Senin, 30 Oktober 2023

Santri ASSALAM Kurun Awal Berjuang Membangun Gedung Madrasah

 


Santri ASSALAM Kurun Awal Berjuang Membangun Gedung Madrasah

Oleh: Joyo Juwoto

 

Masa-masa awal setelah peristiwa pecahnya  ASSALAM di Sidokumpul, Pak Moehaimin tidak lagi menempati gedung madrasah yang telah diperjuangkannya, beliau keluar dari ASSALAM lama yang kemudian namanya diubah menjadi dengan nama lain. Dengan keluarnya Pak Moehaimin dari madrasah yang dibangunnya, waktu itu banyak santri yang mengikuti beliau keluar, santri-santri itu tetap ingin diajar oleh beliau. “Kulon nderek ngaji Pak Moehaimin mawon” begitu kata santri-santri yang bersikukuh untuk keluar dari madrasah awal.

Diantara santri Pak Moehaimin yang waktu itu ikut Pak Moehaimin namanya Rofiq, karena ia tetap ingin mengaji dengan Pak Moehaimin, sampai Rofiq ini harus rela meninggalkan rumah, kemudian ikut simbahnya yang berada di desa Medalem Senori, demi ia tetap nyantri kepada Pak Moehaimin.

Ada pula kisah yang cukup dramatis, waktu itu ada santri yang namanya Anwari, saat itu ia belum tahu jika pak Moehaimin sudah tidak mengajar di madrasah, Anwari ini berada di kelas untuk mengikuti pembelajaran, namun karena kemudian ia tahu pak Moehaimin sudah tidak berada di madrasah itu, dengan serta merta Anwari ini melompat jendela kemudian menyusul Pak Moehaimin yang memang ndalemnya berada di sebelah timurnya sungai, yang berjarak hanya beberapa meter dari madrasah lama. Anwari akhirnya melanjutkan belajarnya di ndalem Pak Moehaimin.

Karena tidak mempunyai gedung, Pak Moehaimin mengajar santri di ndalem beliau, di depan rumah ada mushola keluarga, di situ dipakai ruang kelas, di sebelah barat mushola ada toko kecil yang akan digunakan usaha perdagangan, karena tidak memiliki gedung untuk santri, maka toko itu dipakai gothakan santri putra. Santri putri menempati ruang di belakang dekat dapur rumah. Selain memanfaatkan mushola sebagai ruang kelas, santri-santri juga bersekolah di rumah warga, yaitu salah satunya di rumah pak Ruslan, tetangga depan rumah Pak Moehaimin.

Kondisi darurat yang menyebabkan pembelajaran ditempatkan di tempat seadanya, dan juga menempati rumah warga tentu tidak baik jika harus berlama-lama, akhirnya pada tahun 1983 Pak Moehaimin membeli tanah di Bangilan, tepatnya di sebelah selatan pasar Bangilan, tanah itu milik keluarga Pak Muzadi, setelah tanah terbeli dengan cara dicicil, maka Pak Moehaimin mulai merencanakan pembangunan gedung madrasah.

Karena kekurangan biaya, maka kayu untuk bangunan gedung tersebut memakai kayu glugu (pohon kelapa) yang kebetulan di area tanah tersebut banyak ditumbuhi pohon kelapa. Pembangunan gedung ini banyak dibantu oleh Danramil Bangilan saat itu, namanya Pak Kholis, juga dibantu oleh bapak Dansek Bangilan. Ceritanya Bapak Dansek yaitu Bapak TAsman ini mengajari pak Moehaimin caranya mencari dana, yaitu dengan cara mengedarkan kalender, bahkan Pak Dansek sendiri juga ikut serta membantu dengan cara menyuruh para bawahannya untuk membeli kalender.

Santri-santri tidak tinggal diam, mereka menebang pohon kelapa yang kayunya dipakai untuk pembangunan, mereka juga menggergajinya sendiri. Selain itu untuk batu bata untuk bangunan juga dibuat oleh para santri sendiri. Mulai dari menyiapkan bahan tanah liatnya, membuat adonan, mencetak dan kemudian membakarnya, itu dilakukan oleh para santri. Adapun santri yang terlibat dalam perjuangan membangun madrasah ini diantaranya adalah Purhadi Nata Bata (julukan yang diberikan oleh Pak Moehaimin), Daerobi, Syafi’i, Ucuk Suparman, dan beberapa santri lainnya.

Santri-santri tersebut selain menyiapkan bahan-bahan dan material bangunan mereka juga terjun langsung menjadi tukang dan menjadi kulinya. Ucuk Suparman santri dari Pulut Bangilan ini  punya keahlian nukang, beliau yang menjadi tukang bangunan dan dibantu oleh santri-santri lainnya.

Begitulah dulu perjuangan para santri dalam membangun gedung pondok, membangun madrasah, mereka dengan penuh keikhlasan berjuang dengan segala pengorbanan yang tak terkira kepada pondoknya.

Nilai-nilai perjuangan dan nilai-nilai keikhlasan yang sedemikian ini perlu dijaga, dirawat, dan dituturkan dari generasi ke generasi selanjutnya, agar api perjuangan para santri kurun awal tetap membara di jiwa para santri lainnya. Para santri harus selalu ingat semboyang perjuangan yang selalu digemblengkan Pak Moehaimin:“Bondo bahu pikir lek perlu sak nyawane sisan”.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar