Mimpi Pada Sebuah Kapal
Oleh: Joyo Juwoto
Ada sebuah kisah menarik yang diceritakan oleh Abah KH. Moehaimin
Tamam sendiri, kisah ini saya dengar saat menjadi santri dan tentu banyak
santri lain yang ikut mendengarkan dan mengetahuinya, kisah ini sering dan
berulang kali beliau ceritakan saat beliau mengajar santri, kisah ketaatan
seorang santri kepada gurunya, walau harus dibayar dengan perpisahan yang
sangat menyedihkan, begini kisahnya:
Ada seorang santri yang bernama Sholihin, santri ini berasal dari Pulau
Bawean Kab. Gresik, Sholihin adalah santri yang sangat taat dan mencintai
gurunya, yaitu KH. Abd. Moehaimin Tamam. Kang Sholihin ini seperiode dengan
Usth Sunayah, juga Usth Zairoh, beliau termasuk santri kurun awal berdirinya pondok
pesantren ASSALAM yang saat itu masih berada di desa Sidokumpul Kec. Bangilan.
Pada suatu ketika Sholihin ini sowan kepada Pak Moehaimin, karena
beberapa hari Sholihin ini tidak tenang hatinya, ia selalu mimpi yang sama
dalam beberapa waktu. Pada awalnya Sholihin menganggap itu adalah mimpi biasa
mimpi yang sebagai bunga tidur belaka, tapi pada suatu hari mimpi itu muncul
lagi mendatangi tidurnya, sehingga saat terbangun Sholihin merenungi apa yang
menjadi mimpinya itu.
Sebagai santri yang berasal dari pulau Bawean sangat wajar
sebenarnya ia mimpi naik sebuah perahu, karena memang kampungnya harus
menyeberang lautan jika harus ke kota Gresik, begitu juga ketika ia berangkat
mondok ke Bangilan ia juga harus menyeberang naik perahu, oleh karena itu pada
mulanya Sholihin tidak memperhatikan mimpi itu, mimpi naik pada sebuah kapal.
Tapi anehnya mimpi itu terus mendatanginya, sehingga Sholihin merasa gelisah,
ada apa dengan mimpinya itu.
Dalam mimpinya Sholihin seolah-olah akan menaiki sebuah kapal
besar, dia tidak sendiri, banyak orang yang juga berbondong-bondong menaiki
kapal tersebut. Namun anehnya, ketika Sholihin mau naik ke atas kapal, ia
ditolak dan tidak diperbolehkan masuk. Ada seorang yang menghalanginya, orang
itu berkata kepadanya:
“Nak, kamu jangan naik kapal
ini! Jika kamu memaksa naik, maka kapal ini akan tenggelam, dan kamu juga akan
tenggelam bersama kapal dan semua penumpangnya” ujar orang tersebut
memperingatkan Sholihin yang akan ikut naik kapal tersebut.
“Jika Kamu tidak naik, maka kapal ini akan selamat, kamu selamat,
dan para penumpangnya juga akan selamat” Lanjut sosok misterius yang datang di
mimpi Sholihin.
Setelah bermimpi demikian, Sholihin terbangun dari tidurnya,
setelah bangun Sholihin mengambil air wudhu kemudian sholat malam dan berdo’a
meminta petunjuk atas mimpi yang selalu mendatanginya itu.
Karena tidak mendapatkan jawaban atas mimpinya itu, Sholihin
kemudian sowan kepada Pak Moehaimin, Sholihin matur atas mimpi yang selalu
mendatangi tidurnya beberapa hari yang lalu. Setelah mendengar cerita dari
Sholihin, Pak Moehaimin menghela nafas dalam, seakan ada beban berat yang
beliau tanggung, beliau terdiam beberapa saat.
Setelah beliau menghela nafas, Pak Moehaimin berkata kepada
Sholihin santri dari Bawean itu. “Nak, Kalau saumpama saya menerangkan takwil
mimpimu itu apakah engkau siap
menerimanya? Kata Pak Moehaimin pelan. Sholihin pun menjawab, “Insyallah siap
Pak” Jawab Sholihin lirih.
Kemudian pak Moehaimin pun mentakwilkan arti mimpi dari santrinya
itu. “Begini Anakku, kapal itu ibaratnya adalah Pondok ASSALAM ini, sebagaimana
dalam mimpimu, jika Nanda Sholihin naik kapal ASSALAM, maka kapal ASSALAM akan
tenggelam, dan Nanda Sholihin juga akan tenggelam, namun jika Nanda Sholihin
tidak jadi naik kapal ASSALAM, tidak melanjutkan mondok di ASSALAM, insyallah
kapal ASSALAM akan selamat, begitu juga Nanda Sholihin juga akan selamat, dan
seluruh penumpang kapal ASSALAM akan selamat”.
Mendengar takwil dari mimpi itu, Sholihin menangis ngguguk-ngguguk
penuh dengan kesedihan, ia sangat mencintai ASSALAM, ia juga sangat mencintai
Pak Moehaimin sebagai gurunya, sebagai kiainya. Tapi bagaimana lagi, ia harus
berpisah dengan gurunya, ia harus meninggalkan kapal ASSALAM demi keselamatan
dirinya, juga keselamatan kapal ASSALAM beserta seluruh penumpangnya.
Akhirnya Sholihin ini pamit untuk pulang kembali ke kampung
kelahirannya di Bawean, ia harus berpisah dengan pesantren yang sangat
dicintainya, ia harus berpisah dengan gurunya. Menurut cerita dari pak
Moehaimin, Sholihin ini akhirnya mondok di Surabaya, kemudian setelah pulang
dari pondok beliau kembali ke kampungnya dan menjadi Kiai di Bawean sana.
Perpisahan antara Sholihin dengan pak Moehaimin ini, oleh Pak
Moehaimin diibaratkan seperti “Rajulaani tahabbba fillah, wa tafarraqa
fillah” dua orang yang saling mencintai karena Allah, dan dua orang yang
akhirnya harus dipisahkan oleh taqdir juga karena Allah. Sebuah suri teladan
yang luar biasa antara seorang santri dan gurunya, semoga Allah memuliakan
beliau berdua. Aamin ya rabbal ‘aalamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar