Nasehat dari Kiai Misbah Zainil Mustofa
Oleh: Joyo Juwoto
Pak Moehaimin memiliki kedekatan tersendiri dengan KH.
Misbah Zainil Mustofa, karena beliau pernah menjadi juru terjemah
kitab-kitabnya Mbah Bah. Dari seringnya interaksi dalam proses penerjemahan ini
Pak Moehaimin banyak belajar ilmu pengetahuan dari mbah Bah, secara tidak
langsung Pak Moehaimin nyantri kepada pengasuh pondok pesantren Al Balagh ini.
Ada sebuah cerita yang dituturkan oleh beberapa santri
kurun awal, karena begitu dekatnya Pak Moehaimin dengan mbah Misbah,
sampai-sampai mbah Bah jika makan biasanya tidak dihabiskan, hanya
dimakan
separonya saja, sebagiannya biasanya diberikan kepada Pak Moehaimin.
Setelah peristiwa bangkrutnya Pak Moehaimin dari usaha
jual beli kayu jati, pak Moehaimin pindah dari Santren ke desa Weden, beliau
kembali berkumpul dengan mertuanya, H.
Abdul Madjid. Namun hal ini tidak berlangsung lama, setelah itu pak Moehamin
pindah lagi ke dusun Talok Desa Sidokumpul.
Karena keluarga mertua Pak Moehaimin mayoritas sebagai
petani, sedang Pak Moehaimin tidak begitu mengenal seluk-beluk pertanian, maka
untuk menopang ekonomi keluarga Pak Moehaimin menjadi penerjemah kitab mbah
Misbah. Selain menjadi penerjemah, Pak Moehaimin juga membuka kursus mengetik,
saat itu yang diamani untuk memegang kursus ngetik adalah Ust. Heri. Namun
sayang uang dari hasil kursus ngetik ini tidak sampai kepada Pak Moehaimin,
uangnya dilarikan oleh ust. Heri.
Walhasil Pak Moehaimin hanya mengandalkan
penghasilannya dari menerjemahkan kitab. Saat itu ekonomi pak Moehaimin sedang
krisis-krisisnya, pagi jam 7 beliau berangkat ke ndalemnya Mbah Bah untuk
menerjemahkan kitab, kemudian sekitar jam sebelas siang beliau pulang dan
mengajar di madrasah. Saat itu madrasah ASSALAM sudah bertempat di Bangilan,
baru ada satu gedung yang berdiri, yang dibangun oleh santri-santri sendiri,
ASSALAM masih sangat prihatin sekali, muridnya hanya beberapa orang saja.
Di saat kondisi yang begitu sulitnya, Pak Moehaimin
dinasehati oleh Mbah Misbah, “Min, goda kuwi suwene limang tahun, sing kuat
ngempet. Mengko nek wis limang tahun, empet meneh nganti limang tahun, mengko
goda kuwi lak koyok kacang goreng” Begitu dawuh mbah Misbah kepada Pak
Moehaimin.
Mendengar nasehat dari Mbah Bah, Pak Moehaimin
memantapkan niat dan tekadnya untuk terus berjuang di jalur pendidikan dengan
ASSALAM sebagai ladang perjuangannya. Apalagi beliau juga selalu ingat akan
gemblengan dari gurunya KH. Imam Zarkasyi, “Andaikata muridku tinggal satu, akan tetap kuajar,
yang satu ini sama dengan seribu, kalaupun yang satu ini pun tidak ada, aku
akan mengajar dunia dengan pena”. (KH Imam Zarkasyi) Begitu kira-kira dawuh dan gemblengan
dari gurunya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar