Kamis, 31 Oktober 2019

Dakwah Pangeran Bonang

Dakwah Pangeran Bonang
Oleh: Joyo Juwoto

Bagi saya, membaca kisah-kisah  orang-orang sholih cukup menyenangkan, begitu juga membaca cerita Walisongo juga tak kalah menariknya. Saya selalu betah dan suka membaca cerita-cerita, apalagi ada bumbu-bumbu mistik di dalamnya. Selain itu tentu ada banyak hikmah yang bisa kita gali dan kita petik darinya.

Pada kesempatan ini saya ingin mengulas sedikit mengenai kisah dakwah dan perjuangan salah satu Walisongo yang masyhur, yaitu Raden Makhdum Ibrahim, atau dikenal dengan sebutan sunan Bonang.

Buku yang saya baca tentang Sunan Bonang tergolong sangat tipis. Tebalnya hanya 39 halaman. Buku ini adalah salah satu serial dari buku Walisongo yang ditulis oleh M. Hariwijaya. Saya sebenarnya sempat mencari seri buku wali lainnya, tapi saya belum menemukan, mungkin saja sudah tidak dicetak.

Walau terbilang tipis, buku ini cukup bagus dan enak untuk dibaca. Buku yang dicetak di Yogyakarta tahun 2006 silam ini memuat lima bab.
Bab 1 Raden Makhdum Ibrahim
Bab 2 Mengungguli Ilmu para Brahmana
Bab 3 Pondok pesantren Bonang
Bab 4 Sufisme Sunan Bonang
Bab 5 Akhir Hayat Sunan Bonang

Dari bab 1 hingga bab 5 kisah dari Sunan Bonang dikisahkan relatif enak dan mudah dipahami. Saya lancar-lancar saja dalam membacanya. Karena kisah-kisah tersebut sudah sering saya baca di buku-buku lainnya. Hanya pada bab ke-4 saya agak kesusahan dalam memahami ajaran sufisme Sunan Bonang.

Di bab 4 ini banyak ajaran tasawuf yang dibabar oleh penulis. Perlu pendalaman dan referensi yang banyak untuk memahami ajaran sufisme Sunan Bonang, semisal ajaran shalat yang bukan hanya sekedar shalat secara Syara' saja. Di bab itu menyinggung shalat Daim dan juga sembahyang. Di halaman 24, sunan Bonang menanggapi pertanyaan Wujil tentang sembahyang. Sunan Bonang menjawab:
"Janganlah menyembah kalau tidak mengetahui siapa yang disembah. Tapi jangan kau sembah apa yang terlihat."

Selain membahas sembahyang, juga membahas ilmu filsafat tentang anasir api, air, angin, dan juga tanah. Lebih lanjut di buku itu dijelaskan nilai filosofisnya yang saya sendiri belum begitu memahaminya. Tua muda adalah sifat unsur bumi, kalau tua kapan mudanya, kalau muda kapan tuanya. Unsur api bersifat kuat dan lemah. Jika kuat di mana lemahnya, jika lemah di manakah kuatnya. Unsur angin sifatnya ada dan tiada. Jika ada di mana tiadanya, jika tiada di mana adanya. Sedang unsur air bersifat mati-hidup. Kalau mati kapan hidupnya, kalau hidup kapan matinya. Wow... pusing!!!

Dan masih banyak hal yang dibahas secara filosofis di bab 4 tentang wejangan sunan Bonang kepada murid kinasihnya yaitu Wujil. Wejangan sunan Bonang inilah yang nantinya dikenal sebagai Suluk Wujil.

Saya tidak tahu apakah manuskrip suluk wujil ini masih ada atau tidak, mungkin temen saya *Mbak Hiday* bisa menjelaskan. Soalnya beliaunya yang intens meneliti mengenai manuskrip sunan Bonang. Bahkan beliaunya sudah melanglang buana hingga ke Leiden demi berjumpa dengan manuskrip asli Primbon Sunan Bonang yang dikenal dengan Het book Van Bonang.

Sebagai orang Tuban, tentu saya ingin mengetahui secara detail tentang tokoh yang berjasa terhadap dakwah Islam di bumi Ranggalawe ini. Semoga apapun tentang Sunan Bonang bisa kita baca dan kita jadikan pijakan dalam melangkah ke depan demi membangun Tuban lebih baik, sebagaimana citra yang dibangun oleh Bapak Bupati Fatkhul Huda, bahwa Tuban adalah bumi Wali. Sekian terima kasih.

*Bangilan, 31 Oktober 2019*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar