Minggu, 29 Oktober 2023

Mimpi Pada Sebuah Kapal

 



 


Mimpi Pada Sebuah Kapal

Oleh: Joyo Juwoto

 

Ada sebuah kisah menarik yang diceritakan oleh Abah KH. Moehaimin Tamam sendiri, kisah ini saya dengar saat menjadi santri dan tentu banyak santri lain yang ikut mendengarkan dan mengetahuinya, kisah ini sering dan berulang kali beliau ceritakan saat beliau mengajar santri, kisah ketaatan seorang santri kepada gurunya, walau harus dibayar dengan perpisahan yang sangat menyedihkan, begini kisahnya:

Ada seorang santri yang bernama Sholihin, santri ini berasal dari Pulau Bawean Kab. Gresik, Sholihin adalah santri yang sangat taat dan mencintai gurunya, yaitu KH. Abd. Moehaimin Tamam. Kang Sholihin ini seperiode dengan Usth Sunayah, juga Usth Zairoh, beliau termasuk santri kurun awal berdirinya pondok pesantren ASSALAM yang saat itu masih berada di desa Sidokumpul Kec. Bangilan.

Pada suatu ketika Sholihin ini sowan kepada Pak Moehaimin, karena beberapa hari Sholihin ini tidak tenang hatinya, ia selalu mimpi yang sama dalam beberapa waktu. Pada awalnya Sholihin menganggap itu adalah mimpi biasa mimpi yang sebagai bunga tidur belaka, tapi pada suatu hari mimpi itu muncul lagi mendatangi tidurnya, sehingga saat terbangun Sholihin merenungi apa yang menjadi mimpinya itu.

Sebagai santri yang berasal dari pulau Bawean sangat wajar sebenarnya ia mimpi naik sebuah perahu, karena memang kampungnya harus menyeberang lautan jika harus ke kota Gresik, begitu juga ketika ia berangkat mondok ke Bangilan ia juga harus menyeberang naik perahu, oleh karena itu pada mulanya Sholihin tidak memperhatikan mimpi itu, mimpi naik pada sebuah kapal. Tapi anehnya mimpi itu terus mendatanginya, sehingga Sholihin merasa gelisah, ada apa dengan mimpinya itu.

Dalam mimpinya Sholihin seolah-olah akan menaiki sebuah kapal besar, dia tidak sendiri, banyak orang yang juga berbondong-bondong menaiki kapal tersebut. Namun anehnya, ketika Sholihin mau naik ke atas kapal, ia ditolak dan tidak diperbolehkan masuk. Ada seorang yang menghalanginya, orang itu berkata kepadanya:

 “Nak, kamu jangan naik kapal ini! Jika kamu memaksa naik, maka kapal ini akan tenggelam, dan kamu juga akan tenggelam bersama kapal dan semua penumpangnya” ujar orang tersebut memperingatkan Sholihin yang akan ikut naik kapal tersebut.

“Jika Kamu tidak naik, maka kapal ini akan selamat, kamu selamat, dan para penumpangnya juga akan selamat” Lanjut sosok misterius yang datang di mimpi Sholihin.

Setelah bermimpi demikian, Sholihin terbangun dari tidurnya, setelah bangun Sholihin mengambil air wudhu kemudian sholat malam dan berdo’a meminta petunjuk atas mimpi yang selalu mendatanginya itu.

Karena tidak mendapatkan jawaban atas mimpinya itu, Sholihin kemudian sowan kepada Pak Moehaimin, Sholihin matur atas mimpi yang selalu mendatangi tidurnya beberapa hari yang lalu. Setelah mendengar cerita dari Sholihin, Pak Moehaimin menghela nafas dalam, seakan ada beban berat yang beliau tanggung, beliau terdiam beberapa saat.

Setelah beliau menghela nafas, Pak Moehaimin berkata kepada Sholihin santri dari Bawean itu. “Nak, Kalau saumpama saya menerangkan takwil mimpimu itu apakah  engkau siap menerimanya? Kata Pak Moehaimin pelan. Sholihin pun menjawab, “Insyallah siap Pak” Jawab Sholihin lirih.

Kemudian pak Moehaimin pun mentakwilkan arti mimpi dari santrinya itu. “Begini Anakku, kapal itu ibaratnya adalah Pondok ASSALAM ini, sebagaimana dalam mimpimu, jika Nanda Sholihin naik kapal ASSALAM, maka kapal ASSALAM akan tenggelam, dan Nanda Sholihin juga akan tenggelam, namun jika Nanda Sholihin tidak jadi naik kapal ASSALAM, tidak melanjutkan mondok di ASSALAM, insyallah kapal ASSALAM akan selamat, begitu juga Nanda Sholihin juga akan selamat, dan seluruh penumpang kapal ASSALAM akan selamat”.

Mendengar takwil dari mimpi itu, Sholihin menangis ngguguk-ngguguk penuh dengan kesedihan, ia sangat mencintai ASSALAM, ia juga sangat mencintai Pak Moehaimin sebagai gurunya, sebagai kiainya. Tapi bagaimana lagi, ia harus berpisah dengan gurunya, ia harus meninggalkan kapal ASSALAM demi keselamatan dirinya, juga keselamatan kapal ASSALAM beserta seluruh penumpangnya.

Akhirnya Sholihin ini pamit untuk pulang kembali ke kampung kelahirannya di Bawean, ia harus berpisah dengan pesantren yang sangat dicintainya, ia harus berpisah dengan gurunya. Menurut cerita dari pak Moehaimin, Sholihin ini akhirnya mondok di Surabaya, kemudian setelah pulang dari pondok beliau kembali ke kampungnya dan menjadi Kiai di Bawean sana.

Perpisahan antara Sholihin dengan pak Moehaimin ini, oleh Pak Moehaimin diibaratkan seperti “Rajulaani tahabbba fillah, wa tafarraqa fillah” dua orang yang saling mencintai karena Allah, dan dua orang yang akhirnya harus dipisahkan oleh taqdir juga karena Allah. Sebuah suri teladan yang luar biasa antara seorang santri dan gurunya, semoga Allah memuliakan beliau berdua. Aamin ya rabbal ‘aalamin.

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar