Peradaban Rengkek Dalam Percaturan Perekonomian Nasional
Oleh: Joyo Juwoto
Entah sejak kapan perdagangan menggunakan rengkek mulai dilakukan oleh para pedagang keliling. Sekitar tahun 90an, ketika saya seusia anak SD kelas 1, rengkek yang terbuat dari anyaman bambu juga sudah dipakai wadah untuk para pencari kayu bakar. Bahkan mungkin jauh sebelum saya lahir peradaban rengkek sudah ada.
Masyarakat yang mengambil kayu bakar dengan rengkek biasanya disebut mbrongkol. Jadi ngrengkek ini semisal menjadi bagian dari profesi pekerjaan, seperti sopir, penjahit, tukang kayu, petani, dan profesi pekerjaan lainnya.
Mbrongkol ini sekarang sudah jarang sekali dilakukan, kalau tidak bisa dikatakan hilang sama sekali. Selain jumlah kayu di hutan yang mulai menipis, juga karena produksi bata dan genteng di Dopyak sebagai centra pembuatan bata dan genteng juga telah ditinggalkan oleh pelakunya.
Dulu di tempat saya, yang biasa mbrongkol adalah orang-orang yang melayani para pembuat batu bata dan genting. Sebagaimana di awal saya tulis bahwa di Dopyak desa Bangilan Kecamatan Bangilan, banyak sekali pengrajin bata merah dan genteng. Sehingga saat itu permintaan pasokan kayu bakar cukup melimpah.
Jika rengkek brongkol telah usai masanya, maka peradaban rengkek tampil ke depan menjawab tantangan zaman. Rengkek yang mayoritas digerakkan oleh kaum emak-emak yang mencukupi suplai sayuran dan kebutuhan dapur rumah tangga justru berkembang cukup pesat. Silakan perhatikan gerak pasar di pagi hari, rengkek menjadi salah satu gerakan terdepan dalam menggerakkan roda perekonomian.
Saya berani mengatakan bahwa peradaban rengkek ini adalah salah satu inovasi dalam sistem mata rantai perekonomian wong cilik. Rengkek adalah salah satu contoh kekuatan ekonomi kerakyatan yang layak diperhitungkan. Ekonomi Pancasila yang kita idam-idamkan.
Di tengah-tengah gempuran dan hegemoni pasar modern yang bertebaran di kota-kota kecamatan, rengkek menjadi antitesa dari kapitalisme ekonomi yang mulai menggurita.
Para perengkek ini berasal dari wong cilik, dan bergerak juga untuk wong cilik. Ibu-ibu rumah tangga yang tidak sempat belanja di pasar bisa menunggu rengkek di depan rumah dengan tanda teriakan atau bunyi klakson dari motor yang mereka bunyikan berkali-kali.
Selain itu rengkek biasanya juga menjadi jujugan ibu-ibu di komplek perumahan, rengkek menjadi semacam benang merah silaturahmi antar warga. Segala isu bisa dikomentari di lingkaran rengkek ini. Klasik sekali.
Perputaran uang dari peradaban rengkek ini menggeliat di arus bawah, dari rakyat oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sangat demokratis. Ekonomi rakyat bisa hidup dan tumbuh subur karena muaranya adalah kemandirian kerekonomian masyarakat.
Jika peradaban rengkek secara micro mampu menjawab tantangan dan permasalahan ekonomi kerakyatan di kelas bawah, saya yakin rule model perekenomian rengkek bisa diadopsi menjadi solusi bagi perekonomian nasional kita.
Bangilan, 02/02/20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar