Dendang Cinta Ibn
‘Arabi
Bagi
para penjelajah di dunia sufi mungkin tidak asing dengan beliau, Ibn ‘arabi,
seorang Syekh Sufi Agung nan Akbar yang banyak menuai kontroversi di dunia
Islam. Saya sendiri bukanlah seorang yang menekuni di dunia kesufian, atau
melakukan penelitian yang mendalam tentang tokoh-tokoh sufi, saya hanyalah
pmbelajar yang sedang memiliki kecenderungan untuk membaca beberapa karya
tokoh-tokoh sufi, termasuk di dalamnya adalah Muhammad Ibn ‘Ali Muhammad Ibn
‘Arabi at-Ta’i al-Hatimi, atau yang masyhur dipanggil dengan sebutan Muhyi ad-Din
Ibn ‘Arabi.
Walau
ketenaran dari Ibn ‘Arabi banyak diungkapkan oleh orang-orang Barat, namun
ternyata umat Islam secara mayoritas banyak yang tidak mengenal beliau. Jika di
dunia pesantren sangat akrab dengan karya ulama-ulama terkemuka seperti Ihya’ Ulumuddinnya
Imam Al Ghazali, sangat dekat dengan kitab monumentalnya Ibn Athaillah
as-Sakandari yaitu kajian Al Hikam, kemudian santri-santri pondok pesantren
juga sangat familiar dengan kitab-kitab dalam disiplin ilmu fikih semisal
Taqrib, Safinatun Najah, dan ratusan kitab fikih lainnya, namun tidak dengan
karya ulama-ulama sufi semisal Ibn ‘Arabi, maupun Jalaluddin Rumi.
Saya
sendiri belum pernah melihat para santri mengaji kitab-kitabnya dua ulama sufi
yang saya sebutkan di atas, bahkan saya saya sendiri belum pernah melihat wujud
fisik kitabnya Ibn ‘Arabi. Saya tertarik dengan Ibn ‘Arabi dari pauisi-puisi
dan ajaran cinta yang beliau tuangkan dalam tulisan-tulisannya. Baik itu
tulisan yang berupa kutipan yang banyak berseliweran di media sosial, maupun dari
buku-buku yang saya baca. Dari ketertarikan tersebut kemudian saya membaca buku
Semesta Cinta Ibn ‘Arabi yang diterjemahkan oleh Kiai Aguk Irawan MN. dan
Kaserun, kemudian saya juga membaca Semesta Cinta, Pengantar kepada Pemikiran
Ibn ‘Arabi karya Haidar Bagir. Karena rasa penasaran dengan Ibn ‘Arabi semakin
menjadi, kemudian saya membaca buku Fusus Al-Hikam, hasilnya mumet sendiri.
Ibn
‘Arabi adalah salah seorang tokoh sufi falsafi yang terlahir di kota Murcia
Spanyol, pada tanggal 27 Ramadan 560 H atau bertepatan tanggal 17 Agustus 1165
M. Ibn ‘Arabi banyak berguru kepada ulama-ulama besar pada zamannya, namun yang
akhirnya mampu menjadikannya sebagai
sufi besar adalah guru beliau, seorang gnostikus wanita dari Sevilla, yang
bernama Fatimah binti al-Musanna. Kepada gurunya inilah Ibn ‘Arabi mendarma
baktikan hidupnya selama beberapa tahun untuk Sang guru. Menurut penuturan dari
Ibn ‘Arabi gurunya pernah berkata kepadanya demikian:
“Aku
adalah ibu spiritual dan cahaya ibu duniawimu.”
Dari
perkataan ini jelas sekali bahwa spiritual Ibn ‘Arabi sangat diperhatikan oleh
gurunya yang saat itu sudah berusia sekitar sembilan puluh lima tahun. Usia
yang sudah cukup tua. Walau demikian kebijaksanaan dan nilai spritual Fatimah
binti Al-Musanna tidak diragukan lagi.
Pada
dasarnya pemikiran dari Ibn ‘Arabi didasarkan pada pemahaman sebuah hadits
qudsi yang berbunyi:
كنت كنزا لم
أعرف فأحببت أن أعرف فخلقت الخلق وتعرّفتُ إليهم فعرفونى
Artinya,
“Aku adalah harta terpendam yang tak dikenal. Aku ingin dikenal, maka kuciptakan
makhluk, lalu aku memperkenalkan diri kepada mereka, hingga mereka
mengenal-Ku.”
Cinta menjadi alasan bagi Allah swt
menciptakan makhluk dan semesta raya ini, agar Ia dikenali sebagai Sang
Pencipta, agar Ia dikenali entitasnya sebagai Tuhan semesta raya. Dalam sebuah
puisinya Ibn ‘Arabi berdendang:
Bila tiada cinta, maka tak
dikenallah Sang Pencinta
Bila tiada kefakiran, maka tak
disembahlah Sang Penderma
Kami
ada karena Dia, dan kami adalah milik-Nya semua
Dari
cintaku lah kepada-Nya bertaut
Bila
Tuhan menghendaki wujud entitas
Yang
Dia kehendaki, maka berlalulah pertentangan
Kami
ada di sini “Kun” tanpa pengangguhan
Sifat
jagad inilah yang diambil guna
Entitas
cinta adalah entitas jagad semesta
yang
diidentifikasi lalu ditimbulkan oleh cinta
Dari konsep hadits qudsi inilah
kemudian dikembangkan dan diolah oleh Ibn ‘Arabi menjadi puisi-puisi dan ajaran
filsafat mahabbah (cinta), yang akhirnya mengilhami banyak karya terlahir dari
rahim pemikiran beliau.
Di dalam Al-Qur’an maupun hadits
sendiri sebenarnya banyak memuat tentang konsep mahabbah (cinta). Dalam surat
Ali Imron ayat 31 Allah berfirman: “Katakanlah (hai Muhammad), jika kalian
mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah mencintai kamu.” Dalam sebuah
hadits Nabi dikatakan: “Salah seorang di antara kamu tidaklah beriman (secara
sempurna), sebelum mencintai aku lebih dari harta, anak, keluarga dan jiwa yang
ada dalam dirinya.” Dalam hadits Qudsi Allah swt juga berfirman:
“Hamba-Ku
terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan mengerjakan ibdah-ibadah sunah, hingga
Aku mencintainya.”
Dalam sebuah syairnya, Ibn ‘Arabi
mendendangkan puisi tentang kemuliaan dari cinta:
Dari cinta kita muncul dan atas
cinta kita dicipta
Karena
itu, sengaja kita datang padanya
dan
karena inilah, kita benar-benar diterima
(Fushush
al-Hikam:2/322)
Walau
belum begitu memahami jejak pemikiran Ibn ‘Arabi secara mendalam, saya
berkhusnudzon saja, semoga kelak pada suatu waktu Allah membukakan kefahaman
tentang pengetahuan tersebut. Saya selalu mempercayai bahwa apapun yang kita
baca walau mungkin belum paham sekalipun, ada hikmah yang bisa kita petik, ada
hal bisa kita ambil sebisa kita yang membawa perubahan positif dalam diri ini.
Setidaknya ajaran cinta dan kasih sayang yang diajarkan oleh ulama-ulama tersebut
bisa kita implementasikan dalam kehidupan kita. sekecil apapun itu.
Jadi,
ilmu itu sebenarnya di tingkah laku dan perbuatan, bukan hanya sekedar
menguasai banyak teori pengetahuan namun nir amal. Orang Jawa bilang “Ngelmu
iki kalakone kanthi laku.” sebanyak apapun teori pengetahuan kita hafal di
luar kepala, jika tidak kita implementasikan dalam perbuatan nyata dalam
kehidupan, maka hal tersebut hanyalah kesia-siaan belaka. Tidak ada nilainya di
hadapan Allah swt. Oleh karena itu ketika saya membaca buku-buku yang berkenaan
dengan Ibn ‘Arabi, saya punya harapan bisa tertulari kekuatan cinta, dan hidup
dalam bingkai cinta kepada Tuhan dan juga cinta terhadap nilai-nilai
kemanusiaan tentunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar