Rabu, 06 Februari 2019

Menelusuri lorong-lorong waktu bersama Kiai Budi Harjono

*Menelusuri lorong-lorong waktu bersama Kiai Budi*
Oleh: Joyo Juwoto

Sore itu setelah melewati banyak labirin waktu dengan segala lorong-lorongnya, sampailah saya di padepokan Kiai Budi, Tembalang Semarang. Udara sejuk sehabis hujan turun dari langit, maklum ini bulan Februari di mana hujan masih sering mengguyur bumi.

Bersama dengan beberapa teman kami mengobrol di ruang depan ndalemnya Kiai Budi Harjono, menunggu beliau yang baru saja datang dari pedalaman Jepara. Di temani segelas teh hangat dengan aroma yang menggoda, kami terus mengobrol gayeng dengan tamu dari Boyolali dan Mranggen.

Dua tamu yang tampaknya memiliki tujuan sama dengan kami ternyata mahasiswa UIN Semarang yang sedang KKN. Saya lupa, kami entah sempat saling memperkenalkan diri atau belum, tapi kami begitu akrab saling bercerita tentang masa kecil kami. Bercerita tentang alam desa, bercerita tentang anak-anak desa yang bermain air hujan, lumpur, mencari ikan di sungai dan berbagai kenangan indah lainnya.

Tak terasa cukup lama kami bercerita, hingga teh dalam gelas kami habis mengering. Suguhan yang disajikan ndalem pun kami sikat dengan lahap, tak berselang lama, Kiai Budi keluar ndalem menemui kami. Wajah beliau masih kelihatan capek tapi sumringah.

Dengan senyumnya yang khas, Kiai Budi menyapa kami penuh rasa peseduluran, keakraban dan rasa cinta, baru ini saya ketemu beliau, tapi ada rasa yang tak bisa saya gambarkan dalam tulisan ini. Kiai Budi hanya memakai kaos, dan bersarung hitam dengan tema gambar tari sufi. Saya tidak tahu apakah sarung itu ada duanya atau limited edition, yang pasti saya tertarik dengan sarung itu. Uapik rek.

Kiai Budi membuka percakapan sore itu dengan cerita. Beliau bercerita saat memberikan mauidzoh hasanah di daerah Jepara, kemudian bercerita mengenai masa silam, yang menurut Kiai Budi adalah usaha untuk menelusuri lorong-lorong waktu.

Usaha menelusuri lorong-lorong waktu ini, oleh Kiai Budi  biasanya dilukiskan dalam bentuk tulisan. Ada beberapa buku beliau yang berhasil ditulis dari menelusuri peristiwa-peristiwa yang telah dilaluinya.

 "Jika kita mampu menangkap untaian peristiwa yang kita lalui, sesederhana apapun itu, bisa kita tulis, dan pasti banyak pelajaran dan hikmah yang bisa kita petik" ungkap Kiai Budi.

Selain sibuk memberikan ceramah ke sana kemari, Kiai Budi ternyata juga menyempatkan diri menulis. Di laman fbnya saya juga sering membaca tulisan-tulisan beliau, sore itu tanpa disangka Kiai Budi membabarkan proses kreatif menulisnya.

Ada banyak mutiara hikmah yang dapat saya punguti di saat sowan Kiai Budi di sore itu, jika ada kesempatan saya akan menulis kembali apa yang saya tangkap dari bagian lorong waktu di Bumi Tembalang Semarang.

saya merasa sangat senang bisa bertemu beliau, seorang Kiai yang sangat baik hati, penuh paseduluran, penuh cinta dan keakraban. Ada banyak cinta dan Rahmat dari Kiai Budi untuk kemanusiaan dan semesta. Sebagaimana filosofi penari sufi di sarung Kiai Budi. Salam Cinta.

*Joyo Juwoto, santri pondok pesantren ASSALAM Bangilan-Tuban, penulis buku "Dalang Kentrung Terakhir*

2 komentar:

  1. Mantap mbah joyo, disruput kopinya.. Dengan tulisan kita mampu memberikan semua ide gagasan yang tidak tersampaikan secara lisan

    BalasHapus