Rabu, 30 Oktober 2019

Juwet, buah nostalgia generasi 90an

Juwet, buah nostalgia generasi 90an
Oleh: Joyo Juwoto

Entah hari ini anak-anak kita mengenal atau tidak dengan buah juwet ini. Buah juwet identik dengan alam liar, karena buah ini jaman dahulu memang tidak dibudidayakan. Pohon juwet tumbuh liar begitu saja di gerumbul-gerumbul, di pekuburan atau juga di tepian sungai. Dulu pohon ini liar dan siapapun boleh mengambil buahnya, untuk dinikmati.

Buah dengan warna ungu kehitaman ini menjadi favorit anak-anak gembala, selain tentu buah lainnya. Hari ini budaya menggembala sudah hampir punah, hanya ada beberapa saja masyarakat yang menggembalakan ternaknya. Kebanyakan ternak sekarang makannya dibelikan. Bisa tebon, rumput gajah, dedak, maupun ongsok kering.

Jika engkau terlahir di era 80-90an, tentu masa kanak-kanakmu dipenuhi kenangan indah dan nostalgia tak terlupakan dengan buah juwet ini. Pastinya kalian pernah memakan buah ini demi memamerkan lidah dan gigi kalian yang berubah warna. Wow... Indah sekali.

Sangat disayangkan sekali sebenarnya, jika hari ini generasi milenial tidak mengenal buah juwet,  yang sangat asyik dinikmati langsung di atas pohonnya yang rindang. Kita bisa makan sepuasnya sambil duduk-duduk santai di dahan pohon juwet.

Buah juwet memang rasanya tidak begitu manis, bahkan justru cenderung sepet. Tapi anak jaman dahulu apapun masuk perut, jangankan yang sepet-sepet manis, yang kecut sekelas mangga muda saja habis disikat. Entah, dulu mungkin makanan tidak seenak dan sebanyak hari ini.

Walau sepet, buah yang berbentuk lonjong kecil-kecil, berwarna ungu tua ini ternyata memiliki banyak manfaat. Diantara adalah mengobati penyakit diabetes. Mungkin bisa dicoba ya. Selain mengobati diabetes, warna ungu dari buah juwet memiliki kandungan zat yang menjada kesehatan gusi dan gigi. Ternyata buah juwet memiliki banyak manfaat juga.

Alhamdulillah, setelah sekian lama saya tidak merasakan buah juwet, tadi pagi saat belanja di pasar, saya bertemu dengan penjual juwet.
"Bu, juwete saking pundi Niki? Kulo tumbas enggih?"
"Owh enggih, mangga, Niki saking Jatirogo, mas." Si ibu penjual menimpali.
Tanpa ba-bi-bu langsung saya beli itu buah. Ada kerinduan tersendiri untuk kembali menikmati buah tersebut.

Penjual menawarkan harga sepuluh ribu untuk satu kilo juwet. Tanpa tawar menawar, saya langsung setuju dan membelinya. Senang rasanya kembali melihat dan mencicipi buah favorit masa menggembala sapi di kampung halaman. Hemm...serasa kembali ke masa silam. Selamat menikmati buah juwet. Terima kasih.

Bangilan, 30 Oktober 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar