menuju pos 3. Dalam perjalanan kami lebih
banyak diam, menunduk ke bawah meresapi dan mentadabburi alam ciptaan Tuhan.
Ya, perjalanan ke gunung menurut saya memang bukan sekedar menyalurkan hobi,
juga bukan sekedar melihat panorama dan keindahan alamnya saja, tapi perjalanan
ke puncak gunung pada hakekatnya adalah perjalanan mendaki dan mencari puncak
kesejatian dari diri kita sendiri. Orang lain tentu boleh berbeda tentang hal
ini.
Setelah sampai di Pos 5
kami istirahat lagi, untuk menuju puncak jalur pendakiannya lumayan, kami harus
menyiapkan tenaga yang cukup. Saya sempat rebahan di bebatuan untuk memulihkan
badan, udara terasa segar, walau di beberapa titik sisa-sisa kebakaran hutan
masih kelihatan. Setelah istirahat kami pun menuntaskan misi menuju Puncak Lawu
yang ada tugunya itu. Selangkah dua langkah kami mendaki, dari kejauhan sudah
terdengar suara kegembiraan para pendaki yang sudah sampai puncak duluan,
sekitar sepuluh menitan akhirnya kami sampai pada tujuan, Puncak Hargo Dumilah
3.265 MDPL, waktu menunjukkan pukul 13,00 WIB.
Setelah berfoto beberapa
cekrekan, kami turun. Perut sudah lapar, kami menuju warungnya Mbok Yem yang
melegenda. Sebelum sampai di warung Mbok Yem saya melihat sebuah bangunan rumah
dari kayu, rumah itu kelihatan cukup tua. Kata Mas Afif itu rumah dipakai
keraton ketika ada acara, tapi tidak jelas acara apa yang dilakukan di puncak
tersebut. Saya sendiri juga belum mencari informasi tentang itu di google.
Dari bangunan rumah tua
ini, kami turun dan sampai di warungnya Mbok Yem, kami pesan nasi pecel dan
juga teh. Sambil istirahat kami makan, kemudian juga sholat jamak qasar Dhuhur dan Asar sekalian di warungnya
Mbok Yem. Saat akan turun saya sempat menziarahi sebuah petilasan, konon itu
petilasannya Prabu Brawijaya, entah benar entah tidak saya sendiri juga kurang
tahu.
Perjalanan turun gunung
memang tidak secapek saat naik, tetapi tetap saja dibutuhkan tenaga ekstra,
karena kaki menahan beban tubuh saat turun. Alhamdulillah saat turun pun cuaca
sangat bersahabat, sehingga saya yang tidak memakai sepatu gunung tidak terlalu
kesulitan di medan-medan jika hujan licin. Tapi saat turun dari pos 2 cuaca
mulai gelap, kemudian gerimis mulai turun. Di sini saya mulai bermasalah dengan
sepatu saya yang licin, berkali-kali saya terpeleset karena jalanan licin, di
medan hujan yang seperti ini sangat menyulitkan saya. Makin ke bawah hujan
semakin deras, akhirnya kami memakai jas hujan.
Saya merasa jika hujan
sejak awal pendakian, mungkin saja saya khususnya akan sangat kesulitan menuju
puncak. Untungnya di garis akhir hujan baru turun. Dengan penuh perjuangan
akhirnya sekitar pukul 17.30 kami sampai di basecam. Alhamdulillah.
Begitulah perjalanan yang
kami tempuh saat mendaki puncak gunung Lawu, setelah mengambil KTP yang
ditinggal di petugas kami langsung tancap gas pulang. Sepanjang perjalanan dari
Cemoro Kandang sampai Padangan Bojonegoro dilanda hujan deras, baru setelah itu
tidak hujan. Perjalanan yang cukup luar biasa, semoga ke depan ada
puncak-puncak gunung lain yang bisa saya daki dan saya ziarahi. Salam sungkem,
dan Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar