Oleh: Joyo Juwoto
Usai sowan dari Gus Mus di Leteh Rembang, saya Mas Rosyid dan Mas Nahrus ada keinginan untuk ziarah ke pusara tokoh emansipasi kaum perempuan, RA. Kartini yang masyhur dengan karya tulisnya yang berjudul "Habis gelap terbitlah terang".
Awalnya kami mengira makam beliau ada di pusat kota Rembang atau dekat dengan pantai Kartini, namun kami salah, makam RA. Kartini ternyata ada di desa Bulu Kec. Bulu Kab. Rembang, sekitar 17 KM ke arah selatan dari kota Rembang di jalur jalan raya Rembang-Blora.
Sepanjang perjalanan menuju arah Blora, saya membayangkan apa yang di tulis oleh Pram, dalam gadis Gadis Pantai. Sebuah roman yang menggambarkan bagaimana nasib seorang gadis yang dipaksa menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya, dan hanya diwakili oleh sebilah keris yang nantinya menghantarkan Sang Gadis ke dalam tembok belenggu adat yang merantai kemerdekaannya. Dan hal seperti ini sangatlah lumrah terjadi pada kala itu, semua memakluminya.
Seakan sudah menjadi suratan nasib dan garis takdir yang menganggap kaum perempuan sebagai konco wingkingnya kaum laki-laki. Budaya feodal dan patriarki inilah yang dijadikan lawan bagi kemerdekaan dan kesetaraan kaum perempuan yang diperjuangkan oleh RA. Kartini.
Dalam teori startifikasi sosial, masyarakat kala itu terbagi menjadi kaum priyayi dan masyarakat jelata. Kaum priyayi dianggap memiliki derajat yang lebih luhur dibandingkan dengan rakyat, sehingga mereka seakan dianggap sah menguasai hal ihwal rakyat.
Di sampul belakang buku roman Gadis Pantai ada sebuah kalimat yang sangat menusuk hati.
"Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini...Ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan".
Lihatlah bagaimana seorang priyayi Jawa saat itu bisa dengan seenaknya mengambil seorang gadis untuk dijadikan gundiknya, menjadi Mas Nganten yang hanya sekedar untuk melayani "kebutuhan" seks priyayi tersebut. Benar-benar mengerikan.
Kita patut bersyukur, kaum perempuan Nusantara patut berterima kasih dan nyekar ke pusara RA. Kartini, kunjungi makamnya, usap nisannya, bawakan bunga, bacakan doa, dan kirimkan hadiah Fatihah buat beliau.
Kartini adalah salah satu tokoh yang punya kepedulian terhadap nasib bangsanya, nasib kaumnya yang ditindas atas nama konsep otak-atik kata yang menempatkan wanita berasal dari kata wani ditata. Tapi, wanita jangan hanya wani ditata saja, wanita hari ini juga harus siap wani nata, demi sebuah kata perjuangan emansipasi kaum perempuan.
Bangilan, 17 Februari 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar