Oleh: Joyo Juwoto
Setiap pertemuan pasti menyisakan kenangan, berapapun intensitas pertemuan itu, akan selalu ada hal yang menetap atau sekedar singgah di hati. Karena hidup adalah sekumpulan dari kenangan-kenangan itu sendiri.
Setelah dari puncak Gunung Lawu, saya mengumpulkan kenangan-kenangan itu, merangkainya menjadi tulisan sederhana sebagai obat penawar rindu.
Mungkin ada orang yang menanyakan aktivitas naik gunung itu untuk apa? Manfaatnya juga buat apa? Seperti orang kurang kerjaan saja, sia-sia membuang waktu, tenaga dan tentu juga biaya.
Saya rasa itu adalah pertanyaan yang wajar, siapapun boleh menanyakan apapun. Jika saya ditanya saya pun sebenarnya masih bingung harus menjawab apa atas pertanyaan-pertanyaan itu. Sekalipun dijawab orang-orang yang bertanya pun belum tentu puas dengan jawaban kita.
Saya sendiri setelah menempuh perjalanan ke puncak Lawu, belum juga menemukan apa sebenarnya yang dicari dari sebuah pendakian? Jika jawabannya sekedar membuang waktu untuk bercapek-capek yang sedemikian rupa rasa-rasanya kok tidak lucu, apa tidak ada yang lebih bermutu dibanding sekedar membuang waktu?
Saya tidak seidealis Soe Hok Gie yang menjadikan naik gunung sebagai media untuk meningkatkan rasa cinta tanah air, walau saya juga mengamini apa yang ia utarakan, "Bahwa mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Karena itulah kami naik gunung". Kata beliau.
Saya hanya menyukai penjelajahan alam, menyukai keindahan panorama, menyukai pohon-pohon, rumput, ilalang, menyukai batu-batu, sungai-sungai, lumpur dan segala ornamen semesta. Betapa indahnya menjelahi lembah, ngarai, kemudian mandi di sungai yang airnya mengalir, menerjang sabana rumput, sangat menyenangkan sekali. Saya selalu memimpikan dan merindukan itu semua.
Dari pendakian menuju puncak Lawu ternyata saya banyak belajar, baik dari alam, dari teman mendaki, dari sesama pendaki, dan terkhusus dari diri saya sendiri. Selama perjalanan sekitar lima jam mendaki, saya banyak berinteraksi dengan diri, saya banyak bercakap dalam diam. Saya mengamati, menyadari dan merasakan naik turunnya nafas, degup jantung, langkah kaki, dan ketahanan tubuh. Kapan saya harus berhenti, kapan saya harus melangkah mendaki. Moment inilah saya berusaha mengenali diri saya sendiri.
Oleh karena itu dalam sebuah quote saya menulis, "Ke gunung aku mencari diriku sendiri, dan kepadamu aku akan pulang kembali" Kalimat ini bisa bermakna sangat sederhana, dan bisa juga cukup filosofis dan mendalam. Terserah saja bagaimana menerjemahkannya, atau tak perlu diterjemahkan pun tak mengapa.
Dalam mendaki gunung saya berusaha memetik hikmah dan pelajaran yang bisa memberi manfaat setidaknya untuk diri saya sendiri.
Untuk mendaki puncak gunung, setinggi apapun itu hanya dibutuhkan selangkah dua langkah yang diulang-ulang. Begitu seterusnya hingga sampai di puncak pendakian. Tentu kesabaran, ketegaran, keuletan harus disertakan dalam pendakian. Ini yang terpenting, jika tidak pasti kita tidak akan pernah mencapai puncak.
Begitu juga dalam menjalani hidup ini, semua serba aktivitas yang kita ulang-ulang setiap saat, setiap waktu, dan setiap hari, hingga entah sampai kapan kita akhiri perjalanan di dunia ini. Semoga perjalanan yang kita tempuh membawa kita pada pendakian spiritual yang menghantar kita menuju puncak Ketuhanan. Karena pada hakekatnya disitulah Sangkan dan Paraning dumadi kita, yang dalam bahasa agama diungkapkan dengan kalimat, "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un".
Jadi merindu puncak Lawu pada hakekatnya adalah merindu pada-Mu jua. Ke gunung aku mencari diriku sendiri, dan kepadamu aku akan pulang kembali.
Jatirogo, 05/01/2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar