Oleh: Joyo Juwoto
Mikul dhuwur mendhem Jero adalah wisdom lokal masyarakat Jawa yang cukup populer. Nilai-nilai kearifan lokal yang berakar pada ajaran adiluhung nenek moyang masyarakat Jawa ini sangat relevan untuk diuri-uri menjadi sebuah nilai nasional bahkan global yang seyogyanya disosialisasikan di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Mikul dhuwur mendhem jero secara harfiah memiliki arti mengusung tinggi-tinggi, mengubur dalam-dalam. Ungkapan ini adalah sebuah ungkapan penghormatan dan rasa bakti kepada orang tua, serta menutupi segala sesuatu yang tidak baik untuk dikenang dan tidak mengungkit-ungkitnya segala hal buruk yang telah terjadi.
Konteks dari ungkapan Mikul dhuwur mendhem jero memang berkaitan dengan hubungan kebaktian seorang anak kepada orang tuanya, tapi pada konteks ini saya meminjamnya dalam persinggungan organisasi Nahdlatul ulama (NU) dengan konteks kebangsaan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Banyak peristiwa besar di negeri ini yang memerlukan kebesaran hati untuk saling menerima dengan lapang dada. Dengan keanekaragaman bangsa Indonesia yang kompleks, sikap kebesaran jiwa sangatlah diperlukan.
Saya ambil contoh tentang piagam Jakarta, peristiwa ini telah terjadi dan bangsa Indonesia dengan lapang dada sudah bisa saling menerima, tak perlu kita ungki-ungkit kembali peristiwa ini, sikap mendhem jero yang sedemikian diperlukan. Walau demikian, melupakan sejarah memang jangan, tetapi bersikap bijak dan berpandangan visioner ke depan demi bangsa dan negara adalah sikap Mikul dhuwur.
NU sebagai salah satu elemen kebangsaan di Indonesia yang secara usia lebih matang dari bangsa Indonesia, memiliki banyak pengalaman dalam meredam bahkan menjadi bamper kebangsaan Indonesia yang sedang diuji kedewasaannya.
Selain peristiwa piagam Jakarta, ada lagi peristiwa azas tunggal Pancasila yang menyita konsentrasi umat Islam Indonesia. Peristiwa ini memicu konflik negara dengan umat Islam, jika hal ini dibiarkan tentu stabilitas negara terganggu yang akhirnya bisa memicu konflik sektarian bahkan konflik yang lebih besar lagi.
Adalah KH. Achmad Shiddiq tokoh kharismatik NU yang berhasil mengawinkan hubungan Islam dan Pancasila, yang pada awalnya dianggap bersebrangan. Dalam Muktamar NU yang ke-27 di Asembagus Situbondo. Setelah terpilih sebagai Rais Aam PBNU beliau menyampaikan pidato:
"Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nation (bangsa), teristimewa kaum muslimin, untuk mendirikan negara (kesatuan) di wilayah Nusantara. Para Ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial.” (KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015)
(Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/91344/kh-achmad-siddiq-dan-pancasila)
Inilah menurut saya satu sikap Mikul dhuwur dan mendhem jeronya NU terhadap segala permasalahan bangsa, NU tidak pernah merasa sakit hati walau pengorbanannya mungkin tidak ada yang menghargai. NU tetap konsen berjuang demi keutuhan negara kesatuan republik Indonesia, walau NU pada setiap rezim berusaha dipinggirkan, dikuyo-kuyo dan dilupakan perannya.
Organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang terlahir dari rahim pondok pesantren yang notabenenya berakar pada masyarakat tradisional sangat lekat dengan tradisi Mikul dhuwur mendhem Jero ini. Tradisi ini mungkin saja ada yang mencurigai sebagai sikap oportunis, ada juga yang mengatakan sebagai bagian dari melanggengkan budaya feodalisme di tengah-tengah masyarakat.
Bagi yang belum paham dengan nilai lokal genius Mikul dhuwur mendhem jero di atas, memang akan sangat kesulitan memahami, alih-alih menerapkan kearifan tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun tidak dengan NU, dalam setiap tikungan sejarah, NU selalu berada di garda terdepan dalam mempertahankan dan ikut serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selamat Harlah NU yang Ke-94, Semoga selalu terdepan dalam menebar kedamaian.
Bangilan, 31 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar