Santri ASSALAM Kurun Awal Berjuang Membangun Gedung Madrasah
Oleh: Joyo Juwoto
Masa-masa awal setelah peristiwa pecahnya ASSALAM di Sidokumpul, Pak Moehaimin tidak
lagi menempati gedung madrasah yang telah diperjuangkannya, beliau keluar dari
ASSALAM lama yang kemudian namanya diubah menjadi dengan nama lain. Dengan keluarnya
Pak Moehaimin dari madrasah yang dibangunnya, waktu itu banyak santri yang
mengikuti beliau keluar, santri-santri itu tetap ingin diajar oleh beliau.
“Kulon nderek ngaji Pak Moehaimin mawon” begitu kata santri-santri yang
bersikukuh untuk keluar dari madrasah awal.
Diantara santri Pak Moehaimin yang waktu itu ikut Pak Moehaimin
namanya Rofiq, karena ia tetap ingin mengaji dengan Pak Moehaimin, sampai Rofiq
ini harus rela meninggalkan rumah, kemudian ikut simbahnya yang berada di desa
Medalem Senori, demi ia tetap nyantri kepada Pak Moehaimin.
Ada pula kisah yang cukup dramatis, waktu itu ada santri yang
namanya Anwari, saat itu ia belum tahu jika pak Moehaimin sudah tidak mengajar
di madrasah, Anwari ini berada di kelas untuk mengikuti pembelajaran, namun
karena kemudian ia tahu pak Moehaimin sudah tidak berada di madrasah itu,
dengan serta merta Anwari ini melompat jendela kemudian menyusul Pak Moehaimin
yang memang ndalemnya berada di sebelah timurnya sungai, yang berjarak hanya beberapa
meter dari madrasah lama. Anwari akhirnya melanjutkan belajarnya di ndalem Pak
Moehaimin.
Karena tidak mempunyai gedung, Pak Moehaimin mengajar santri di
ndalem beliau, di depan rumah ada mushola keluarga, di situ dipakai ruang
kelas, di sebelah barat mushola ada toko kecil yang akan digunakan usaha
perdagangan, karena tidak memiliki gedung untuk santri, maka toko itu dipakai
gothakan santri putra. Santri putri menempati ruang di belakang dekat dapur
rumah. Selain memanfaatkan mushola sebagai ruang kelas, santri-santri juga
bersekolah di rumah warga, yaitu salah satunya di rumah pak Ruslan, tetangga
depan rumah Pak Moehaimin.
Kondisi darurat yang menyebabkan pembelajaran ditempatkan di tempat
seadanya, dan juga menempati rumah warga tentu tidak baik jika harus
berlama-lama, akhirnya pada tahun 1983 Pak Moehaimin membeli tanah di Bangilan,
tepatnya di sebelah selatan pasar Bangilan, tanah itu milik keluarga Pak
Muzadi, setelah tanah terbeli dengan cara dicicil, maka Pak Moehaimin mulai
merencanakan pembangunan gedung madrasah.
Karena kekurangan biaya, maka kayu untuk bangunan gedung tersebut
memakai kayu glugu (pohon kelapa) yang kebetulan di area tanah tersebut banyak
ditumbuhi pohon kelapa. Pembangunan gedung ini banyak dibantu oleh Danramil
Bangilan saat itu, namanya Pak Kholis, juga dibantu oleh bapak Dansek Bangilan.
Ceritanya Bapak Dansek yaitu Bapak TAsman ini mengajari pak Moehaimin caranya
mencari dana, yaitu dengan cara mengedarkan kalender, bahkan Pak Dansek sendiri
juga ikut serta membantu dengan cara menyuruh para bawahannya untuk membeli
kalender.
Santri-santri tidak tinggal diam, mereka menebang pohon kelapa yang
kayunya dipakai untuk pembangunan, mereka juga menggergajinya sendiri. Selain
itu untuk batu bata untuk bangunan juga dibuat oleh para santri sendiri. Mulai
dari menyiapkan bahan tanah liatnya, membuat adonan, mencetak dan kemudian
membakarnya, itu dilakukan oleh para santri. Adapun santri yang terlibat dalam
perjuangan membangun madrasah ini diantaranya adalah Purhadi Nata Bata (julukan
yang diberikan oleh Pak Moehaimin), Daerobi, Syafi’i, Ucuk Suparman, dan
beberapa santri lainnya.
Santri-santri tersebut selain menyiapkan bahan-bahan dan material
bangunan mereka juga terjun langsung menjadi tukang dan menjadi kulinya. Ucuk
Suparman santri dari Pulut Bangilan ini
punya keahlian nukang, beliau yang menjadi tukang bangunan dan dibantu
oleh santri-santri lainnya.
Begitulah dulu perjuangan para santri dalam membangun gedung
pondok, membangun madrasah, mereka dengan penuh keikhlasan berjuang dengan
segala pengorbanan yang tak terkira kepada pondoknya.
Nilai-nilai perjuangan dan nilai-nilai keikhlasan yang sedemikian
ini perlu dijaga, dirawat, dan dituturkan dari generasi ke generasi
selanjutnya, agar api perjuangan para santri kurun awal tetap membara di jiwa
para santri lainnya. Para santri harus selalu ingat semboyang perjuangan yang
selalu digemblengkan Pak Moehaimin:“Bondo bahu pikir lek perlu sak nyawane
sisan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar